I.
PENDAHULUAN
Al-Qur'an maupun hadist merupakan
sumber pokok dalam hukum Islam yang dijadikan pedoman dalam menentukan
aturan-aturan Allah yang ditujukan bagi umat Islam di mana saja dan kapan saja
ia berada. Hal ini bertujuan agar manusia tidak keliru dalam memaknai dan
menjalankan hidup di dunia dan di akhirat. Sehingga diharapkan umat-umat Islam
dapat merasakan kebahagian secara lahir batin.
Berkaitan dengan hadist sebagai
sumber hukum Islam yang kedua, terdapat beberapa hadist yang jelas makna dan
tujuan penyampaian oleh Nabi saw, namun ada pula beberapa hadist yang
menunjukkan adanya kesan kontradiksi mengenai matannya. Di mana matan yang satu
berbicara tentang kehalalan namun hadist kedua berbicara keharaman pada konteks
yang sama. Hadist yang berkesan kontradiktif ini disebut juga sebagai mukhtaliful
hadist.
Ada beberapa cara untuk
menyelesaikan hadist yang kontradiktif, di antaranya adalah dengan metode naskh-mansukh,
metode tarjih, metode al-jam'u (kompromi). Metode kompromi dalam
hadist mukhtalif ini yang dipaparkan lebih spesifik lagi dalam makalah
ini. Adapun hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Pengertian mukhtaliful hadist
2. Langkha-langkah Penyelesaian mukhtaliful
hadist
3. Metode kompromi dalam hadist mukhtaliful
hadist
a. Pengertian metode kompromi dalam hadist
b. Sebab-sebab hadist mukhtalif
c. Kaidah-kaidah al-jam'u
d. Cara penyelesaian dengan metode kompromi
4. Contoh-contoh hadist yang berkesan
kontradiktif
II.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian mukhtaliful
hadist
Hadist mukhtalif adalah dua buah hadist
yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya, kemudian keduanya
dikompromikan atau di-tarjih salah satunya.[1]
Menurut Nuruddin 'Itr, hadist-hadist mukhtalif adalah hadist-hadist yang
secara lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga
mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara'
yang lain.[2]
Dr. Abu Layth mendefinisikan hadist mukhtalif
sebagai hadist musykil yang merupakan hadist shahih atau hasan yang
tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenung
maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil karena
maknanya yang kurang jelas dan sukar
dipahami oleh orang yang bukan ahlinya.[3]
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa
tidak semua hadist yang secara tekstual bertentangan tertutup untuk
dikompromikan. Untuk itu Syarafuddin Ali al-Rajihi mendefinisikan hadist mukhtalif
sebagai berikut:
"hadist
mukhtalif adalah dua buah hadist maqbul yang saling bertentangan pada makna
lahiriahnya, namun maksud yang dituju oleh kedua hadist tersebut masih mungkin
untuk dikompromikan dengan tanpa dicari-cari (wajar)".[4]
Imam al-Syafi'i bertkata:
" …
demikianlah, tidak pernah kami temukan hadistyang kontradiksi, kecuali ada saja
jalan keluarnya atau ditemukan petunjuk yang memberikan isyarah mana hadist
yang lebih otentik, baik atas dasar kesesuaiannya dengan kitab Allah, hadist
nabi atau berdasarkan dalalah (pettunjuk) lainnya."[5]
Dengan demikian maka tidak akan ditemukan
hadist-hadist yang bertentangan secara lahiriyah (tekstual), kecuali ditemukan
jalan keluar untuk menghilangkan sifat kontradiksinya, baik melalui jalan
kompromi (al-jam'u), tarjih, atau naskh mansukh.
2.
Langkah-langkah
Penyelesaian Mukhtaliful hadist
Cara yang ditempuh para ulama dalam
menyelesaikan ikhtilaf hadist adalah sebagai berikut:
a.
