Oleh:
Ahmad Atabik
A.
Pendahuluan
Dalam lintas sejarah, manusia dalam
kehidupannya senantiasa sibukkan oleh berbagai pertanyaan mendasar tentang
dirinya. Pelbagai jawaban yang bersifat spekulatif coba diajukan oleh para
pemikir sepanjang sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang diajukan saling
kontradiksif satu dengan yang lainnya. Perdebatan mendasar yang sering menjadi
bahan diskusi dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber
dan asal usul pengetahuan dan kebenaran.[1]
Filsafat dan agama sebagai dua kekuatan yang mewarnai dunia telah menawarkan
konstruk epistemologi yang berbeda dalam menjawab
permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
Manusia
hidup di dunia ini pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari
pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha
manusia untuk tahu. Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan yang benar
dan pasti.[2]
Penganut pragmatis, utamanya John Dewey
tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran (antara knowledge
dan truth).[3]
Hal inilah yang kemudian menjadi kajian menarik epistemologi.
Epistemologi sebagai cabang dari ilmu filsafat mempelajari
batas-batas pengetahuan dan asal-usul pengetahuan
serta di kriteria kebenaran. Kata 'epistemologi' sendiri berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu episteme
(pengetahuan) dan logos (ilmu, pikiran, percakapan). Jadi epistemologi berarti ilmu, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan[4].
Pokok persoalan dari kajian epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan;
bidang, batas jangkauan pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang
biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam
epistemologi adalah; apakah pengetahuan itu, apakah yang menjadi sumber dan
dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah
hanya merupakan dugaan?[5]. Dengan
kata lain, epistemologi berarti "studi atau teori tentang
pengetahuan" (the study or theory of knowledge). Namun, dalam diskursus
filsafat, epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas asal usul,
struktur, metode-metode, dan kebenaran
pengetahuan. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa epistemologi adalah cabang
dari filsafat yang secara khusus membahas "teori tentang
pengetahuan".[6]
Pada
awalnya, pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the
origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth)
pengetahuan. Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah pengetahuan
itu bersumber pada akal pikiran semata (‘aqliyyah), pengalaman indera (tajri>biyyah),
kritik (naqdiyyah) atau intuisi (hadasiyyah). Sementara itu,
pembahasan yang kedua terfokus pada pertanyaan apakah "kebenaran"
pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi atau
praktis-pragmatis. Selanjutnya,
pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya
terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh
pengetauan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat
kebenaran pengetahuan.
Makalah
ini mencoba mengeksplorasi kedudukan pengetahuan dan kebenaran. Apa hakekat dan
sumber pengetahuan? Bagaimana kebenaran dalam pandangan filsafat ilmu? Apa sumber-sumber
pengetahuan dan kebenaran dalam perspektif filsafat? Dalam memaparkan sumber
pengetahuan akan diuraikan beserta contoh-contoh yang simpel. Begitu juga yang
terkait dengan kriteria-kriteria kebenaran.
B. Teori
Pengetahuan dan Kebenaran
1.
Jenis Pengetahuan
Hendrik
Rapar, mengemukakan bahwa jenis pengetahuan itu dibagi tiga.[7]
Sedangkan Burhanuddin Salam, sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar jenis
pengetahuan ada empat, yaitu:[8]
Pertama, pengetahuan biasa. Pengetahuan yang
dalam filsafat dikatakan sebagai common sense, dan sering diartikan
sebagai good sense, karena seseorang memiliki Sesutu di mana ia menerima
secara baik. Semua orang menyebut warna ini putih karena memang itu merah. Air
itu panas karena memang dipanasi dengan api. Makanan bisa mengganjal rasa
lapar, dll. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari.
Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan pra ilmiah dan nir ilmiah[9].
Kedua, pengetahuan
ilmu (science). Adalah pengetahuan yang
diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian
kebenarannya. Ilmu pada hakikatnya merupakan usaha untuk
mengorganisasikan commons sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman
dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu
pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ketiga, pengetahuan filsafat. Diperoleh lewat pemikiran rasional
yang didasarkan pada pemahaman, spekulasi, penilaiaan kritis dan penafsiran[10].
Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian
tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan
rigit, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya
memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya
kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.[11]
Keempat,
pengetahuan agama. Pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para
utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para
pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran
tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang disering disebut dengan hubungan
secara vertikal (hablun min Alla>h), dan cara berhubungan dengan
sesama manusia (hablun min al-na>s). Pengetahuan agama yang paling
penting adalah pengetahuan tentang tuhan, selain itu tentang keyakinan
(keimanan) dan syariat (implementasi dari keyakinan).[12]
Pengetahuan ini sifat kebenarannya adalah mutlak karena berasal dari firman
Tuhan dan sabda Nabi.
2.
Teori-teori kebenaran
Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,[13]
menerangkan bahwa kebenaran itu adalah 1). Keadaan (hal dan
sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya.
Misalnya kebenaran berita ini masih saya
ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2). Sesuatu yang benar (sugguh-sugguh ada,
betul-betul hal demikian halnya, dan sebagainya). Misalnya kebenaran-kebenran
yang diajarkan agama. 3). Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada
seorangpun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
Sedang menurut Abbas Hamami,[14]
kata "kebenaran" bisa digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit
maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah
proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam
suatu pernyataan atau statement. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan
pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek.[15]
Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh
subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan bersal mula
dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai
ukuran kebenaran. Berikut
ini adalah teori-teori kebenaran.
a.
Teori Korespondensi (Correspondence
Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth
yang kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang
berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi
terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju
pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence)
antara rti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang
dituju oleh pernyaan atau pendapat tersebut.[16] Kebenaran atau suatu
keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh
suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat
suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya.[17]
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut
realisme. Di antara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey.
Teori ini banyak dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970).[18] Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran
korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat
digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal
(sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan
kenyataan atau realitas yang diketahuinya.[19]
Problem yang kemudian muncul adalah apakah realitas itu obyektif
atau subyektif? Terdapat dua pandangan dalam permasalahan ini, realisme
epistemologis dan idealisme epistemologis.
Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat realitas yang
independen (tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran; dan kita tidak
dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahaminya. Itulah sebabnya
realism epistemologis kadangkala disebut objektivisme. Sedangkan idealisme
epistemologis berpandangan bahwa setiap tindakan berakhir dalam suatu ide, yang
merupakan suatu peristiwa subyektif.[20] Kedua bentuk pandangan
realistas di atas sangatlah beda. Idealisme epistemologi lebih menekankan bahwa
kebenaran itu adalah apa yang ada didunia ide. Karenanya melihat merah, rasa
manis, rasa sakit, gembira, berharap dan sebagainya semuanya adalah ide. Oleh
sebab itu, idealisme epistemologis sebagaiman didefinisikan di atas sama dengan
subyektivitas.
Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya dua realitas
yang berada dihadapan manusia, pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini,
kebenaran adalah kesesuaian antra pernyataan tentan sesuatu dengan kenyataan
sesuatu itu sendiri. Misal, Semarang ibu kota Jawa Tengah. Pernyataan ini
disebut benar apabila pada kenyataannya Semarang memang ibukota propinsi Jawa
Tengah. Kebenarannya terletak pada pernyataan dan kenyataan.
Signifikansi teori ini terutama apabila diaplikasikan pada dunia
sains dengan tujuan dapat mencapai suatu kebenaran yang dapat diterima oleh
semua orang. Seorang ilmuan akan selalu berusaha meneliti kebenaran yang
melekat pada sesuatu secara sungguh-sungguh, sehingga apa yang dilihatnya itu
benar-benar nyata terjadi. Sebagai contoh, gunung dapat berjalan. Untuk
membuktikan kebenaran pernyataan ini harus diteliti dengan keilmuan yang lain
yaitu ilmu tentang gunung (geologi), ternyata gunung mempunyai kaki (lempeng
bumi) yang bisa bergerak sehingga menimbulkan gempa bumi dan tsunami. Dengan
demikian sebuah pertanyaan tidak hanya diyakini kebenarannya, tetapi harus
diragukan dahulu untuk diteliti, sehingga mendapatkan suatu kebenaran hakiki.
b.
Teori Koherensi (Coherence
Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi atau
konsistensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau
konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan
komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut
teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu
yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara
putusan-putusan itu sendiri.[21]
Teori ini berpendapat bahwa
kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan
lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar.
Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi
lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[22]
Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian
(pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah
diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini
mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran
bagi derajat kebenaran.[23] Misal,
Semua manusia membutuhkan air, Ahmad adalah
seorang manusia, Jadi, Ahmad membutuhkan air.
Suatu proposisi itu cenderung benar
jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan
proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh
proposisi coherent dengan pengalaman kita. Bakhtiar sebagai mana dikutip
dari Aholiab Watholi, memberikan standarisasi kepastian kebenaran dengan
sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat
diragukan kebenarannya sehingga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian
yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga,
menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat,
pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di mana hal
itu di artikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat
diragukan lagi.[24]
Berbeda dengan teori korespondensi
yang dianut oleh penganut realism dan matrealisme, teori koherensi atau
konsistensi ini berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh hegel dan diikuti
oleh pengikut madzhab idealism. Dia antaranya seorang filsuf Britania F. M
Bradley (1864-1924).[25]
Idealisme epistemologi berpandangan bahwa obyek pengetahuan, atau kualitas yang
kita serap dengan indera kita itu tidaklah berwujud terlepas dari kesadaran
tentang objek tersebut. Karenanya, teori ini lebih sering disebut dengan
istilah subjektivisme. Pemegang teori ini, atau kaum idealism berpegang,
kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan sendiri kebenaran
pengetahuannya tanpa memandang keadaan real peristiwa-peristiwa. Manusia adalah
ukuran segala-galanya, dengan cara demikianlah interpretasi tentang kebenaran
telah dirumuskan kaum idealisme.[26]
Kalau ditimbang dan dibandingkan
dengan teori korespondensi, teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima
secara luas dibandingkan teori pertama tadi. Teori ini punya banyak kelemahan
dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat
koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya
terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan
antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan
adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih
dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.[27]
c.
Teori Pragmatisme (The pramagtic
theory of truth.)
Pramagtisme berasal dari bahawa
Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan,
sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat.[28]
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide
dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar
tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau
teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan
harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.[29]
Pragmatism merupakan aliran
filsafat yang lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19, yang menekankan
pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem
solving) dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis maupun
praktis. Tokoh pragmatism awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914) yang
dikenal juga sebagai tokoh semiotic, William James[30]
(1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).[31]
Amsal (2012) menyatakan, menurut teori
pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis manusia. Dalam artian,
suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.[32] Teori,
hepotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan,
apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis.[33]
Misal teori pragmatisme dalam dunia pendidikan, di STAIN Kudus, prinsip
kepraktisan (practicality) dalam memperoleh pekerjaan telah mempengaruhi
jumlah mahasiswa baru pada masing-masing Jurusan. Tarbiyah menjadi fovorit,
karena menurut masyarakat lulus dari Jurusan Tarbiyah bisa menjadi guru dan
mendapatkan sertifikasi guru. Misal lain, mengenai pertanyaan wujud Tuhan yang
Esa. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 163-164,[34]
Allah menjelaskan tentang wujud-Nya yang Esa serta menjelaskan tentang
penjelasan praktis terhadap pertanyaan tersebut.
Menimbang teori pragmatisme dengan
teori-teori kebenaran sebelumya, pragmatisme memang benar untuk menegaskan
karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia.
Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan
teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan
kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang
sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan
dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya
pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu
sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan,
demikian seterusnya.[35]
d.
Teori Performatif
Teori ini berasal dari John
Langshaw Austin (1911-1960)[36]
dan dianut oleh filsuf lain seperti
Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik
bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu
(deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu
yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun justeru inilah yang
ingin ditolak oleh para filsuf ini.[37]
Teori performatif
menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi
pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justeru
dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam
pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan kebenaran
satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan.[38]
Misalnya, “Dengan ini saya mengangkat anda sebagai manager perusahaan “Species
S3”. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah realitas baru yaitu anda sebagai
manager perusahaan “Species S3”, tentunya setelah SKnya turun.
Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan pengucapan kata-kata itu.
Dengan pernyataan itu suatu penampilan atau perbuatan (performance)
dilakukan.
Teori ini dapat
diimplementasikan secara positif, tetapi di pihak lain dapat pula negatif.
