Wednesday 25 February 2015

METODE KOMPROMI DALAM HADIST-HADIST MUKHTALIF


I.         PENDAHULUAN
Al-Qur'an maupun hadist merupakan sumber pokok dalam hukum Islam yang dijadikan pedoman dalam menentukan aturan-aturan Allah yang ditujukan bagi umat Islam di mana saja dan kapan saja ia berada. Hal ini bertujuan agar manusia tidak keliru dalam memaknai dan menjalankan hidup di dunia dan di akhirat. Sehingga diharapkan umat-umat Islam dapat merasakan kebahagian secara lahir batin.
Berkaitan dengan hadist sebagai sumber hukum Islam yang kedua, terdapat beberapa hadist yang jelas makna dan tujuan penyampaian oleh Nabi saw, namun ada pula beberapa hadist yang menunjukkan adanya kesan kontradiksi mengenai matannya. Di mana matan yang satu berbicara tentang kehalalan namun hadist kedua berbicara keharaman pada konteks yang sama. Hadist yang berkesan kontradiktif ini disebut juga sebagai mukhtaliful hadist.
Ada beberapa cara untuk menyelesaikan hadist yang kontradiktif, di antaranya adalah dengan metode naskh-mansukh, metode tarjih, metode al-jam'u (kompromi). Metode kompromi dalam hadist mukhtalif ini yang dipaparkan lebih spesifik lagi dalam makalah ini. Adapun hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.      Pengertian mukhtaliful hadist
2.      Langkha-langkah Penyelesaian mukhtaliful hadist
3.      Metode kompromi dalam hadist mukhtaliful hadist
a.       Pengertian metode kompromi dalam hadist
b.      Sebab-sebab hadist mukhtalif
c.       Kaidah-kaidah al-jam'u
d.      Cara penyelesaian dengan metode kompromi
4.      Contoh-contoh hadist yang berkesan kontradiktif
II.      PEMBAHASAN
1.      Pengertian mukhtaliful hadist
Hadist mukhtalif adalah dua buah hadist yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya, kemudian keduanya dikompromikan atau di-tarjih salah satunya.[1] Menurut Nuruddin 'Itr, hadist-hadist mukhtalif adalah hadist-hadist yang secara lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara' yang lain.[2]
Dr. Abu Layth mendefinisikan hadist mukhtalif sebagai hadist musykil yang merupakan hadist shahih atau hasan yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenung maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil karena maknanya  yang kurang jelas dan sukar dipahami oleh orang yang bukan ahlinya.[3]
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa tidak semua hadist yang secara tekstual bertentangan tertutup untuk dikompromikan. Untuk itu Syarafuddin Ali al-Rajihi mendefinisikan hadist mukhtalif sebagai berikut:
"hadist mukhtalif adalah dua buah hadist maqbul yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya, namun maksud yang dituju oleh kedua hadist tersebut masih mungkin untuk dikompromikan dengan tanpa dicari-cari (wajar)".[4]
Imam al-Syafi'i bertkata:
" … demikianlah, tidak pernah kami temukan hadistyang kontradiksi, kecuali ada saja jalan keluarnya atau ditemukan petunjuk yang memberikan isyarah mana hadist yang lebih otentik, baik atas dasar kesesuaiannya dengan kitab Allah, hadist nabi atau berdasarkan dalalah (pettunjuk) lainnya."[5]
Dengan demikian maka tidak akan ditemukan hadist-hadist yang bertentangan secara lahiriyah (tekstual), kecuali ditemukan jalan keluar untuk menghilangkan sifat kontradiksinya, baik melalui jalan kompromi (al-jam'u), tarjih, atau naskh mansukh.
2.      Langkah-langkah Penyelesaian Mukhtaliful hadist
Cara yang ditempuh para ulama dalam menyelesaikan ikhtilaf hadist adalah sebagai berikut:
a.       Apabila mungkin, supaya untuk diupayakan dikompromikan keduanya,[6] baik melalui pendekatan kaidah ushul fiqih, pendekatan konteks, pendekatan korelatif, pendekatan ta'wil, atau pendekatan dari sudut pandang al-tanawwu' al-ibadah.
b.      Apabila mustahil untuk dikompromikan, maka perlu diteliti sejarah keduanya. Apabila telah ditemukan sejarahnya yang menunjukkan mana yang lebih awal dan lebih akhir wurudnya, maka diselesaikan melalui naskh mansukh.