Apabila
mungkin, supaya untuk diupayakan dikompromikan keduanya,[6]
baik melalui pendekatan kaidah ushul fiqih, pendekatan konteks,
pendekatan korelatif, pendekatan ta'wil, atau pendekatan dari sudut
pandang al-tanawwu' al-ibadah.
b.
Apabila
mustahil untuk dikompromikan, maka perlu diteliti sejarah keduanya. Apabila
telah ditemukan sejarahnya yang menunjukkan mana yang lebih awal dan lebih
akhir wurudnya, maka diselesaikan melalui naskh mansukh.
c.
Apabila tidak
dapat ditemukan sejarah wurudnya, maka pertama-tam supaya diamalkan secara
sendiri-sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Namun bila
tidak dapat diperlakukan seperti itu, terpaksa dilakukan tarjih. Dalam
hal ini, Muhammad Ustman al-Kasyit membagi tarjih ke dalam empat
kategori yaitu tarjih dari sudut sanad, dari sudut matan, dari sudut
makna yang dimaksud (madlul), dan dari sudut yang datngnya dari luar.[7]
Untuk itu, sebagai pengetahuan mengenai
pemahaman terhadap hadist (sunnah) Nabi secara lebih baik perlu menyimak
pendapat al-Syafi'i. ia berpendapat bahwa sunnah Nabi tidak akan bertentangan
dengan al-Qur'an, baik sunnah itu bersifat tafsir atau sebagai ketentuan
tambahan. Sebab al-Qur'an sendiri memerintahkan untuk mengikutinya. Oleh karena
itu, apabila terdapat hadis yang sama-sama shahih, tidak mungkin terjadi
pertentangan. Nabi dalam sabdanya kadnag ditujukan sebagai ketentuan yang
bersifat umum, tetapi yang umum itu kadang dimaksudkan sebagai ketentuan
khusus. Demikian pula dalam sabdanya itu kadang dimaksdukan Nabi sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam konteks tertentu. Tetapi
kadang ia menjawab persoalan yang sama dengan jawaban yang berbeda dalam
konteks yang lain. Maka atas dasar paradigm itulah al-Syafi'i berkeyakinan
bahwa tidak ada dua hadist yang bertentangan, kecuali akan ditemukan jalan
keluarnya untuk mempertemukannya.[8]
3.
Metode
Kompromi dalam Hadist mukhtalif
a.
Pengertian
Metode Kompromi Dalam Hadist
Al-Qarafi, mengartikan al-jam'u sebagai
mengkompromikan hadist-hadist yang tampak bertentangan untuk diamalkan dengan
melihat seginya masing-masing.[9]
Sedangkan menurut Imam Nawawi, ikhtilaf hadist adalah datangnya dua
hadist yang berlawanan maknanya pada lahirnya lalu di-taufiqkan
(dikumpulkan) antara keduanya atau di-tarjih-kan salah satu di antara
dua hadist yang bertentangan tersebut.[10]
Iwad al-Sayyid, menurutnya metode kompromi
adalah mempertemukan atau menyesuaikan antara dua hadist yang kontradiksi untuk
mengamalkan isi keduanya. Dalam definisi yang kontardiksi masih bisa
ditambahkan sandaran dari upaya menolak kontradiksi itu, yaitu mempertemukan antara
dua hadist yang kontardiksi dengan bersandar kepada dalil yang dapat menolak
kontradiksi dalam rangka mengamalkan keduanya. Definisi ini merupakan sebuah
sandaran kaidah ushuliyyah yang emnyatakan bahwa "pengamalan dua
buah dalil lebih diutamakan dari pada mengabaikan salah satunya".[11]
Dalam beberapa paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa metode kompromi dalam hadist adalah salah satu cara yang
dipakai untuk menyelesaikan hadist yang berkesan kontradiktif (berlawanan)
secara lahiriahnya (tekstual) dengan menggabungkanb kedua hadist tersebut.