Secara positif, dengan pernyataan tertentu, orang berusaha mewujudkan apa yang
dinyatakannya.[39] Misal, “Saya bersumpah
akan menjadi dosen yang baik”. Tetapi secara negatif, orang dapat pula terlena
dengan pernyataan atau ungkapannya seakan pernyataan tersebut sama dengan
realitas begitu saja. Misalnya, “Saya doakan setelah lulus S1 kamu menjadi
orang yang sukses”, ungkapan ini bagi sebagian orang adalah doa padahal bisa
saja sebagai basa-basi ucapan belaka. Atau, “saya bersumpah, saya berjanji menjadi
karyawan yang setia pada pimpinan”, seakan-akan dengan janji itu ia setia pada
pimpinan. Bisa jadi kita semua terjebak dengan pernyataan seperti itu
seolah-olah dengan dengan pernyataan-pernyatan itu tercipta realitas seperti
yang dinyatakan. Padahal apa yang dinyatakan, belum dengan sendirinya mennjadi
realitas.
e.
Agama sebagai teori kebenaran
Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini
adalah sebagai makhluk yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk
menemukan suatu kebenaran adalah agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik
tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran
menurut teori agama adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.[40]
Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran
sesuatu dalam agama denngan cara mempertanyakan atau mencari jawaban berbagai
masalah kepada kitab Suci. Dengan demikian, sesuatu hal dianggap benar apabila
sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentuk kebenaran mutlak.[41]
3.
Sumber-Sumber Pengetahuan
a. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal
adalah dasar kepastian pengetahua. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dari akal.[42]
Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai paham yang sangat menekankan akal
sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir dalam penentuan
kebenaran pengetahuan manusia.[43] Aliran ini
dipelopori oleh Rene Descartes, kemudian dinisbatkan kepada beberapa tokoh
pemikir barat, diantaranya Rene Descartes, Spionoza, Leibniz dan Christian
Wolf. Meski sebenarnya akar-akar pemikirannya sudah ditemukan dalam pemikiran
para filosof klasik, yaitu Plato dan Aristoteles.[44]
Menurut kaum rasionalisme,
sumber pengetahuan manusia didasarkan pada innate idea (ide bawaan) yang
dibawa oleh manusia sejak ia lahir. Ide bawaan tersebut menurut Descartes
terbagi atas tiga kategori, yaitu; Pertama, Cogitans atau
pemikiran, bahwa secara fitroh manusia membawa ide bawaan yang sadar
bahwa dirinya adalah makhluk yang berpikir, dari sinilah keluar statement
Descartes yang sangat terkenal, yaitu cogito ergo sum yaitu aku berpikir
maka aku ada. Kedua, Allah Atau deus, manusia secara fitroh
memiliki ide tentang suatu wujud yang sempurna, dan wujud yang sempurna itu tak
lain adalah Tuhan. Ketiga, Extensia atau keluasan, yaitu ide bawaan
manusia, materi yang memiliki keluasan dalam ruang.[45]
Ketiga
ide bawaan diatas dijadikan aksioma pengetahuan dalam filsafat rasionalisme
yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Dalam metode pencapaian pengetahuan
Descartes memperkenalkan metode yang dikenal dengan metode keraguan (dibium
methodicum) yaitu meragukan segala sesuatu termasuk segala hal yang telah
dianggap pasti dalam kerangka pengetahuan manusia.[46]
b.
Empirisme
Empirisme
berasal dari bahasa Yunani, yaitu empeirikos artinya pengalaman. Menurut
aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya.[47]
yang artinya pengalaman. Dalam filsafat biasanya bipertentangkan dengan
rasionalisme.[48]
Berbeda dengan rasionalisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber dan
penjamin kepastian suatu kebenaran pengetahuan manusia. Empirisme memandang
hanya pengalaman inderawilah (al-tajri>bah) sebagai satu-satunya
sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia.[49]
Aliran
Empirisme disandarkan kepada beberapa tokoh pemikir Barat diantaranya Francis
Bacon, Thomas Hobbes, David Hume, dan John locke.[50]
John Locke memperkenalkan teori tabula rasa (sejenis buku catatan
kosong), maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari
pengetahuan, lantas pengalamanya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia
memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana
lama-lama menjadi komplek, lalu tersusunlah pengetahuan berarti.[51]
Jadi
dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah dengan pengalaman
inderawi. Maka, empirisme sangat menekankan metode eksperimen dalam proses
pencapaian pengetahuan manusia. Seseorang yang tak memiliki satu jenis indera
tertentu maka ia ia tidak dapat memiliki konsepsi tentang pengetahuan yang
berhubungan indera tersebut.[52]
c.
