Oleh: Ahmad Zaini
A.
Pendahuluan
Ontologi merupakan salah satu di
antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam
pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam
persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan
hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua
macam kenyataan. Yang pertama kenyataan yang berupa materi (kebendaan), dan
kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).[1]
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa bidang
pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada dan yang mungkin ada,
yang boleh mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat
pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori
tentang keadaan. Apa itu hakikat? Hakikat ialah realitas; realitas ialah
ke-real-an; “real” artinya kenyataan yang sebenarnya; jadi, hakikat adalah
kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan yang
berubah. Semisal, pada hakikatnya pemerintahan demokratis menghargai pendapat
rakyat. Mungkin orang pernah menyaksikan pemerintahan itu melakukan tindakan
sewenang-wenang, tidak menghargai pendapat rakyat. Itu hanyalah sementara,
bukan hakiki. Yang hakiki pemerintahan itu demokratis. Contoh selanjutnya, kita
lihat suatu objek fatamorgana. Apakah real atau tidak? Tidak.
Fatamorgana itu bukan hakikat, atau hakikat fatamorgana ialah tidak ada
itu.[2]
Istilah ontologi muncul sekitar
pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan Filsafat mengenai yang ada
(philosopia entis) digunakan untuk hal yang sama. Menurut akar kata Yunani,
ontologi berarti teori mengenai ada yang berada. Karena itu, orang bisa
menyamakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian disebut
metafisika (murni atau umum).[3]
Demikian juga Amsal Bakhtiar mengatakan
bahwa term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun
1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua,
yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan
sebagai istilah lain dari ontologi. Karenanya, metafisika umum atau ontologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling
dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi
menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi. Kosmologi adalah cabang filsafat
yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang
filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah
cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.[4]
B.
Pengertian
Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani
on, ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang).[5]
Ada beberapa pengertian tentang ontologi. Pertama, ontologi adalah studi
tentang ciri-ciri esensial “Yang Ada” dalam dirinya sendiri yang berbeda dari
studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari “Yang Ada”
dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan
seperti: “Apa itu “Ada” dalam dirinya sendiri?”. Kedua, ontologi adalah cabang
filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin,
yang menggunakan kategori-kategori seperti ada/menjadi,
aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu,
eksistensi/noneksistensi, esensi, keniscayaan, “yang ada” sebagai “yang ada”.
Ketiga, ontologi
adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat “Ada” yang terakhir
(Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna). Keempat, ontologi juga
sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan “Apa arti “ADA, BERADA?”,
dan kelima, ontologi juga memiliki pengertian cabang filsafat yang
menyelidiki status realitas suatu hal, misalnya, “apakah objek pencerapan atau
persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)?” “apakah bilangan itu
nyata?” “apakah pikiran itu nyata?”
Beberapa ahli fisafat memiliki
banyak pengertian mengenai ontologi yang kesemuanya berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Noeng Muhadjir dalam bukunya Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis
Fungsional Komparatif mengatakan bahwa objek telaah ontologi adalah yang
ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada
umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan
ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi
membahas yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta
universal. Ontologi berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan.[6]
Jujun S. Suriasumantri mengatakan
bahwa ontologi adalah membahas tentang apa yang ingin diketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori
tentang “ada”.[7]
Dari beberapa pengertian di atas
dapat ditarik benang merah bahwa pada intinya ontologi adalah ilmu tentang
“yang ada”, mencari hakikat dibalik sesuatu yang nampak maupun yang tidak
nampak.
Selanjutnya, ontologi dalam
kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka adalah kajian filosofis tentang hakikat
keberadaan ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana sebenarnya ilmu pengetahuan yang
ada itu. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan
fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Maka
tiga pertanyaan dasar tadi kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, dan
salah satunya ialah; dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab pada
dimensi ini adalah: apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui,
atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian dimensi yang
dipertanyakan adalah hal yang nyata. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu
membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam
jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal
manusia.[8]
Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu
hendaknya diuraikan/ditelaah secara:
a.
Metodis; menggunakan cara ilmiah, berarti dalam proses menemukan dan mengolah pengetahuan menggunakan
metode tertentu, tidak serampangan.
b.