c.       Apabila tidak dapat ditemukan sejarah wurudnya, maka pertama-tam supaya diamalkan secara sendiri-sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Namun bila tidak dapat diperlakukan seperti itu, terpaksa dilakukan tarjih. Dalam hal ini, Muhammad Ustman al-Kasyit membagi tarjih ke dalam empat kategori yaitu tarjih dari sudut sanad, dari sudut matan, dari sudut makna yang dimaksud (madlul), dan dari sudut yang datngnya dari luar.[7]
Untuk itu, sebagai pengetahuan mengenai pemahaman terhadap hadist (sunnah) Nabi secara lebih baik perlu menyimak pendapat al-Syafi'i. ia berpendapat bahwa sunnah Nabi tidak akan bertentangan dengan al-Qur'an, baik sunnah itu bersifat tafsir atau sebagai ketentuan tambahan. Sebab al-Qur'an sendiri memerintahkan untuk mengikutinya. Oleh karena itu, apabila terdapat hadis yang sama-sama shahih, tidak mungkin terjadi pertentangan. Nabi dalam sabdanya kadnag ditujukan sebagai ketentuan yang bersifat umum, tetapi yang umum itu kadang dimaksudkan sebagai ketentuan khusus. Demikian pula dalam sabdanya itu kadang dimaksdukan Nabi sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam konteks tertentu. Tetapi kadang ia menjawab persoalan yang sama dengan jawaban yang berbeda dalam konteks yang lain. Maka atas dasar paradigm itulah al-Syafi'i berkeyakinan bahwa tidak ada dua hadist yang bertentangan, kecuali akan ditemukan jalan keluarnya untuk mempertemukannya.[8]
3.      Metode Kompromi dalam Hadist mukhtalif
a.      Pengertian Metode Kompromi Dalam Hadist
Al-Qarafi, mengartikan al-jam'u sebagai mengkompromikan hadist-hadist yang tampak bertentangan untuk diamalkan dengan melihat seginya masing-masing.[9] Sedangkan menurut Imam Nawawi, ikhtilaf hadist adalah datangnya dua hadist yang berlawanan maknanya pada lahirnya lalu di-taufiqkan (dikumpulkan) antara keduanya atau di-tarjih-kan salah satu di antara dua hadist yang bertentangan tersebut.[10]
Iwad al-Sayyid, menurutnya metode kompromi adalah mempertemukan atau menyesuaikan antara dua hadist yang kontradiksi untuk mengamalkan isi keduanya. Dalam definisi yang kontardiksi masih bisa ditambahkan sandaran dari upaya menolak kontradiksi itu, yaitu mempertemukan antara dua hadist yang kontardiksi dengan bersandar kepada dalil yang dapat menolak kontradiksi dalam rangka mengamalkan keduanya. Definisi ini merupakan sebuah sandaran kaidah ushuliyyah yang emnyatakan bahwa "pengamalan dua buah dalil lebih diutamakan dari pada mengabaikan salah satunya".[11]
Dalam beberapa paparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode kompromi dalam hadist adalah salah satu cara yang dipakai untuk menyelesaikan hadist yang berkesan kontradiktif (berlawanan) secara lahiriahnya (tekstual) dengan menggabungkanb kedua hadist tersebut. Kemudian dilihat melalui pendekatan usuhl fiqih, pendekatan konteks, pendekatan korelatif, dan pendekatan ta'wil atau pendekatan dari sudut pandang al-tanawwu' al-ibadah. Demikian metode al-jam'u (kompromi) merupakan cara terbaik yang diakui oleh sejumlah ulama sebagaimana yang dituturkan oleh al-Kandahlawi.[12]
b.      Sebab-sebab Hadist Mukhtalif
Ada beberapa factor yang menyebabkan hadist yang satu dengan hadust yang lainnya berkesan kontradiktif atau saling berlawanan, di antara factor-faktor tersebut adalah:[13]
1)      Faktor internal hadist (al-'amaliy al-dakhily)
Faktor yang berkairan dengan redaksi hadist, biasanya terdapat 'illat di dalam hadist tersebut. Di mana nanti kedudukan hadist tersebut akan menjadi dho'if. Kemudian secara otomatis hadist tersebut ditolak jiak bertentangan dengan hadist yang lebih shahih.
2)      Faktor eksternal (al-'Amil al-Kharij)
Yaitu factor yang disebabkan oleh konteks penyampaian Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu dan tempat ketika Nabi menyampaikan hadist.