Kemudian dilihat melalui pendekatan usuhl fiqih, pendekatan konteks, pendekatan
korelatif, dan pendekatan ta'wil atau pendekatan dari sudut pandang al-tanawwu'
al-ibadah. Demikian metode al-jam'u (kompromi) merupakan cara
terbaik yang diakui oleh sejumlah ulama sebagaimana yang dituturkan oleh
al-Kandahlawi.[12]
b.
Sebab-sebab
Hadist Mukhtalif
Ada beberapa factor yang menyebabkan hadist
yang satu dengan hadust yang lainnya berkesan kontradiktif atau saling
berlawanan, di antara factor-faktor tersebut adalah:[13]
1)
Faktor
internal hadist (al-'amaliy al-dakhily)
Faktor yang
berkairan dengan redaksi hadist, biasanya terdapat 'illat di dalam
hadist tersebut. Di mana nanti kedudukan hadist tersebut akan menjadi dho'if.
Kemudian secara otomatis hadist tersebut ditolak jiak bertentangan dengan
hadist yang lebih shahih.
2)
Faktor
eksternal (al-'Amil al-Kharij)
Yaitu factor
yang disebabkan oleh konteks penyampaian Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup
dalam hal ini adalah waktu dan tempat ketika Nabi menyampaikan hadist.
3)
Faktor
Metodologi (al-Budu' al-Manhajy)
Yaitu faktor
yang berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadist
tersebut. Ada sebagian hadist yang dipahami secara tekstual dan belum secara
kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimilki oleh
seseorang yang memahami hadist. Sehingga memunculkan hadist-hadist yang mukhtalif.
4)
Faktor
Ideologi
Faktor yang
berkiatan dengan suatu mazhab dalam memahami suatu hadist. Sehingga
memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang
berkembang.
c.
Kaidah-kaidah al-Jam'u
Terdapat kaidah-kaidah ketika kita
mengkompromikan suatu hadist dengan hadist lainnya yang bertentangan:
1)
Hadist itu
berasal dari Nabi dalam bentuk umum, sehingga dating dari Nabi penunjukkan
kepada makna yang sifatnya khusus.
2)
Membawa
perbedaan (ikhtilaf) hadist itu kepada kebolehan dilakukannya perkara
itu. Imam Syafi'I menyatakan bahwa terdapat hadist yang berbeda tentang
perbuatan Nabi dari satu sisi, tetapi dari sisi lain kedua hadsit tersebut
(yang berbeda) dibolehkan dilakukannya metode kompromi.
3)
Mengkompromikan
antara yang majmul dengan yang mufassar, 'am dan khas.
Imam Syafi'i mengatakan pula bahwa terdapat hadist-hadist Nabi yang datang
secara global dipandang secara 'am (umum), maka ia akan diriwayatkan
secara berbeda mufassir (rinci). Dalam persoalan seperti ini tentunya
tidak dapat dipandang sebagai ikhtilaf, tetapi merupakan suatu bentuk
pendeskrisian suatu obyek dengan keluasan bahasa arab. Hal itu merupakan
pembicaraan sesuatu secara umum, namun dikehendaki makna khusus. Hal ini
dipakai dan berlaku secara bersama-sama.
d.
Cara
Penyelesaian dengan Metode Kompromi
untuk menghilangkan pertentangan yang tampak
dan berkesan kontradiktif perlu ditelusuri kandungan makna masing-masing hadist
tersebut. Ada 4 cara penyelesaian terhadap hadist yang bertentangan dengan
metode kompromi (al-jam'u):[14]
1)
Menggunakan
pendekatan kaidah ushul
Penyelesaian
berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaidah ushul adalah
memahami hadist Rasulalloh saw dengan memperhatikan dan mempedomani
ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah ushul yang terkait dan yang telah
dirumuskan oleh ulama ushuliyun. Adapun yang menjadi obyek kajian ushul
fiqh ialah bagaimana meng-instinbath-kan hukum dari dalil-dalil syara',
baik al-Qur'an maupun hadist.