Sistematis; saling berkaitan satu sama lain secara teratur
dalam suatu keseluruhan. Berarti dalam usaha
menemukan kebenaran dan menjabarkan pengetahuan yang diperoleh, menggunakan
langkah-langkah tertentu yang teratur dan terarah sehingga menjadi suatu
keseluruhan yang terpadu.
c.
Koheren; unsur-unsurnya harus bertautan, tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan. Berarti setiap bagian dari jabaran ilmu pengetahuan itu merupakan
rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian (konsisten).
d.
Rasional; harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar
(logis)
e.
Komprehensif; melihat objek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang,
melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan (holistik)
f.
Radikal; diuraikan sampai akar persoalannya atau esensinya.
C.
Dasar Ontologi
Ilmu
Dasar ontologi
ilmu terkait dengan pertanyaan apakah yang ingin diketahui ilmu? Atau dengan
perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu? Objek penelaahan ilmu
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat di uji oleh pancaindera manusia.
Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti
batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan, hewan atau manusia itu sendiri. Ilmu
mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai
manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek yang ditelaahnya, maka ilmu
dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, di mana objek-objek yang berbeda di
luar jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam bidang penelaahan keilmuan
tersebut.[10]
Secara lebih
terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi objek empiris. Asumsi pertama menganggap
objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal
bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat
mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke dalam satu golongan. Klasifikasi
merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang
ditelaahnya dan taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali
berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan
(komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taxonomi yang
baik. Linnaeus (1707-1778) merupakan pelopor dalam penggolongan hewan dan
tumbuh-tumbuhan secara sistematis. Dengan adanya klasifikasi ini, sehingga kita
menganggap bahwa individu-individu dalam suatu kelas tertentu memiliki ciri-ciri
yang serupa, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu melainkan kelas
tertentu. Istilah manusia umpamanya memberikan pengertian tentang suatu kelas
yang anggota-anggotanya mempunyai ciri-ciri tertentu yang serupa.
Asumsi kedua
adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek
dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak mungkin dilakukan bila
objek dalam suatu keadaan selalu berubah-ubah tiap waktu. Walaupun begitu tidak
mungkin kita menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab alam perjalanan
waktu itu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat
pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup
dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang
akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda.
Planet-planet memperlihatkan perubahan dalam waktu yang relatif sangat panjang
bila dibandingkan dengan sebongkah es batu di suatu panas terik di musim
kemarau. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita
untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
Determinisme
merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala buka merupakan
suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu
yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama. Bahwa sate dibakar
akan mengeluarkan bau yang merangsang, hal ini bukanlah suatu kebetulan, sebab
bila sate dibakar akan senantiasa timbul bau yang merangsang. Demikian juga
dengan berbagai gejala lainnya yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari,
sesudah langit mendung makan turunlah hujan atau sesudah gelap maka terbitlah
terang. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut
adanya hubungan sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus
selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X
selalu mengakibatkan Y, melainkan mengatakan bahwa X mempunyai kemungkinan
(peluang) yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian
ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).[11]
D.
Batas-Batas
Penjelajahan Ilmu
Apakah batas yang merupakan lingkup
penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian
selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek
ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab
dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya
pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Apakah ilmu
mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabannya adalah tidak, sebab masalah
surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu
mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabannya juga adalah
tidak, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada
hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu
itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam
menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu diharapkan membantu kita
memerangi penyakit, membangun jembatan, membuat irigasi, membangkitkan tenaga
listrik, mendidik anak, dan sebagainya. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya
pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam
menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan
daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan pembuktian
secara metodologis? Bukankah hal ini merupakan kontradiksi yang menghilangkan
kesahihan metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit sekali batas
jelajah ilmu, kata seorang, cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan.
Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusiapun,
ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan.
Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang
indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik. Ruang penjelajahan
keilmuan kemudian kita ‘kapling-kapling’ dalam berbagai displin keilmuan.
Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkembangan kuatitatif disiplin
keilmuan. Kalau pada fase permualaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam (natural
philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral philosophy) maka sekarang
ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan.[12]
E.