3)      Faktor Metodologi (al-Budu' al-Manhajy)
Yaitu faktor yang berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadist tersebut. Ada sebagian hadist yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimilki oleh seseorang yang memahami hadist. Sehingga memunculkan hadist-hadist yang mukhtalif.
4)      Faktor Ideologi
Faktor yang berkiatan dengan suatu mazhab dalam memahami suatu hadist. Sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.
c.       Kaidah-kaidah al-Jam'u
Terdapat kaidah-kaidah ketika kita mengkompromikan suatu hadist dengan hadist lainnya yang bertentangan:
1)      Hadist itu berasal dari Nabi dalam bentuk umum, sehingga dating dari Nabi penunjukkan kepada makna yang sifatnya khusus.
2)      Membawa perbedaan (ikhtilaf) hadist itu kepada kebolehan dilakukannya perkara itu. Imam Syafi'I menyatakan bahwa terdapat hadist yang berbeda tentang perbuatan Nabi dari satu sisi, tetapi dari sisi lain kedua hadsit tersebut (yang berbeda) dibolehkan dilakukannya metode kompromi.
3)      Mengkompromikan antara yang majmul dengan yang mufassar, 'am dan khas. Imam Syafi'i mengatakan pula bahwa terdapat hadist-hadist Nabi yang datang secara global dipandang secara 'am (umum), maka ia akan diriwayatkan secara berbeda mufassir (rinci). Dalam persoalan seperti ini tentunya tidak dapat dipandang sebagai ikhtilaf, tetapi merupakan suatu bentuk pendeskrisian suatu obyek dengan keluasan bahasa arab. Hal itu merupakan pembicaraan sesuatu secara umum, namun dikehendaki makna khusus. Hal ini dipakai dan berlaku secara bersama-sama.
d.      Cara Penyelesaian dengan Metode Kompromi
untuk menghilangkan pertentangan yang tampak dan berkesan kontradiktif perlu ditelusuri kandungan makna masing-masing hadist tersebut. Ada 4 cara penyelesaian terhadap hadist yang bertentangan dengan metode kompromi (al-jam'u):[14]
1)        Menggunakan pendekatan kaidah ushul
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaidah ushul adalah memahami hadist Rasulalloh saw dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah ushul yang terkait dan yang telah dirumuskan oleh ulama ushuliyun. Adapun yang menjadi obyek kajian ushul fiqh ialah bagaimana meng-instinbath-kan hukum dari dalil-dalil syara', baik al-Qur'an maupun hadist.
Untuk sampai pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami agar istinbath hokum sesuai dengan yang dituju oleh dalil. Salah satu kaidah ushul fiqh ialah "nash yang umum haruslah dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsis-nya, apabila ada dalil yang men-takhsis-kannya maka nash tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlawu dan muqayyad.
2)        Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual yang dimaksud yaitu memahami hadist-hadist Rasulalloh dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi latar belakang disampaikannya hadist (asbabul wurud). Jika tidak memperhatikan asbabul wurud maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami maksud yang dituju suatu hadist, sehingga hal ini menimbulkan penilaian yang bertentangan dengan hadist yang lainnya.
Oleh sebab itu, mengetahui konteks hadist menjadi hal yang sangat urgen dalam pemahaman hadist. Jika konteks suatu hadist diikutsertakan dalam hadist-hadits mukhtalif akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah akan dapat dilenyapkan dan masing-masing hadist dapat dipahami arah pemahamannya.
3)        Pemahaman Korelatif
Pemahmaan korelatif yang dimaksud adalah memperhatikan keterkaitan makna antara satu hadits dengan hadist yang lainnya yang dipandang mukhtalif  dan juga membahas permasalahan yang sama, sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. Karena dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya satu atau dua hadist tetapi bisa saja ada beberapa hadist yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh Karena itu, semua hadist harus dipahami secara bersamaan utnuk dilihat hubungan makna antara satu hadist dengan hadist lainnya sehingga diperolah gambaran yang utuh tentang sutau masalah tersebut dan pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan.
4)        Cara Ta'wil
Ta'wil berarti memalingkan lafadz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung oleh lafazh karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dilakukan karena makna yang dikandung oleh lafazh hadist dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang dituju dengan menagmbil kemungkinan dengan makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh lafazh hadist yang lainnya. Pemalingan ini dilakukan karena adanya dalil yang menghendakinya.