Kritisisme
Ketika
terjadi pertarungan filsafat antara aliran rasionalisme dan empirisme mengenai
dasar pengetahuan manusia. Immanuel Kant seorang filosof Jerman kemudian
mencoba melakukan upaya menyelesaikan perbedaan tajam antara kedua aliran
tersebut.[53]
Pada mulanya Kant mengikuti aliran rasionalisme, kemudian menurut pengakuannya
sendiri ia kemudian terjaga dari mimpi rasionalismenya setelah membaca buku
David Hume. Tetapi kemudian ia tetap berpendapat bahwa empirisme tidak bisa ia
terima begitu saja karena akan membawa keraguan pada akal. Kant tetap mengakui
bahwa akal dapat mencapai kebenaran, untuk itu ia kemudian menetapkan
syarat-syarat dalam pencapaian kebenaran akal, itulah sebabnya aliran
filsafatnya sering disebut dengan filsafat kritisisme.[54]
Dalam
filsafat kritisisme, Kant menganggap bahwa pengalaman dan akal manusia
sama-sama dapat digunakan dalam mencapai pengetahuan manusia. Selanjutnya Kant
membagi tahapan pencapaian pengetahuan manusia menjadi tingkatan, yaitu; Tahap
pencapaian inderawi,[55] tahap
akal budi,[56]Tahap
rasio/intelek[57]
Pada tahapan ini, proses pengetahuan manusia telah sampai pada kaidah-kaidah
asasi yang tidak bisa lagi diruntut dan bersifat mutlak Kant menyebutnya dengan
idea transendental. Tugas idea transendental ini ialah menarik kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan pada tingkatan dibawahnya.[58]
d.
Intuisisme
Intiuisisme merupakan hasil
pemikiran epistemologi filsafat Barat yang dipelopori oleh Henry Bergson.
Menurut Bergson intuisi adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Lebih
lanjut Bergson menyatakan bahwa indera dan akal manusia sama-sama terbatas
dalam memahami realitas secara keseluruhan.[59]
Menurutnya, intuisi merupakan pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan
pengetahuan yang nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis,
yang pada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, tanpa dibantu oleh
penggambaran secara simbolis. Karena itu intuisi adalah saran untuk mengetahui
secara langsung dan seketika.[60]
Suriasumantri menyatakan,
intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk
menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.[61]
Sedang secara epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang
memperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai keberadaan lahiriah
suatu objek melainkan hakekat keberadaan dari suatu objek tersebut.[62]
Dalam filsafat Islam, isme
yang hampir mirip dengan intusionisme adalah iluminasionisme (al-masya>iyyah).
Aliran ini berkembang dikalangan tokoh agama, yang di dalam agama Islam disebut
dengan istilah ma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari tuhan melalui
pencerahan dan penyinaran (al-masya>iyyah).[63]
C.
Penutup/Simpulan
Dari
apa yang telah tersaji di atas, penulis coba menyimpulkan, bahwa epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat mempelajari batas-batas
pengetahuan dan asal-usul pengetahuan serta di kriteria
kebenaran. Pembahasan
dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of
knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth)
pengetahuan. Pembahasan yang pertama telah menjawab suatu pertanyaan apakah
pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata (a>qliyyah),
indera (tajribiyyah), kritik (naqdiyyah) dan intuisi (hadasiyyah).
Fokus
lain pada pembahasan epistemologi di atas adalah tentang teori-teori kebenaran
pengetahuan, dapat digambarkan teori-teori itu adalah korespondensi, koherensi,
praktis-pragmatis dan performatif.
Selanjutnya, pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni
pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk
memperoleh pengetauan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan
tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.