Aliran-Aliran
dalam Ontologi
Di dalam pemahaman ontologi dapat
diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1.
Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan
itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai
sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak
mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah
satunya merupakan sumber pokok dan dominan menentukan perkembangan yang
lainnya. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
a.
Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya
bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah
materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidak merupakan suatu kenyataan yang berdiri
sendiri. Jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat saja dari proses gerakan
kebenaran dengan salah satu cara tertentu.[13]
Pada satu kutub ekstrem, materialisme merupakan keyakinan bahwa
tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pikiran (ruh, kesadaran,
jiwa) tidak lain adalah materi yang sedang bergerak. Pada kutub ekstrem
lainnya, materialisme merupakan keyakinan bahwa pikiran sungguh-sungguh ada
tetapi disebabkan oleh perubahan-perubahan material dan sama sekali tergantung
pada materi. Pikiran tidak memiliki kedayagunaan kausal, juga tidak mutlak
perlu untuk berfungsinya alam semesta material.[14]
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales
(624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur awal adalah air karena pentingnya bagi
kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah
udara dengan alasan bahwa udara adalah merupakan sumber dari segala kehidupan.[15] Materialisme
juga dikembangkan oleh Democritos yang mengembangkan teori tentang atom yang
dipelajarinya dari gurunya Leucippus. Democritos berpendapat bahwa hanya
berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu
dingin, warna itu warna. Dalam kenyataannya hanya terdapat atom dan kehampaan.
Artinya, objek dari penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian.
Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Atau dengan perkataan
lain: manis, panas, dingin atau warna, adalah terminologi yang kita berikan
kepada gejala yang kita tangkap lewat pancaindera. Rangsangan pancaindera ini
disalurkan ke otak kita dan menghadirkan gejala tersebut.[16]
Aliran materialisme adalah aliran yang tertua. Menurut Ahmad Tafsir
ada beberapa alasan mengapa aliran ini dapat berkembang.
1)
Pada pikiran yang masih sederhana,
apa yang kelihatan, yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
Pikiran yang masih sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang
abstrak.
2)
Penemuan-penemuan menunjukkan
betapa bergantungnya jiwa pada badan. Maka peristiwa jiwa selalu dilihat
sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa itu.
3)
Dalam sejarahnya manusia memang
bergantung pada benda, seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul disitu.
Kesemuanya ini memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah benda.[17]
b.
Idealisme
Idealisme lawan dari materialisme. Aliran ini juga dinamakan
spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedang spiritualisme serba ruh.
Idealisme diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran
ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal
dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan
menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan
ruhani.[18]
Idealisme memiliki beberapa arti yaitu, pertama, teori bahwa
alam semesta adalah penjelmaan dari sebuah pikiran. Kedua, eksistensi
realitas tergantung pada sebuah pikiran dan aktivitas-aktivitasnya. Ketiga,
semua realitas bersifat mental (spiritual, psikis). Materi yang fisikal itu
tidak ada. Keempat, tak mungkin ada pengetahuan kecuali tentang
keadaan-keadaan dan proses-proses mental dan itu hanya itulah yang ada.
Realitas dijalankan dalam term-term fenomena psikis seperti pikiran, diri, ruh,
ide-ide, pemikiran absolut, bukan dalam term-term materi. Kelima, hanya
aktivitas bertipe pikiran dan kandungannya yang bertipe gagasan yang ada.[19]
Idealisme berpendapat bahwa hakikat benda adalah ruhani, alasannya
adalah sebagai berikut:
1)
Nilai ruh lebih tinggi daripada
badan.
2)
Manusia lebih dapat memahami dirinya
daripada dunia luar dirinya.
3)
Materi ialah kumpulan energi yang
menempati ruang, benda tidak ada, yang ada energi itu saja.[20]
Idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik
hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit
(ruh). Istilah ini diambil dari “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam
jiwa. Keyakinan ini ada pada Plato. Pada filsafat modern, pandangan ini
mula-mula kelihatan pada George Berkeley (1685-1735 M) yang menyatakan bahwa
hakikat objek-objek fisik adalah idea-idea. Leibniz menggunakan istilah ini
pada permulaan abad ke-18 menamakan pemikiran Plato sebagai lawan materialisme
Epicurus.[21]
2.
Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh,
jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari
benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan
berdiri sendiri, sama-sama azali dalam alam ini. Contoh yang paling jelas
tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.[22]
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa aliran dualisme mudah ditebak. Yang
merupakan hakikat pada benda itu ada dua, material dan imaterial, benda dan ruh,
jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari
benda. Keduanya sama-sama hakikat. Kesulitan yang dihadapi aliran ini adalah
menjawab pertanyaan: Bagaimana kesesuaian kedua-duanya seperti pada manusia? Jawab
dualisme: Itu sudah distel seperti tenaga dan jarum pada jam. Persoalannya
lebih rumit: Siapa yang menyetelnya? Bagaimana cara menyetelnya?[23]
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap
sebagai bapak filsafat modern. Ia menanamkan kedua hakikat itu dengan istilah
dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya
Discours de Prima Philosopia (1641). Dalam bukunya ini pula ia menuangkan
metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (Metode Keraguan
Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus De
Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646-1716 M).[24]
Istilah dualisme juga diperkenalkan tahun 1700 oleh Thomas Hyde.
Dipakai untuk menunjuk kepada konflik baik-jahat antara Ormazd disebut juga Ahura
Mazda (dewa yang baik) dan Angra Mainyu disebut juga Ahriman (ruh jahat) dalam
Zoroastrianisme.[25]
3.
Pluralisme
Paham ini
berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyatan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas.[26]
Para filsuf
yang termasuk dalam aliran ini diantara: Empedokles (490-430 SM) yang menyatakan
bahwa hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu: udara, api, air, dan
tanah. Anaxagoras (500-428 SM) yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri
dari unsur-unsur yang tak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan
semuanya itu dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous. Dikatakannya bahwa
nous adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai
bergerak dan mengatur.[27]
Tokoh modern
aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Dalam bukunya The Meaning of
Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum,
yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab
pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa
yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Karena itu,
tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa
yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat
diubah oleh pengalaman berikutnya.[28]
4.
Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing
atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang
positif. Istilah ini diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fathers
and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu
Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima
ide nihilisme.[29]
Ada beberapa definisi nihilisme, pertama, teori bahwa tidak
ada yang bisa diketahui. Seluruh pengetahuan hanyalah khayalan, tidak berguna,
tak bermakna, relatif, dan tak signifikan. Kedua, tak ada pengetahuan
yang mungkin. Tidak ada yang bisa diketahui. Ketiga, keadaan psikologis
dan filosofis dimana nilai-nilai etis, religius, politis, dan sosial hilang
sama sekali.[30]
Tokoh lain ini adalah Friedrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan
di Rocken di Prusia, dari keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Tuhan
sudah mati”, Tuhan Kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak
merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas
manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di
atas dunia di mana ia hidup. Nietzsche mengakui bahwa pada kenyataannya moral
di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai Kristiani. Tetapi
tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan sendirinya
itu manusia modern terancam nihilisme. Dengan demikian ia sendiri harus
mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru dengan transvaluasi
semua nilai.[31]
5.
Agnotisisme
Aliran ini menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui
hakikat sesuatu di balik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat
batu, air, api, dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manusia
sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh
indranya maupun oleh pikirannya. Paham ini mengingkari kesanggupan manusia
untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani.
Agnotisisme memiliki beberapa pengertian yaitu keyakinan bahwa kita
tidak dapat memiliki pengetahuan tentang Tuhan atau keyakinan bahwa mustahil
untuk membuktikan ada atau tidak adanya Tuhan. Agnotisime juga diartikan
kadang-kadang digunakan untuk menunjuk pada penangguhan putusan tentang
beberapa jenis pengetahuan. Misalnya pengetahuan tentang jiwa, kebakaan,
ruh-ruh, neraka, kehidupan di luar bumi.[32]
Agnotisisme adalah paham ketuhanan yang terletak antara teisme dan
ateisme. Mereka itu bertuhan tidak dan tidak bertuhan juga tidak. Mereka
beranggapan bahwa manusia tidak mampu mengetahui hakikat Tuhan. Boleh saja
Tuhan itu ada atau tidak ada, manusia juga tidak akan dapat memastikannya.