Untuk sampai
pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut
dipahami agar istinbath hokum sesuai dengan yang dituju oleh dalil.
Salah satu kaidah ushul fiqh ialah "nash yang umum haruslah
dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsis-nya,
apabila ada dalil yang men-takhsis-kannya maka nash tersebut tidak lagi
diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlawu dan muqayyad.
2)
Pemahaman
Kontekstual
Pemahaman
kontekstual yang dimaksud yaitu memahami hadist-hadist Rasulalloh dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
menjadi latar belakang disampaikannya hadist (asbabul wurud). Jika tidak
memperhatikan asbabul wurud maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami
maksud yang dituju suatu hadist, sehingga hal ini menimbulkan penilaian yang
bertentangan dengan hadist yang lainnya.
Oleh sebab
itu, mengetahui konteks hadist menjadi hal yang sangat urgen dalam pemahaman hadist.
Jika konteks suatu hadist diikutsertakan dalam hadist-hadits mukhtalif
akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya sehingga
pertentangan yang tampak secara lahiriyah akan dapat dilenyapkan dan
masing-masing hadist dapat dipahami arah pemahamannya.
3)
Pemahaman
Korelatif
Pemahmaan
korelatif yang dimaksud adalah memperhatikan keterkaitan makna antara satu
hadits dengan hadist yang lainnya yang dipandang mukhtalif dan juga membahas permasalahan yang sama,
sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. Karena
dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya satu atau dua hadist tetapi bisa
saja ada beberapa hadist yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh Karena itu,
semua hadist harus dipahami secara bersamaan utnuk dilihat hubungan makna
antara satu hadist dengan hadist lainnya sehingga diperolah gambaran yang utuh
tentang sutau masalah tersebut dan pertentangan yang terjadi dapat
diselesaikan.
4)
Cara Ta'wil
Ta'wil berarti
memalingkan lafadz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung
oleh lafazh karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dilakukan
karena makna yang dikandung oleh lafazh hadist dinilai tidak tepat untuk
menjelaskan makna yang dituju dengan menagmbil kemungkinan dengan makna lain
yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh lafazh hadist
yang lainnya. Pemalingan ini dilakukan karena adanya dalil yang menghendakinya.
4.
Contoh Hadist
yang Berkesan Kontradiktif
Hadist yang menjelaskan tentang
jumlah umrah yang Nabi lakukan, terdapat dalam beberapa hadist shahih, yaitu:
ثم قال له كم اعتمر النبي صلى الله عليه وسلم :
اربع
"..
kemudian (Urwah)bertanya kepada Ibnu Umar:" berapa kalikah Nabi saw
berumrah?", jawabannya: "empat kali." (Shahih
Bukhori)
عن قتادة ان انسا اخبره ان رسول الله صلى الله عليه
وسلم اعتمر اربع عمر كلهنا في ذي القعدة الا التي مع حجته
"Dari
Qatadah bahwa Anan mengabarkan kepadanya bahwa Rasulalloh saw berumrah empat
kali, semua umrah itu dalam bulan dzulqo'dah melainkan umrah (yang beliau
jalankan) bersama hajinya." (Shahih Muslim)
عن عائشة ان النبي صلى الله عليه وسلم اعتمر ثلاث
عمر
"Dari 'Aisyah bahwa
Nabi saw berumrah tiga kali umrah". (Riwayat Said
bin Manshur)
قال
البراء بن عازب : اعتمر رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذي القعدة قبل ان يحخ
مرتين
“ Bara Bin Azib berkata: Rasulalloh saw pernah
berumrah dalam bulan dzulqa’dah dua kali, sebelum beliau naik haji. (Shahih
Bukhori)
Keterangan:
1.