Konstruksi
pemikiran epistemologi khususnya teori-teori kebenaran yang terdapat dalam
makalah ini tentu tidak dapat mengeksplor kerangka pemikiran epistemology
secara keseluruhan. Teori-teori yang ditersaji pun belum juga mencakup semua teori
yang ada. Penulis sadar, masih banyak yang belum diungkap dalam makalah ini dan
perlu eksplorasi terhadap persoalan yang lebih mendalam lagi. Walla>hu
waliyy al-tawfi>q.
Daftar
Pustaka
Adian,
Donny Gahrial, Menyoal
Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Bandung: Teraju, 2002, Cet. I.
Al-Hifni, Abdul
Mun'im, Mausu>ah al-Falsafah wa al-Fala>sifah, Juz 1,
Kairo; Maktabah Madbu>li, 1999.
Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2002
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012.
Fautanu,
Idzam, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, Jakarta: Referensi, 2012.
Lubis,
Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta:
Rajawali Pers, 2014.
Muhajir,
Noeng, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2.
Rapar, Jan
Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta; Kanisius, cet. 6, 2002.
Salam,
Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Shadr,
Muhammad Baqir, Falsafatuna>,
Diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali, Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994.
Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13.
Susanto, A., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Catra, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002.
Tim
Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta: Liberti, 2003, cet-3.
[1] Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna>, Diterjemahkan oleh
M. Nur Mufid Ali, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994) hlm. 25
[3] Menurut Salam, pengetahuan
itu harus benar kalau tidak benar disebut kontradiksi. Jadi Pengetahuan adalah
kebenaran, maka dalam kehidupan manusia memiliki berbagai pengetahuan dan
kebenaran. Lihat Burhanuddin Salam, Pengantar
Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 28.
[4] Abdul Mun'im al-Hifni, Mausu>ah al-Falsafah wa al-Fala>sifah, juz 1, Kairo; Maktabah
Madbuli> 1999, hlm. 19.
[6] Perbedaan
pokok antara teori-teori pengetahuan adalah perbedaan antara metode
rasionalisem dan teori empirisme. Contoh pengetahuan yang paling menjanjikan
adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah. Dengan demikian dapat diuraikan bah
metode yang paling cocok dengan ilmu pengetahuan harus diterima. Akan tetapi
tentu saja beberapa bidang ilmu pengetahuan lebih empiris dibanding yang lain.
Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2002. Hlm. 212-213.
[7] Jan Hendrik Rapar, Pengantar
Filsafat, Yogyakarta; Kanisius, cet. 6, 2002, hlm. 38. Ia membagi pengetahuan.
Pertama, pengetahuan biasa, kedua pengetahuan ilmiah, dan ketiga pengetahuan
filsafat. Tanpa menyebut pengetahuan agama yang bersifat mutlak.
[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu…, hlm. 87-88.
[9] Pengetahuan nir ilmiyah
adalah hasil pencerapan dengan indra terhadap objek tertentu yang dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Sedang pengetahuan pra ilmiah adalah merupakan
hasil pencerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran
rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut. Lihat Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 38.
[11] Amsal Bakhtiar, Op.Cit.
88.
[12] Ibid, 89.
[13] Idzam Fautanu, Filsafat
Ilmu; Teori dan Aplikasi, Jakarta: Referensi, 2012, hlm. 96.
[14]Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat
Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberti,
2003, cet-3. Hlm. 135
[15] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis,
Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm. 85.
[16]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet.
ke 13, hlm. 57.
[17] Amsal Bakhtiar, Op.Cit.,
hlm.112.
[18] Jujun S., Filsafat
Ilmu..., hlm. 54.
[19] Noeng Mudhafir, Filsafat
Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, Yogyakarta:
Rakesarasin, 2001, Edisi-2, hlm. 20.
[20] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu., 114.
[21] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu., hlm. 116.
[22] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu… hlm. 55.
[23] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu… hlm. 56.
[24] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu..116.
[25] Ibid, hlm. 117.
[26] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi
Ontologis,............ hlm. 85
[27] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat
Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 51.
[28] A Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi
Ontologis,............ hlm. 86.
[29] Teori
Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah
benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.
Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu… hlm. 58.