4.      Contoh Hadist yang Berkesan Kontradiktif
Hadist yang menjelaskan tentang jumlah umrah yang Nabi lakukan, terdapat dalam beberapa hadist shahih, yaitu:
ثم قال له كم اعتمر النبي صلى الله عليه وسلم : اربع
".. kemudian (Urwah)bertanya kepada Ibnu Umar:" berapa kalikah Nabi saw berumrah?", jawabannya: "empat kali." (Shahih Bukhori)
عن قتادة ان انسا اخبره ان رسول الله صلى الله عليه وسلم اعتمر اربع عمر كلهنا في ذي القعدة الا التي مع حجته
"Dari Qatadah bahwa Anan mengabarkan kepadanya bahwa Rasulalloh saw berumrah empat kali, semua umrah itu dalam bulan dzulqo'dah melainkan umrah (yang beliau jalankan) bersama hajinya." (Shahih Muslim)

عن عائشة ان النبي صلى الله عليه وسلم اعتمر ثلاث عمر
"Dari 'Aisyah bahwa Nabi saw berumrah tiga kali umrah". (Riwayat Said bin Manshur)
قال البراء بن عازب : اعتمر رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذي القعدة قبل ان يحخ مرتين
“ Bara Bin Azib berkata: Rasulalloh saw pernah berumrah dalam bulan dzulqa’dah dua kali, sebelum beliau naik haji. (Shahih Bukhori)
Keterangan:
1.      Riwayat yang pertama dan kedua menunjukkan bahwa Nabi saw berumrah empat kali. Riwayat ketiga menyebbutkan tiga kali, sedangkan riwayat ke empat menyebutkan dua kali.
2.      Zhahir-nya riwayat-riwayat tersebut berlawanan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, riwayat-riwayat dalam hadist tersebut dikatakan mukhtalif (kontradiktif).
3.      jika memang begitu, maka keterangan-keterangan yang berlainan itu bias kita dudukkan dengan cara demikian:
a)      umrah nabi saw adalah empat kali sebagaimana terdapat dalam hadist riwayat kesatu dan kedua.
b)      Dalam riwayat ketiga ‘Aisyah menyebut tiga kali umrah saja. Yang keempatnya tidak dia nyatakan karena nabi mengerjakannya dalam bulan haji. Sedangkan yang hendak ‘Aisyah terangkan adalah umrah dalam bulan Dzulqa’dah saja.
c)      Dalam riwayat keempat, Bara menyebut dua umrah, yang kedua laginya tidak ia sebutkan umrah yang tidak disebut ini ialah umrah Nabi bersama hajinya dan umrah Ji’ranah. Bara tidak menyebutkan dua umrah ini.
Dengan menggunakan metode kompromi ini maka terpakailah semua keterangan yang berkesan kontradiktif tersebut.
Hadist lain yang dipandang bertentangan ialah waktu-waktu terlarang dalam mengerjakan sholat. Di antara hadist-hadist tersebut ialah:
حدثنا حفص بن عمر قال حدثنا هشام عن قتادة عن ابي العالية عن ابن عباس قال شهد عندي رجال مرضيون وارضاهم عندي عمر انن النبي رسول الله صلى الله عليه وسلم نهي عن الصلاة بعد الصبح حتى تشرق الشمس وبعد العصر حتى تغرب
“telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar berkata, telah menceritakan pula kepada kami Hisyam dari Qatadah dari Abu Al Aliyah dari Ibnu ‘Abbas berkata, “orang-orang yang diridhoi mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling ku ridhoi adalah Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Rasulalloh saw melarang sholat setelah subuh hingga matahari terbit, dan setelah Ashar sampai matahari terbenam”. (HR. Bukhori)
حدثنا ابو نعيم و موسى ابن اسماعيل قالا حدثنا همام عن قتادة عن انس بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ممن نسي صلاة فليصل اذا ذكرها لا كفارة لها الا ذالك واقم الصلاة لذكري قال موسى قال همام سمعته يقول بعد واقم الصلاة للذكرى
“telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim dan Musa bin Ismail keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari Annas Bin Malik dari Rasulalloh saw, beliau bersabda:” Barangsiapa lupa akan suatu sholat, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika ia mengingatnya, karena tidak ada tebusannya kecuali itu., Allah berfiman, “dan tegakkanlah shalat untuk mengingatku”Musa berkata, Hammam berkata setelah itu aku mendengar beliau mengucapkan “dan tegakkanlah sholat untuk mengingat-Ku”. (HR.Bukhori)
Dua hadist di atas sama-sama diriwayatkan dari Imam Bukhori dalam kitab shahih­-nya. Hadist pertama menegaskan larangan menunanikan sholat di waktu subuh hingga terbit matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari. Sementara hadist kedua tidak dibatasi oleh waktu, artinya di mana seseorang dapat melakukan sholat kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik waktu setelah subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah ashar hingga matahari terbenam.