Riwayat yang
pertama dan kedua menunjukkan bahwa Nabi saw berumrah empat kali. Riwayat
ketiga menyebbutkan tiga kali, sedangkan riwayat ke empat menyebutkan dua kali.
2.
Zhahir-nya
riwayat-riwayat tersebut berlawanan antara satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu, riwayat-riwayat dalam hadist tersebut dikatakan mukhtalif (kontradiktif).
3.
jika memang
begitu, maka keterangan-keterangan yang berlainan itu bias kita dudukkan dengan
cara demikian:
a)
umrah nabi saw
adalah empat kali sebagaimana terdapat dalam hadist riwayat kesatu dan kedua.
b)
Dalam riwayat
ketiga ‘Aisyah menyebut tiga kali umrah saja. Yang keempatnya tidak dia
nyatakan karena nabi mengerjakannya dalam bulan haji. Sedangkan yang hendak
‘Aisyah terangkan adalah umrah dalam bulan Dzulqa’dah saja.
c)
Dalam riwayat
keempat, Bara menyebut dua umrah, yang kedua laginya tidak ia sebutkan umrah
yang tidak disebut ini ialah umrah Nabi bersama hajinya dan umrah Ji’ranah.
Bara tidak menyebutkan dua umrah ini.
Dengan menggunakan metode kompromi ini maka
terpakailah semua keterangan yang berkesan kontradiktif tersebut.
Hadist lain yang dipandang bertentangan ialah
waktu-waktu terlarang dalam mengerjakan sholat. Di antara hadist-hadist
tersebut ialah:
حدثنا حفص بن
عمر قال حدثنا هشام عن قتادة عن ابي العالية عن ابن عباس قال شهد عندي رجال مرضيون
وارضاهم عندي عمر انن النبي رسول الله صلى الله
عليه وسلم نهي عن الصلاة بعد الصبح حتى
تشرق الشمس وبعد العصر حتى تغرب
“telah menceritakan
kepada kami Hafsh bin Umar berkata, telah menceritakan pula kepada kami Hisyam
dari Qatadah dari Abu Al Aliyah dari Ibnu ‘Abbas berkata, “orang-orang yang
diridhoi mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling ku ridhoi
adalah Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Rasulalloh saw melarang sholat
setelah subuh hingga matahari terbit, dan setelah Ashar sampai matahari
terbenam”. (HR. Bukhori)
حدثنا ابو
نعيم و موسى ابن اسماعيل قالا حدثنا همام عن قتادة عن انس بن مالك عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال ممن نسي صلاة فليصل اذا ذكرها لا كفارة لها الا ذالك واقم
الصلاة لذكري قال موسى قال همام سمعته يقول بعد واقم الصلاة للذكرى
“telah menceritakan
kepada kami Abu Nu’aim dan Musa bin Ismail keduanya berkata, telah menceritakan
kepada kami Hammam dari Qatadah dari Annas Bin Malik dari Rasulalloh saw,
beliau bersabda:” Barangsiapa lupa akan suatu sholat, maka hendaklah ia
melaksanakannya ketika ia mengingatnya, karena tidak ada tebusannya kecuali
itu., Allah berfiman, “dan tegakkanlah shalat untuk mengingatku”Musa berkata,
Hammam berkata setelah itu aku mendengar beliau mengucapkan “dan tegakkanlah
sholat untuk mengingat-Ku”. (HR.Bukhori)
Dua hadist di atas sama-sama
diriwayatkan dari Imam Bukhori dalam kitab shahih-nya. Hadist pertama
menegaskan larangan menunanikan sholat di waktu subuh hingga terbit matahari
dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari. Sementara hadist kedua tidak
dibatasi oleh waktu, artinya di mana seseorang dapat melakukan sholat kapan
saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik waktu setelah subuh hingga
terbit matahari maupun waktu setelah ashar hingga matahari terbenam.
III.