Pokoknya, kita tidak tahu Tuhan itu ada atau tidak ada.[33]
Aliran ini dapat ditemui dalam filsafat eksistensi dengan
tokoh-tokohnya seperti Soren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren
Kierkegaard (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat
Eksistensialisme menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku
umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak
dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[34]
F.
Pentup
Pada intinya ontologi adalah ilmu
tentang “yang ada”, mencari hakikat dibalik sesuatu yang nampak maupun yang
tidak nampak. Ontologi dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka adalah
kajian filosofis tentang hakikat keberadaan ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana
sebenarnya ilmu pengetahuan yang ada itu. Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu
hendaknya diuraikan/ditelaah secara metodis,
sistematis, koheren, rasional, komprehensif, radikal, dan universal.
Ilmu mempunyai
tiga asumsi objek empiris. Asumsi pertama menganggap objek-objek tertentu
mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur,
sifat dan sebagainya. Asumsi kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak
mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan
mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Determinisme
merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala buka merupakan
suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu
yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama.
Di dalam pemahaman ontologi dapat
diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut: pertama,
Monoisme, yaitu paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari
seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paham ini kemudian
terbagi ke dalam dua aliran (1) Materialisme, yaitu aliran ini
menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani, (2) Idealisme,
aliran yang beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu
semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang.
Kedua, Dualisme, yaitu aliran yang
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Ketiga,
Pluralisme, yakni paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata. Keempat, Nihilisme yaitu sebuah doktrin
yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Kelima, Agnotisisme
yakni aliran ini menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat
sesuatu di balik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu,
air, api, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA:
Buku:
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia, 1996.
Fautanu, Idzam, Filsafat Ilmu: Teori &
Aplikasi, Jakarta: Rerefensi, 2012.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu: Telaah
Sistematis Fungsional Komparatif, Edisi I, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1997.
____________________, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam
Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara,
2011.
Tafisr, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003.
Website:
http://filsafat.kompasiana.com/2012/12/09/ontologi-ilmu-pengetahuan-515263.html
id.wikipedia.org/wiki/Zoroastrianisme.
[1] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam
Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara,
2011, hlm. 90.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 28-29.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia, 1996, hlm. 749.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 134-135.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm.
746-747.
[6] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Telaah
Sistematis Fungsional Komparatif, Edisi I, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998,
hlm. 49.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1997, hlm. 5.
[8] http://filsafat.kompasiana.com/2012/12/09/ontologi-ilmu-pengetahuan-515263.html
[9]
http://arief-nurmansyah.blogspot.com/2012/02/ontologi-ilmu-pengetahuan.html
[10] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam
Perspektif..., hlm. 5-6.
[11] Ibid., hlm. 7-8.
[12] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003, hlm. 91-92.
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 135-136.
[14] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 593-594.
[15] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 137.
[16] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam
Perspektif..., hlm. 65-66.
[17] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., hlm.
29.
[18] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm.
138.
[19] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, hlm. 145-146.
[20] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., hlm.
30.
[21] Ibid., hlm. 144.
[22] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm.
142.
[23] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., hlm.
30.
[24] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 142.
[25] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm.
175. Zoroastrianisme adalah sebuah agama
dan ajaran filosofi yang didasari oleh ajaran Zarathustra yang dalam bahasa
Yunani disebut Zoroaster. Zoroastrianisme dahulu kala adalah sebuah agama yang
berasal dari daerah Persia Kuno atau kini dikenal dengan Iran. Di Iran,
Zoroastrianisme dikenal dengan sebutan Mazdayasna yaitu kepercayaan yang
menyembah kepada Ahura Mazda atau "Tuhan yang bijaksana".
id.wikipedia.org/wiki/Zoroastrianisme.
[26] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm.
144.
[27] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003, hlm. 35.
[28] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm.
144.
[29] Ibid., hlm. 145.
[30] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat,
hlm. 223.
[31] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm.
146.
[32] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 22.
[33] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., hlm.
32.
[34] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm.
147.
No comments:
Post a Comment