[30]Sebagai seorang pragmatis, William James menolak “teori
cermin” atau sebagai gambaran realitas dan menggantinya dengan prinsip kegunaan
dan kemanfaatannya. Dengan kata lain, benar tidaknya satu teori justru
ditentukan oleh bermanfaat tidaknya suatu teori dalam praktis kehidupan. Lihat
Akhyar Yusuf Lubis, Op.Cit., 52
[31] Ibid, 53.
[32] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu.., 115.
[33] Noeng Muhajir, Filsafat
Ilmu:…, hlm. 20.
[34] QS.
Al-Baqarah: 163-164. Artinya: (163) Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (164). Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat)
tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
[35] Ibid, 59.
[36]Austin tidak begitu tertarik
membicarakan bahasa sebagai pemaparan realitas (fakta atomik). Ia mengarahkan
analisisnya pada pemakaian bahasa sehari-hari. Ia membedakan dua macam
penggunaan bahasa, yaitu proposisi atau tuturan konstatif dan proposisi atau
tuturan performatif dengan aturan atau kriterianya sendiri. Lihat Akhyar Yusuf
Lubis, Filsafat Ilmu…, hlm. 54.
[37] Jujun S. Suraisumantri, Filsafat
Ilmu.., hlm. 59.
[38] Ahyar Lubis, Filsafat
Ilmu, hlm., 55.
[39]A Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi
Ontologis,............ hlm. 87.
[40] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu… 121.
[41] Ibid, 121.
[42] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu…, 102.
[43]Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan,
Bandung : Teraju.2002, Cet. I. hlm. 43
[44] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat
Ilmu, hlm. 94.
[45] Ibid, hlm. 95.
[46] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu…, hlm. 103.
[47] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu…, hlm. 98.
[48] Akhyar Yusuf, Filsafat
Ilmu, hlm. 112.
[49] Donny Gahrial Adian., Filsafat Ilmu., hlm. 48
[50] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2001, hlm.
24
[51]Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu…, hlm. 100.
[52] Ibid, 101.
[53]Noeng Muhajir, Filsafat
Ilmu.., hlm. 109.
[54] Tahapan pertama dalam proses
pencapaian pengetahuan bagi Kant adalah pencapaian inderawi terhadap realitas
eksternal. Namun yang dapat dicapai oleh manusia hanyalah fenomenanya atau
gejala yang tampak saja yang tak lain adalah sintesis dari unsur-unsur yang
datang dari luar sebagai materi dengan bentuk a priori ruang dan waktu dalam struktur pemikiran
manusia. Lihat Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu…, hlm. 110.
[55] Tahapan pertama dalam proses
pencapaian pengetahuan bagi Kant adalah pencapaian inderawi terhadap realitas
eksternal. Namun yang dapat dicapai oleh manusia hanyalah fenomenanya atau
gejala yang tampak saja yang tak lain adalah sintesis dari unsur-unsur yang
datang dari luar sebagai materi dengan bentuk a priori ruang dan waktu dalam struktur pemikiran manusia.
Lihat Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, hlm. 111
[56] Bersamaan dengan pencapaian inderawi secara
spontan bekerjalah akal budi manusia. Tugas akal budi manusia adalah menyusun
dan menghubungkan data-data inderawi. Dalam hal ini akal budi manusia bekerja dengan
bantuan daya fantasinya. Pengetahuan akal budi baru bisa diperoleh ketika
terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori
yang dinamai oleh Kant dengan “kategori” yakni ide bawaan yang mempunyai fungsi
epistemologi dalam diri manusia untuk menyusun pengetahuan. Lihat
Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, hlm. 112
[57] Menurut
Kant, yang dimaksud dengan rasio/intelek adalah kemampuan asasi yang
menciptakan pengertian-pengertian umum dan mutlak.
[58] Idzam Fautanu, Filsafat
Ilmu…, hlm. 247.
[59] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu.., hlm. 107
[60] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 56.
[61] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu …, hlm. 53.
[62]Ahmad Tafsir, Filsfat Umum,
hlm. 57.
[63] Ma’rifah, itu
diperoleh dengan cara latihan, yang dalam diskursus Islam disebut dengan riyadah.
Metode ini secara umum dipakai dalam thariqah atau tasawuf. Dari kemampuan
ma’rifah ini, dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat
tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat
indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati. Lihat Burhanuddin Salam, Pengantar
Filsafat…, hlm. 131.
No comments:
Post a Comment