Wednesday 25 February 2015

Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu: Sebuah Kerangka Untuk Memahami Konstruksi Epistemologi

Oleh: Ahmad Atabik

A.    Pendahuluan
Dalam lintas sejarah, manusia dalam kehidupannya senantiasa sibukkan oleh berbagai pertanyaan mendasar tentang dirinya. Pelbagai jawaban yang bersifat spekulatif coba diajukan oleh para pemikir sepanjang sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang diajukan saling kontradiksif satu dengan yang lainnya. Perdebatan mendasar yang sering menjadi bahan diskusi dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber dan asal usul pengetahuan dan kebenaran.[1] Filsafat dan agama sebagai dua kekuatan yang mewarnai dunia telah menawarkan konstruk epistemologi  yang berbeda dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan yang benar dan pasti.[2] Penganut pragmatis, utamanya John Dewey  tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran (antara knowledge dan truth).[3] Hal inilah yang kemudian menjadi kajian menarik epistemologi.
Epistemologi sebagai cabang dari ilmu filsafat mempelajari batas-batas pengetahuan dan asal-usul pengetahuan serta di kriteria kebenaran. Kata 'epistemologi' sendiri berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu, pikiran, percakapan). Jadi epistemologi berarti ilmu, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan[4]. Pokok persoalan dari kajian epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas jangkauan pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah; apakah pengetahuan itu, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?[5]. Dengan kata lain, epistemologi berarti "studi atau teori tentang pengetahuan" (the study or theory of knowledge). Namun, dalam diskursus filsafat, epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas asal usul, struktur, metode-metode, dan  kebenaran pengetahuan. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa epistemologi adalah cabang dari filsafat yang secara khusus membahas "teori tentang pengetahuan".[6]
Pada awalnya, pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth) pengetahuan. Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata (‘aqliyyah), pengalaman indera (tajri>biyyah), kritik (naqdiyyah) atau intuisi (hadasiyyah). Sementara itu, pembahasan yang kedua terfokus pada pertanyaan apakah "kebenaran" pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi atau praktis-pragmatis.  Selanjutnya, pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetauan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.
            Makalah ini mencoba mengeksplorasi kedudukan pengetahuan dan kebenaran. Apa hakekat dan sumber pengetahuan? Bagaimana kebenaran dalam pandangan filsafat ilmu? Apa sumber-sumber pengetahuan dan kebenaran dalam perspektif filsafat? Dalam memaparkan sumber pengetahuan akan diuraikan beserta contoh-contoh yang simpel. Begitu juga yang terkait dengan kriteria-kriteria kebenaran.
B.  Teori Pengetahuan dan Kebenaran
1.      Jenis Pengetahuan
Hendrik Rapar, mengemukakan bahwa jenis pengetahuan itu dibagi tiga.[7] Sedangkan Burhanuddin Salam, sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar jenis pengetahuan ada empat, yaitu:[8]
Pertama, pengetahuan biasa. Pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan sebagai common sense, dan sering diartikan sebagai good sense, karena seseorang memiliki Sesutu di mana ia menerima secara baik. Semua orang menyebut warna ini putih karena memang itu merah. Air itu panas karena memang dipanasi dengan api. Makanan bisa mengganjal rasa lapar, dll. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan pra ilmiah dan nir ilmiah[9].
 Kedua, pengetahuan ilmu (science). Adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenarannya. Ilmu pada hakikatnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan commons sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ketiga, pengetahuan filsafat. Diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, spekulasi, penilaiaan kritis dan penafsiran[10]. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigit, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.[11]
Keempat, pengetahuan agama. Pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang disering disebut dengan hubungan secara vertikal (hablun min Alla>h), dan cara berhubungan dengan sesama manusia (hablun min al-na>s). Pengetahuan agama yang paling penting adalah pengetahuan tentang tuhan, selain itu tentang keyakinan (keimanan) dan syariat (implementasi dari keyakinan).[12] Pengetahuan ini sifat kebenarannya adalah mutlak karena berasal dari firman Tuhan dan sabda Nabi.


