Wednesday 25 February 2015

ONTOLOGI: HAKIKAT YANG ADA


Oleh: Ahmad Zaini

A.      Pendahuluan
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama kenyataan yang berupa materi (kebendaan), dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).[1]
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori tentang keadaan. Apa itu hakikat? Hakikat ialah realitas; realitas ialah ke-real-an; “real” artinya kenyataan yang sebenarnya; jadi, hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan yang berubah. Semisal, pada hakikatnya pemerintahan demokratis menghargai pendapat rakyat. Mungkin orang pernah menyaksikan pemerintahan itu melakukan tindakan sewenang-wenang, tidak menghargai pendapat rakyat. Itu hanyalah sementara, bukan hakiki. Yang hakiki pemerintahan itu demokratis. Contoh selanjutnya, kita lihat suatu objek fatamorgana. Apakah real atau tidak? Tidak. Fatamorgana itu bukan hakikat, atau hakikat fatamorgana ialah tidak ada itu.[2]
Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan Filsafat mengenai yang ada (philosopia entis) digunakan untuk hal yang sama. Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti teori mengenai ada yang berada. Karena itu, orang bisa menyamakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian disebut metafisika (murni atau umum).[3]
Demikian juga Amsal Bakhtiar mengatakan bahwa term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Karenanya, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi. Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.[4]

B.       Pengertian Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani on, ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang).[5] Ada beberapa pengertian tentang ontologi. Pertama, ontologi adalah studi tentang ciri-ciri esensial “Yang Ada” dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari “Yang Ada” dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti: “Apa itu “Ada” dalam dirinya sendiri?”. Kedua, ontologi adalah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu, eksistensi/noneksistensi, esensi, keniscayaan, “yang ada” sebagai “yang ada”.
Ketiga, ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat “Ada” yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna). Keempat, ontologi juga sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan “Apa arti “ADA, BERADA?”, dan kelima, ontologi juga memiliki pengertian cabang filsafat yang menyelidiki status realitas suatu hal, misalnya, “apakah objek pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)?” “apakah bilangan itu nyata?” “apakah pikiran itu nyata?”
Beberapa ahli fisafat memiliki banyak pengertian mengenai ontologi yang kesemuanya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Noeng Muhadjir dalam bukunya Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif mengatakan bahwa objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan.[6]
Jujun S. Suriasumantri mengatakan bahwa ontologi adalah membahas tentang apa yang ingin diketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[7]
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik benang merah bahwa pada intinya ontologi adalah ilmu tentang “yang ada”, mencari hakikat dibalik sesuatu yang nampak maupun yang tidak nampak.
Selanjutnya, ontologi dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka adalah kajian filosofis tentang hakikat keberadaan ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana sebenarnya ilmu pengetahuan yang ada itu. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Maka tiga pertanyaan dasar tadi kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, dan salah satunya ialah; dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab pada dimensi ini adalah: apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia.[8]
Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan/ditelaah secara:
a.         Metodis; menggunakan cara ilmiah, berarti dalam proses menemukan dan mengolah pengetahuan menggunakan metode tertentu, tidak serampangan.
b.        Sistematis; saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan. Berarti dalam usaha menemukan kebenaran dan menjabarkan pengetahuan yang diperoleh, menggunakan langkah-langkah tertentu yang teratur dan terarah sehingga menjadi suatu keseluruhan yang terpadu.
c.         Koheren; unsur-unsurnya harus bertautan, tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan. Berarti setiap bagian dari jabaran ilmu pengetahuan itu merupakan rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian (konsisten).
d.        Rasional; harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar (logis)
e.         Komprehensif; melihat objek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan (holistik)
f.         Radikal; diuraikan sampai akar persoalannya atau esensinya.
g.        Universal; muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.[9]