KESIMPULAN
Hadist mukhtalif adalah hadist-hadist
yang berkesan kontradiktif (berlawanan) dalam satu pembahasan atau matan yang
sama. Salah satu jalan untuk menyelesaikan hadist mukhtalif ini adalah dengan metode kompromi (al-jam’u)
yaitu menggabungkan kedua hadist atau beberapa hadist yang berkesan
kontradiktif untuk dikompromikan dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah ushul
fiqh, pemahaman kontekstual, pemahaman korelatif dan atau dengan cara ta’wil.
Sehingga hadist-hadist yang berkesan kontradiktif tersebut dapat diselesaikan
dan peling penting dapat diamalkan keduanya tanpa mengabaikan salah satu hadist
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khandalawi,
Muhammad Zakariya. Awjazu al-Masalik ila Muwatha’ Malik. Juz XIV.tth.
Beirut: Dar al-Fikr.
‘Itr Nuruddin.
Ulum al-Hadist. Terj. Mujiyo. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadist.
Cet I, jilid II. 19943. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Al-Rajih,
Syarafuddin Malik. Musthalah al-Hadits wa Atsaruhu ‘ala al-Darsi al-Lughowi
‘inda al Arab.tth. Beirut: Dar al-Nadhah.
Al-Syafi’i,
Muhammad bin Idris. Al-Risalah: Tahqiq Muhammad Sayyid al-Kailany. 1969.
Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabiy.
. Amir Haidar (edt.). Ikhtilaf al-Hadist.
1985. Beirut: Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyah.
Ash-Shidiqiey,
M. Hasbi. Pokok-Pokok Dirayah Hadits.
Jilid II. 1994. Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail,
Syuhudi. Hadist Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jilid II. 1994.
Jakarta; Bulan Bintang.
Mustaqim,
Abdul. Ilmu Ma’anil Hadist. 2008. Yogyakarta: Idea Press.
Safri, Edi. Al-Imam
al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadist-hadist Mukhtalif. 1999. Padang: IAIN
IB Press.
Zuhad. Fenomena
Kontradiksi Hadist dan Metode Penyelesaiannya. 2010. Semarang: Rasail Media
Group.
[1] Muhammad Thahir al-Jawabiy. Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matan
al-Hadits al-Nabawi.tth. Mu'assasah al-karim. Hlm: 368.
[2] Nuruddin 'Itr. Ulum hadist, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj
al-Naqd fi ulum hadist. Cet I, jilid II. 1994. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hal: 114.
[4] Syarafuddin Ali al-Rajih. Mushtalah al-Hadist wa Atsaruhu 'Ala
al-Darsi al-Lughowi 'inda al-'Arab.tth. Beirut: Dar al-Nadhah. Hal:217
[5] Untuk lebih rincinya bisa dibaca Muhammad bin Idris al-Syafi'i. al-risalah,
tahqiqi Muhammad Sayyid al-Kailany. 1969. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabiy
hlm: 98-101
[7] Utsman al-Kasit. Mafatihu Ulum al-Hadist wa Thuruqu Tahrijih.tth.
Kairo: maktabah al-: Qur'an. Hlm: 126-127.
[9] Syuhudi Ismail. Hadist Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. 1994.
Jakarta: Bulan Bintang. Hlm: 74.
[10] M. Hasbi Ash-Shidieqy. Pokok-Pokok DIrayah Hadist. Jilid II.
1994. Jakarta: bulan Bintang. Hal: 274.
[11] Zuhad. Fenomena Kontradiksi Hadist dan Metode Penyelesaiannya.
2010. Semarang: Rasail Media Group. Hlm: 9-10.
[12] Muhammad Zakariya al-Kandahlawi. Awjazu al-Masalik ila Muwatha'
Malik. Juz XIV.tth. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 270.
[14] Edi Safri. Al-Imam Al-Syafi'i: Metode Penyelesaian Hadist-hadist
Mukhtalif. 1999. Padang: IAIN IB Press. Hal: 100
No comments:
Post a Comment