2.      Teori-teori kebenaran
Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,[13] menerangkan bahwa kebenaran itu adalah 1). Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya. Misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2). Sesuatu yang benar (sugguh-sugguh ada, betul-betul hal demikian halnya, dan sebagainya). Misalnya kebenaran-kebenran yang diajarkan agama. 3). Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
Sedang menurut Abbas Hamami,[14] kata "kebenaran" bisa digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek.[15] Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan bersal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran. Berikut ini adalah teori-teori kebenaran.
a.      Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence) antara rti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyaan atau pendapat tersebut.[16] Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya.[17]
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di antara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini banyak dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970).[18] Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan atau realitas yang diketahuinya.[19]
Problem yang kemudian muncul adalah apakah realitas itu obyektif atau subyektif? Terdapat dua pandangan dalam permasalahan ini, realisme epistemologis dan idealisme epistemologis.
Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat realitas yang independen (tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran; dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahaminya. Itulah sebabnya realism epistemologis kadangkala disebut objektivisme. Sedangkan idealisme epistemologis berpandangan bahwa setiap tindakan berakhir dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subyektif.[20] Kedua bentuk pandangan realistas di atas sangatlah beda. Idealisme epistemologi lebih menekankan bahwa kebenaran itu adalah apa yang ada didunia ide. Karenanya melihat merah, rasa manis, rasa sakit, gembira, berharap dan sebagainya semuanya adalah ide. Oleh sebab itu, idealisme epistemologis sebagaiman didefinisikan di atas sama dengan subyektivitas.
Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya dua realitas yang berada dihadapan manusia, pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antra pernyataan tentan sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Misal, Semarang ibu kota Jawa Tengah. Pernyataan ini disebut benar apabila pada kenyataannya Semarang memang ibukota propinsi Jawa Tengah. Kebenarannya terletak pada pernyataan dan kenyataan.
Signifikansi teori ini terutama apabila diaplikasikan pada dunia sains dengan tujuan dapat mencapai suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Seorang ilmuan akan selalu berusaha meneliti kebenaran yang melekat pada sesuatu secara sungguh-sungguh, sehingga apa yang dilihatnya itu benar-benar nyata terjadi. Sebagai contoh, gunung dapat berjalan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini harus diteliti dengan keilmuan yang lain yaitu ilmu tentang gunung (geologi), ternyata gunung mempunyai kaki (lempeng bumi) yang bisa bergerak sehingga menimbulkan gempa bumi dan tsunami. Dengan demikian sebuah pertanyaan tidak hanya diyakini kebenarannya, tetapi harus diragukan dahulu untuk diteliti, sehingga mendapatkan suatu kebenaran hakiki.
b.      Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.[21]
Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[22] Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran.[23] Misal, Semua manusia membutuhkan air,  Ahmad adalah seorang manusia, Jadi, Ahmad membutuhkan air.
Suatu proposisi itu cenderung benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh proposisi coherent dengan pengalaman kita. Bakhtiar sebagai mana dikutip dari Aholiab Watholi, memberikan standarisasi kepastian kebenaran dengan sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya sehingga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di mana hal itu di artikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan lagi.[24]
Berbeda dengan teori korespondensi yang dianut oleh penganut realism dan matrealisme, teori koherensi atau konsistensi ini berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh hegel dan diikuti oleh pengikut madzhab idealism. Dia antaranya seorang filsuf Britania F. M Bradley (1864-1924).[25] Idealisme epistemologi berpandangan bahwa obyek pengetahuan, atau kualitas yang kita serap dengan indera kita itu tidaklah berwujud terlepas dari kesadaran tentang objek tersebut. Karenanya, teori ini lebih sering disebut dengan istilah subjektivisme. Pemegang teori ini, atau kaum idealism berpegang, kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan sendiri kebenaran pengetahuannya tanpa memandang keadaan real peristiwa-peristiwa. Manusia adalah ukuran segala-galanya, dengan cara demikianlah interpretasi tentang kebenaran telah dirumuskan kaum idealisme.[26]
Kalau ditimbang dan dibandingkan dengan teori korespondensi, teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas dibandingkan teori pertama tadi. Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.[27]
c.       Teori Pragmatisme (The pramagtic theory of truth.)
Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat.[28] Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.[29]
Pragmatism merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19, yang menekankan pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem solving) dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Tokoh pragmatism awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914) yang dikenal juga sebagai tokoh semiotic, William James[30] (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).[31]
Amsal (2012) menyatakan, menurut teori pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis manusia. Dalam artian, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.[32] Teori, hepotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis.[33] Misal teori pragmatisme dalam dunia pendidikan, di STAIN Kudus, prinsip kepraktisan (practicality) dalam memperoleh pekerjaan telah mempengaruhi jumlah mahasiswa baru pada masing-masing Jurusan. Tarbiyah menjadi fovorit, karena menurut masyarakat lulus dari Jurusan Tarbiyah bisa menjadi guru dan mendapatkan sertifikasi guru. Misal lain, mengenai pertanyaan wujud Tuhan yang Esa. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 163-164,[34] Allah menjelaskan tentang wujud-Nya yang Esa serta menjelaskan tentang penjelasan praktis terhadap pertanyaan tersebut.
Menimbang teori pragmatisme dengan teori-teori kebenaran sebelumya, pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.[35]
d.      Teori Performatif
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960)[36] dan dianut oleh filsuf lain seperti Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun justeru inilah yang ingin ditolak oleh para filsuf ini.[37]
Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan.[38] Misalnya, “Dengan ini saya mengangkat anda sebagai manager perusahaan “Species S3”. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah realitas baru yaitu anda sebagai manager perusahaan “Species S3”, tentunya setelah SKnya turun. Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan pengucapan kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan.
Teori ini dapat diimplementasikan secara positif, tetapi di pihak lain dapat pula negatif. Secara positif, dengan pernyataan tertentu, orang berusaha mewujudkan apa yang dinyatakannya.[39] Misal, “Saya bersumpah akan menjadi dosen yang baik”. Tetapi secara negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau ungkapannya seakan pernyataan tersebut sama dengan realitas begitu saja. Misalnya, “Saya doakan setelah lulus S1 kamu menjadi orang yang sukses”, ungkapan ini bagi sebagian orang adalah doa padahal bisa saja sebagai basa-basi ucapan belaka. Atau, “saya bersumpah, saya berjanji menjadi karyawan yang setia pada pimpinan”, seakan-akan dengan janji itu ia setia pada pimpinan. Bisa jadi kita semua terjebak dengan pernyataan seperti itu seolah-olah dengan dengan pernyataan-pernyatan itu tercipta realitas seperti yang dinyatakan. Padahal apa yang dinyatakan, belum dengan sendirinya mennjadi realitas.

e.       Agama sebagai teori kebenaran
Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran menurut teori agama adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.[40]
Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama denngan cara mempertanyakan atau mencari jawaban berbagai masalah kepada kitab Suci. Dengan demikian, sesuatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentuk kebenaran mutlak.[41]
3.      Sumber-Sumber Pengetahuan
a.      Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahua. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dari akal.[42] Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai paham yang sangat menekankan akal sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir dalam penentuan kebenaran pengetahuan manusia.[43] Aliran ini dipelopori oleh Rene Descartes, kemudian dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir barat, diantaranya Rene Descartes, Spionoza, Leibniz dan Christian Wolf. Meski sebenarnya akar-akar pemikirannya sudah ditemukan dalam pemikiran para filosof klasik, yaitu Plato dan Aristoteles.[44]
Menurut kaum rasionalisme, sumber pengetahuan manusia didasarkan pada innate idea (ide bawaan) yang dibawa oleh manusia sejak ia lahir. Ide bawaan tersebut menurut Descartes terbagi atas tiga kategori, yaitu; Pertama, Cogitans atau pemikiran, bahwa secara fitroh manusia membawa ide bawaan yang sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang berpikir, dari sinilah keluar statement Descartes yang sangat terkenal, yaitu cogito ergo sum yaitu aku berpikir maka aku ada. Kedua, Allah Atau deus, manusia secara fitroh memiliki ide tentang suatu wujud yang sempurna, dan wujud yang sempurna itu tak lain adalah Tuhan. Ketiga, Extensia atau keluasan, yaitu ide bawaan manusia, materi yang memiliki keluasan dalam ruang.[45]