III.   KESIMPULAN
Hadist mukhtalif adalah hadist-hadist yang berkesan kontradiktif (berlawanan) dalam satu pembahasan atau matan yang sama. Salah satu jalan untuk menyelesaikan hadist mukhtalif  ini adalah dengan metode kompromi (al-jam’u) yaitu menggabungkan kedua hadist atau beberapa hadist yang berkesan kontradiktif untuk dikompromikan dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah ushul fiqh, pemahaman kontekstual, pemahaman korelatif dan atau dengan cara ta’wil. Sehingga hadist-hadist yang berkesan kontradiktif tersebut dapat diselesaikan dan peling penting dapat diamalkan keduanya tanpa mengabaikan salah satu hadist tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Khandalawi, Muhammad Zakariya. Awjazu al-Masalik ila Muwatha’ Malik. Juz XIV.tth. Beirut: Dar al-Fikr.
‘Itr Nuruddin. Ulum al-Hadist. Terj. Mujiyo. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadist. Cet I, jilid II. 19943. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Al-Rajih, Syarafuddin Malik. Musthalah al-Hadits wa Atsaruhu ‘ala al-Darsi al-Lughowi ‘inda al Arab.tth. Beirut: Dar al-Nadhah.
Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Al-Risalah: Tahqiq Muhammad Sayyid al-Kailany. 1969. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabiy.
             . Amir Haidar (edt.). Ikhtilaf al-Hadist. 1985. Beirut: Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyah.
Ash-Shidiqiey, M. Hasbi.  Pokok-Pokok Dirayah Hadits. Jilid II. 1994. Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail, Syuhudi. Hadist Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jilid II. 1994. Jakarta; Bulan Bintang.
Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadist. 2008. Yogyakarta: Idea Press.
Safri, Edi. Al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadist-hadist Mukhtalif. 1999. Padang: IAIN IB Press.
Zuhad. Fenomena Kontradiksi Hadist dan Metode Penyelesaiannya. 2010. Semarang: Rasail Media Group.




[1] Muhammad Thahir al-Jawabiy. Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matan al-Hadits al-Nabawi.tth. Mu'assasah al-karim. Hlm: 368.
[2] Nuruddin 'Itr. Ulum hadist, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fi ulum hadist. Cet I, jilid II. 1994. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal: 114.
[3] Abdul Mustaqim. Ilmu Ma'anil Hadist. 2008. Yogyakarta: Idea Press. Hlm: 87
[4] Syarafuddin Ali al-Rajih. Mushtalah al-Hadist wa Atsaruhu 'Ala al-Darsi al-Lughowi 'inda al-'Arab.tth. Beirut: Dar al-Nadhah. Hal:217
[5] Untuk lebih rincinya bisa dibaca Muhammad bin Idris al-Syafi'i. al-risalah, tahqiqi Muhammad Sayyid al-Kailany. 1969. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabiy hlm: 98-101  
[6] Muhammad Thahir al-Jawabiy. Juhud al-Muhadditsin.. hlm: 372  
[7] Utsman al-Kasit. Mafatihu Ulum al-Hadist wa Thuruqu Tahrijih.tth. Kairo: maktabah al-: Qur'an. Hlm: 126-127.
[8] Muhammad bin Idris al-Syafi'i. . al-risalah, tahqiqi Muhammad… hlm: 98-101.
[9] Syuhudi Ismail. Hadist Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. 1994. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm: 74.
[10] M. Hasbi Ash-Shidieqy. Pokok-Pokok DIrayah Hadist. Jilid II. 1994. Jakarta: bulan Bintang. Hal: 274.
[11] Zuhad. Fenomena Kontradiksi Hadist dan Metode Penyelesaiannya. 2010. Semarang: Rasail Media Group. Hlm: 9-10.
[12] Muhammad Zakariya al-Kandahlawi. Awjazu al-Masalik ila Muwatha' Malik. Juz XIV.tth. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 270.
[13] Abdul Mustaqim. Ilmu Ma'anil Hadist. 2008. Yogyakarta: idea Press. Hal: 87.
[14] Edi Safri. Al-Imam Al-Syafi'i: Metode Penyelesaian Hadist-hadist Mukhtalif. 1999. Padang: IAIN IB Press. Hal: 100

No comments:

Post a Comment