C.      Dasar Ontologi Ilmu
Dasar ontologi ilmu terkait dengan pertanyaan apakah yang ingin diketahui ilmu? Atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu? Objek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat di uji oleh pancaindera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan, hewan atau manusia itu sendiri. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, di mana objek-objek yang berbeda di luar jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam bidang penelaahan keilmuan tersebut.[10]
Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi objek empiris. Asumsi pertama menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke dalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya dan taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taxonomi yang baik. Linnaeus (1707-1778) merupakan pelopor dalam penggolongan hewan dan tumbuh-tumbuhan secara sistematis. Dengan adanya klasifikasi ini, sehingga kita menganggap bahwa individu-individu dalam suatu kelas tertentu memiliki ciri-ciri yang serupa, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu melainkan kelas tertentu. Istilah manusia umpamanya memberikan pengertian tentang suatu kelas yang anggota-anggotanya mempunyai ciri-ciri tertentu yang serupa.
Asumsi kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak mungkin dilakukan bila objek dalam suatu keadaan selalu berubah-ubah tiap waktu. Walaupun begitu tidak mungkin kita menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab alam perjalanan waktu itu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda. Planet-planet memperlihatkan perubahan dalam waktu yang relatif sangat panjang bila dibandingkan dengan sebongkah es batu di suatu panas terik di musim kemarau. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala buka merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama. Bahwa sate dibakar akan mengeluarkan bau yang merangsang, hal ini bukanlah suatu kebetulan, sebab bila sate dibakar akan senantiasa timbul bau yang merangsang. Demikian juga dengan berbagai gejala lainnya yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, sesudah langit mendung makan turunlah hujan atau sesudah gelap maka terbitlah terang. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y, melainkan mengatakan bahwa X mempunyai kemungkinan (peluang) yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).[11]

D.      Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabannya adalah tidak, sebab masalah surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabannya juga adalah tidak, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu diharapkan membantu kita memerangi penyakit, membangun jembatan, membuat irigasi, membangkitkan tenaga listrik, mendidik anak, dan sebagainya. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan pembuktian secara metodologis? Bukankah hal ini merupakan kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik. Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita ‘kapling-kapling’ dalam berbagai displin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkembangan kuatitatif disiplin keilmuan. Kalau pada fase permualaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral philosophy) maka sekarang ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan.[12]

E.       Aliran-Aliran dalam Ontologi
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1.         Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
a.        Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidak merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu.[13]
Pada satu kutub ekstrem, materialisme merupakan keyakinan bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pikiran (ruh, kesadaran, jiwa) tidak lain adalah materi yang sedang bergerak. Pada kutub ekstrem lainnya, materialisme merupakan keyakinan bahwa pikiran sungguh-sungguh ada tetapi disebabkan oleh perubahan-perubahan material dan sama sekali tergantung pada materi. Pikiran tidak memiliki kedayagunaan kausal, juga tidak mutlak perlu untuk berfungsinya alam semesta material.[14]
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur awal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara adalah merupakan sumber dari segala kehidupan.[15] Materialisme juga dikembangkan oleh Democritos yang mengembangkan teori tentang atom yang dipelajarinya dari gurunya Leucippus. Democritos berpendapat bahwa hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Dalam kenyataannya hanya terdapat atom dan kehampaan. Artinya, objek dari penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Atau dengan perkataan lain: manis, panas, dingin atau warna, adalah terminologi yang kita berikan kepada gejala yang kita tangkap lewat pancaindera. Rangsangan pancaindera ini disalurkan ke otak kita dan menghadirkan gejala tersebut.[16]
Aliran materialisme adalah aliran yang tertua. Menurut Ahmad Tafsir ada beberapa alasan mengapa aliran ini dapat berkembang.
1)        Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan, yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir. Pikiran yang masih sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
2)        Penemuan-penemuan menunjukkan betapa bergantungnya jiwa pada badan. Maka peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa itu.
3)        Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda, seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul disitu. Kesemuanya ini memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah benda.[17]