Ketiga ide bawaan diatas dijadikan aksioma pengetahuan dalam filsafat rasionalisme yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Dalam metode pencapaian pengetahuan Descartes memperkenalkan metode yang dikenal dengan metode keraguan  (dibium methodicum) yaitu meragukan segala sesuatu termasuk segala hal yang telah dianggap pasti dalam kerangka pengetahuan manusia.[46]
b.      Empirisme
Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu empeirikos artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya.[47] yang artinya pengalaman. Dalam filsafat biasanya bipertentangkan dengan rasionalisme.[48] Berbeda dengan rasionalisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber dan penjamin kepastian suatu kebenaran pengetahuan manusia. Empirisme memandang hanya pengalaman inderawilah (al-tajri>bah) sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia.[49]
Aliran Empirisme disandarkan kepada beberapa tokoh pemikir Barat diantaranya Francis Bacon, Thomas Hobbes, David Hume, dan John locke.[50] John Locke memperkenalkan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong), maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamanya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana lama-lama menjadi komplek, lalu tersusunlah pengetahuan berarti.[51]
Jadi dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah dengan pengalaman inderawi. Maka, empirisme sangat menekankan metode eksperimen dalam proses pencapaian pengetahuan manusia. Seseorang yang tak memiliki satu jenis indera tertentu maka ia ia tidak dapat memiliki konsepsi tentang pengetahuan yang berhubungan indera tersebut.[52]
c.       Kritisisme
Ketika terjadi pertarungan filsafat antara aliran rasionalisme dan empirisme mengenai dasar pengetahuan manusia. Immanuel Kant seorang filosof Jerman kemudian mencoba melakukan upaya menyelesaikan perbedaan tajam antara kedua aliran tersebut.[53] Pada mulanya Kant mengikuti aliran rasionalisme, kemudian menurut pengakuannya sendiri ia kemudian terjaga dari mimpi rasionalismenya setelah membaca buku David Hume. Tetapi kemudian ia tetap berpendapat bahwa empirisme tidak bisa ia terima begitu saja karena akan membawa keraguan pada akal. Kant tetap mengakui bahwa akal dapat mencapai kebenaran, untuk itu ia kemudian menetapkan syarat-syarat dalam pencapaian kebenaran akal, itulah sebabnya aliran filsafatnya sering disebut dengan filsafat kritisisme.[54]
Dalam filsafat kritisisme, Kant menganggap bahwa pengalaman dan akal manusia sama-sama dapat digunakan dalam mencapai pengetahuan manusia. Selanjutnya Kant membagi tahapan pencapaian pengetahuan manusia menjadi tingkatan, yaitu; Tahap pencapaian inderawi,[55] tahap akal budi,[56]Tahap rasio/intelek[57] Pada tahapan ini, proses pengetahuan manusia telah sampai pada kaidah-kaidah asasi yang tidak bisa lagi diruntut dan bersifat mutlak Kant menyebutnya dengan idea transendental. Tugas idea transendental ini ialah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkatan dibawahnya.[58]
d.      Intuisisme
Intiuisisme merupakan hasil pemikiran epistemologi filsafat Barat yang dipelopori oleh Henry Bergson.  Menurut Bergson intuisi adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa indera dan akal manusia sama-sama terbatas dalam memahami realitas secara keseluruhan.[59] Menurutnya, intuisi merupakan pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu intuisi adalah saran untuk mengetahui secara langsung dan seketika.[60]
Suriasumantri menyatakan, intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.[61] Sedang secara epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang memperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai keberadaan lahiriah suatu objek melainkan hakekat keberadaan dari suatu objek tersebut.[62]
Dalam filsafat Islam, isme yang hampir mirip dengan intusionisme adalah iluminasionisme (al-masya>iyyah). Aliran ini berkembang dikalangan tokoh agama, yang di dalam agama Islam disebut dengan istilah ma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari tuhan melalui pencerahan dan penyinaran (al-masya>iyyah).[63]
C.    Penutup/Simpulan
Dari apa yang telah tersaji di atas, penulis coba menyimpulkan, bahwa epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat mempelajari batas-batas pengetahuan dan asal-usul pengetahuan serta di kriteria kebenaran. Pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth) pengetahuan. Pembahasan yang pertama telah menjawab suatu pertanyaan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata (a>qliyyah), indera (tajribiyyah), kritik (naqdiyyah) dan intuisi (hadasiyyah).
Fokus lain pada pembahasan epistemologi di atas adalah tentang teori-teori kebenaran pengetahuan, dapat digambarkan teori-teori itu adalah korespondensi, koherensi, praktis-pragmatis dan performatif.  Selanjutnya, pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetauan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.
Konstruksi pemikiran epistemologi khususnya teori-teori kebenaran yang terdapat dalam makalah ini tentu tidak dapat mengeksplor kerangka pemikiran epistemology secara keseluruhan. Teori-teori yang ditersaji pun belum juga mencakup semua teori yang ada. Penulis sadar, masih banyak yang belum diungkap dalam makalah ini dan perlu eksplorasi terhadap persoalan yang lebih mendalam lagi. Walla>hu waliyy al-tawfi>q.













Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahrial, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Bandung: Teraju, 2002, Cet. I.
Al-Hifni, Abdul Mun'im, Mausu>ah al-Falsafah wa al-Fala>sifah, Juz 1, Kairo; Maktabah Madbu>li, 1999.
Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Fautanu, Idzam, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, Jakarta: Referensi, 2012.
Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Muhajir, Noeng, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2.
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta; Kanisius, cet. 6, 2002.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna>, Diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali, Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13.
Susanto, A., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Catra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberti, 2003, cet-3.




[1] Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna>, Diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994) hlm. 25
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 85.
[3] Menurut Salam, pengetahuan itu harus benar kalau tidak benar disebut kontradiksi. Jadi Pengetahuan adalah kebenaran, maka dalam kehidupan manusia memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Lihat  Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 28.
[4] Abdul Mun'im al-Hifni, Mausu>ah al-Falsafah wa al-Fala>sifah, juz 1, Kairo; Maktabah Madbuli> 1999, hlm. 19.
[5] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta; Kanisius, cet. 6, 2002, hlm. 38.
[6] Perbedaan pokok antara teori-teori pengetahuan adalah perbedaan antara metode rasionalisem dan teori empirisme. Contoh pengetahuan yang paling menjanjikan adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah. Dengan demikian dapat diuraikan bah metode yang paling cocok dengan ilmu pengetahuan harus diterima. Akan tetapi tentu saja beberapa bidang ilmu pengetahuan lebih empiris dibanding yang lain. Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. Hlm. 212-213.
[7] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta; Kanisius, cet. 6, 2002, hlm. 38. Ia membagi pengetahuan. Pertama, pengetahuan biasa, kedua pengetahuan ilmiah, dan ketiga pengetahuan filsafat. Tanpa menyebut pengetahuan agama yang bersifat mutlak.
[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 87-88.
[9] Pengetahuan nir ilmiyah adalah hasil pencerapan dengan indra terhadap objek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sedang pengetahuan pra ilmiah adalah merupakan hasil pencerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut. Lihat Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 38.
[10] Ibid, 38-39.
[11] Amsal Bakhtiar, Op.Cit. 88.
[12] Ibid, 89.
[13] Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, Jakarta: Referensi, 2012, hlm. 96.
[14]Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberti, 2003, cet-3. Hlm. 135
[15] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, hlm. 85.
[16]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13, hlm. 57.
[17] Amsal Bakhtiar, Op.Cit., hlm.112.
[18] Jujun S., Filsafat Ilmu..., hlm. 54.
[19] Noeng Mudhafir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2,  hlm. 20.
[20] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu., 114.