b.        Idealisme
Idealisme lawan dari materialisme. Aliran ini juga dinamakan spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedang spiritualisme serba ruh. Idealisme diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.[18]
Idealisme memiliki beberapa arti yaitu, pertama, teori bahwa alam semesta adalah penjelmaan dari sebuah pikiran. Kedua, eksistensi realitas tergantung pada sebuah pikiran dan aktivitas-aktivitasnya. Ketiga, semua realitas bersifat mental (spiritual, psikis). Materi yang fisikal itu tidak ada. Keempat, tak mungkin ada pengetahuan kecuali tentang keadaan-keadaan dan proses-proses mental dan itu hanya itulah yang ada. Realitas dijalankan dalam term-term fenomena psikis seperti pikiran, diri, ruh, ide-ide, pemikiran absolut, bukan dalam term-term materi. Kelima, hanya aktivitas bertipe pikiran dan kandungannya yang bertipe gagasan yang ada.[19]
Idealisme berpendapat bahwa hakikat benda adalah ruhani, alasannya adalah sebagai berikut:
1)        Nilai ruh lebih tinggi daripada badan.
2)        Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
3)        Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang, benda tidak ada, yang ada energi itu saja.[20]
Idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (ruh). Istilah ini diambil dari “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Keyakinan ini ada pada Plato. Pada filsafat modern, pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Berkeley (1685-1735 M) yang menyatakan bahwa hakikat objek-objek fisik adalah idea-idea. Leibniz menggunakan istilah ini pada permulaan abad ke-18 menamakan pemikiran Plato sebagai lawan materialisme Epicurus.[21]

2.         Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.[22]
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa aliran dualisme mudah ditebak. Yang merupakan hakikat pada benda itu ada dua, material dan imaterial, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda. Keduanya sama-sama hakikat. Kesulitan yang dihadapi aliran ini adalah menjawab pertanyaan: Bagaimana kesesuaian kedua-duanya seperti pada manusia? Jawab dualisme: Itu sudah distel seperti tenaga dan jarum pada jam. Persoalannya lebih rumit: Siapa yang menyetelnya? Bagaimana cara menyetelnya?[23]
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menanamkan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de Prima Philosopia (1641). Dalam bukunya ini pula ia menuangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (Metode Keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus De Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646-1716 M).[24]
Istilah dualisme juga diperkenalkan tahun 1700 oleh Thomas Hyde. Dipakai untuk menunjuk kepada konflik baik-jahat antara Ormazd disebut juga Ahura Mazda (dewa yang baik) dan Angra Mainyu disebut juga Ahriman (ruh jahat) dalam Zoroastrianisme.[25]

3.         Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyatan alam ini tersusun dari banyak unsur,  lebih dari satu atau dua entitas.[26]
Para filsuf yang termasuk dalam aliran ini diantara: Empedokles (490-430 SM) yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu: udara, api, air, dan tanah. Anaxagoras (500-428 SM) yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan semuanya itu dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous. Dikatakannya bahwa nous adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.[27]
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.[28] 

4.         Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah ini diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima ide nihilisme.[29]
Ada beberapa definisi nihilisme, pertama, teori bahwa tidak ada yang bisa diketahui. Seluruh pengetahuan hanyalah khayalan, tidak berguna, tak bermakna, relatif, dan tak signifikan. Kedua, tak ada pengetahuan yang mungkin. Tidak ada yang bisa diketahui. Ketiga, keadaan psikologis dan filosofis dimana nilai-nilai etis, religius, politis, dan sosial hilang sama sekali.[30]
Tokoh lain ini adalah Friedrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Prusia, dari keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Tuhan sudah mati”, Tuhan Kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup. Nietzsche mengakui bahwa pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai Kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan sendirinya itu manusia modern terancam nihilisme. Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru dengan transvaluasi semua nilai.[31]

5.         Agnotisisme
Aliran ini menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu, air, api, dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh indranya maupun oleh pikirannya. Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani.
Agnotisisme memiliki beberapa pengertian yaitu keyakinan bahwa kita tidak dapat memiliki pengetahuan tentang Tuhan atau keyakinan bahwa mustahil untuk membuktikan ada atau tidak adanya Tuhan. Agnotisime juga diartikan kadang-kadang digunakan untuk menunjuk pada penangguhan putusan tentang beberapa jenis pengetahuan. Misalnya pengetahuan tentang jiwa, kebakaan, ruh-ruh, neraka, kehidupan di luar bumi.[32]
Agnotisisme adalah paham ketuhanan yang terletak antara teisme dan ateisme. Mereka itu bertuhan tidak dan tidak bertuhan juga tidak. Mereka beranggapan bahwa manusia tidak mampu mengetahui hakikat Tuhan. Boleh saja Tuhan itu ada atau tidak ada, manusia juga tidak akan dapat memastikannya. Pokoknya, kita tidak tahu Tuhan itu ada atau tidak ada.[33]
Aliran ini dapat ditemui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti Soren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[34]

F.       Pentup
Pada intinya ontologi adalah ilmu tentang “yang ada”, mencari hakikat dibalik sesuatu yang nampak maupun yang tidak nampak. Ontologi dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka adalah kajian filosofis tentang hakikat keberadaan ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana sebenarnya ilmu pengetahuan yang ada itu. Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan/ditelaah secara metodis, sistematis, koheren, rasional, komprehensif, radikal, dan universal.
Ilmu mempunyai tiga asumsi objek empiris. Asumsi pertama menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Asumsi kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala buka merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut: pertama, Monoisme, yaitu paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran (1) Materialisme, yaitu aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani, (2) Idealisme, aliran yang beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.
Kedua, Dualisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Ketiga, Pluralisme, yakni paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Keempat, Nihilisme yaitu sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Kelima, Agnotisisme yakni aliran ini menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu, air, api, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA:

Buku:
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.
Fautanu, Idzam, Filsafat Ilmu: Teori & Aplikasi, Jakarta: Rerefensi, 2012.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Edisi I, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.
____________________, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Tafisr, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: PT  Remaja Rosdakarya, 1995.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003.

Website:
http://filsafat.kompasiana.com/2012/12/09/ontologi-ilmu-pengetahuan-515263.html
id.wikipedia.org/wiki/Zoroastrianisme.



[1] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011,  hlm. 90.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 28-29.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 749.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 134-135.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 746-747.
[6] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Edisi I, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998, hlm. 49.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997, hlm. 5.
[8] http://filsafat.kompasiana.com/2012/12/09/ontologi-ilmu-pengetahuan-515263.html
[9] http://arief-nurmansyah.blogspot.com/2012/02/ontologi-ilmu-pengetahuan.html
[10] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif..., hlm. 5-6.
[11] Ibid., hlm. 7-8.
[12] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003, hlm. 91-92.
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 135-136.
[14] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 593-594.
[15] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 137.
[16] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif..., hlm. 65-66.
[17] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., hlm. 29.
[18] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 138.
[19] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, hlm. 145-146.
[20] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., hlm. 30. 
[21] Ibid., hlm. 144.
[22] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 142.
[23] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., hlm. 30.
[24] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 142.
[25] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 175.  Zoroastrianisme adalah sebuah agama dan ajaran filosofi yang didasari oleh ajaran Zarathustra yang dalam bahasa Yunani disebut Zoroaster. Zoroastrianisme dahulu kala adalah sebuah agama yang berasal dari daerah Persia Kuno atau kini dikenal dengan Iran. Di Iran, Zoroastrianisme dikenal dengan sebutan Mazdayasna yaitu kepercayaan yang menyembah kepada Ahura Mazda atau "Tuhan yang bijaksana". id.wikipedia.org/wiki/Zoroastrianisme. 
[26] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 144.
[27] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003, hlm. 35.
[28] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 144.
[29] Ibid., hlm. 145.
[30] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, hlm. 223.
[31] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 146.
[32] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 22.
[33] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., hlm. 32.
[34] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 147.

No comments:

Post a Comment