[21] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu., hlm. 116.
[22] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 55.
[23] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 56.
[24] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu..116.
[25] Ibid, hlm. 117.
[26] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi Ontologis,............ hlm. 85
[27] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 51.
[28] A Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi Ontologis,............ hlm. 86.
[29] Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu… hlm. 58.
[30]Sebagai seorang  pragmatis, William James menolak “teori cermin” atau sebagai gambaran realitas dan menggantinya dengan prinsip kegunaan dan kemanfaatannya. Dengan kata lain, benar tidaknya satu teori justru ditentukan oleh bermanfaat tidaknya suatu teori dalam praktis kehidupan. Lihat Akhyar Yusuf Lubis, Op.Cit., 52
[31] Ibid, 53.
[32] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu.., 115.
[33] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu:…,  hlm. 20.
[34] QS. Al-Baqarah: 163-164. Artinya:  (163) Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (164). Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
[35] Ibid, 59.
[36]Austin tidak begitu tertarik membicarakan bahasa sebagai pemaparan realitas (fakta atomik). Ia mengarahkan analisisnya pada pemakaian bahasa sehari-hari. Ia membedakan dua macam penggunaan bahasa, yaitu proposisi atau tuturan konstatif dan proposisi atau tuturan performatif dengan aturan atau kriterianya sendiri. Lihat Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu…, hlm. 54.
[37] Jujun S. Suraisumantri, Filsafat Ilmu.., hlm. 59.
[38] Ahyar Lubis, Filsafat Ilmu, hlm., 55.
[39]A Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi Ontologis,............ hlm. 87.
[40] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 121.
[41] Ibid, 121.
[42] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, 102.
[43]Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Bandung : Teraju.2002, Cet. I. hlm. 43
[44] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, hlm. 94.
[45] Ibid, hlm. 95.
[46] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 103.
[47] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 98.
[48] Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu, hlm. 112.
[49] Donny Gahrial Adian., Filsafat Ilmu., hlm. 48
[50] Ahmad Tafsir,  Filsafat Umum, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 24
[51]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 100.
[52] Ibid, 101.
[53]Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu.., hlm. 109.
[54] Tahapan pertama dalam proses pencapaian pengetahuan bagi Kant adalah pencapaian inderawi terhadap realitas eksternal. Namun yang dapat dicapai oleh manusia hanyalah fenomenanya atau gejala yang tampak saja yang tak lain adalah sintesis dari unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk a priori ruang dan waktu dalam struktur pemikiran manusia. Lihat Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu…, hlm. 110.
[55] Tahapan pertama dalam proses pencapaian pengetahuan bagi Kant adalah pencapaian inderawi terhadap realitas eksternal. Namun yang dapat dicapai oleh manusia hanyalah fenomenanya atau gejala yang tampak saja yang tak lain adalah sintesis dari unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk a priori ruang dan waktu dalam struktur pemikiran manusia. Lihat Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, hlm. 111
[56] Bersamaan dengan pencapaian inderawi secara spontan bekerjalah akal budi manusia. Tugas akal budi manusia adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi. Dalam hal ini akal budi manusia bekerja dengan bantuan daya fantasinya. Pengetahuan akal budi baru bisa diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang dinamai oleh Kant dengan “kategori” yakni ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologi dalam diri manusia untuk menyusun pengetahuan. Lihat Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, hlm. 112
[57] Menurut Kant, yang dimaksud dengan rasio/intelek adalah kemampuan asasi yang menciptakan pengertian-pengertian umum dan mutlak.
[58] Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu…, hlm. 247.
[59] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu.., hlm. 107
[60] Ahmad Tafsir,  Filsafat Umum, hlm. 56.
[61] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu …, hlm. 53.
[62]Ahmad Tafsir, Filsfat Umum, hlm. 57.
[63] Ma’rifah, itu diperoleh dengan cara latihan, yang dalam diskursus Islam disebut dengan riyadah. Metode ini secara umum dipakai dalam thariqah atau tasawuf. Dari kemampuan ma’rifah ini, dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati. Lihat Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat…, hlm. 131.

No comments:

Post a Comment