Wednesday 25 February 2015

EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN DAN METODE ILMIAH


Oleh: Arino Bemi Sado

A.      Pendahuluan
Manusia dalam hidupnya di dunia ini dihadapkan dengan fenomena-fenomena alam yang mengelilinginya. Hal tersebut menimbulkan rasa keingintahuan manusia akan dirinya untuk mengamati fenomena-fenomena alam tersebut dengan cara-cara tertentu serta dengan metode-metode tertentu pula. Oleh karena itu muncullah masalah-masalah baru tentang bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Masalah-masalah inilah yang pada ilmu filsafat disebut dengan epistemologi (filsafat pengetahuan).
Latar belakang munculnya pembahasan epistemologi adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang amelahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap obyek luar. Epistemologi merupakan pengetahuan yang sistematik mengenai pengetahuan. Jadi epistemologi merupakan pengetahuan yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, serta hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, bagaimana caranya, bagaimana tekniknya, dan sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Begitu luasnya pembahasan tentang epistemologi ilmu pengetahuan, sehingga dalam makalah ini akan dibahas mengenai epistemologi ilmu pengetahuan, metode ilmiah dan pengetahuan ilmiah serta metode-metode apa saja yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
B.       Epistemologi Ilmu Pengetahuan
1.    Definisi Epistemologi Ilmu Pengetahuan
Secara kebahasaan (etimologi), istilah “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yakni episteme dan logos. Jika kata yang pertama disebutkan berarti pengetahuan (knowledge), maka kata yang belakangan disebut berarti ilmu atau teori (theory). Jadi jika melihat dari silsilah kebahasaan tersebut, epistemology dapat dimengerti sebagai tori pengetahuan (theory of knowledge).[1] Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.[2]
Menurut A. Susanto, bahwa epistemologi berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Istilah lain yang digunakan yaitu teori pengetahuan (theory of knowledge) atau filasafat pengetahuan (philosopy of knowledge).[3] Menurut Poedjiadi (2001: 13) dalam bukunya A. Susanto memberikan definisi epistemologi yaitu cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan, adapun yang dibahas antara lain adalah asal mula, bentuk atau struktur, dinamika, validitas, dan metodologi, yang bersama-sama membentuk pengetahuan manusia.[4] Di samping itu epistemologi juga merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge).[5]
Menurut pendapat lain bahwa epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, serta validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Atau dengan kata lain epistemologi merupakan cabang filsafat tentang pengetahuan yang mencoba memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula pengetahuan, perihal mengetahui, mengenai cara mengetahui atau memperoleh pengetahuan, dan bagaimana menguji kebenaran pengetahuan.[6] Epistemologi juga bisa didefinisikan bahwasannya epistemologi merupakan cabang filsafat yang secara khusus membahas proses keilmuan manusia.[7] Jadi epistemologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang hal-hal  yang bersangkutan dengan pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan berasal dari dua kata yaitu “ilmu” dan “pengetahuan”. Ilmu berasal dari bahasa arab “’alima” yang berari pengetahuan.
Pengetahuan pada hakikatnya pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bahkan seorang anak kecilpun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhannya dan kecerdasannya.[8] Menurut Sidi Gazalba bahwa pengetahuan yaitu apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai.[9] Jadi pengetahuan merupakan hasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dari sebuah pertanyaan, diharapkan mendapatkan jawaban yang benar.
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal, maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu.[10] Jadi pada hakikatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, dan bukannya sekadar jawaban yang bersifat sembarang saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut epistemologi, dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah.[11]
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan tersebut saling berkaitan. Jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu, dan seterusnya.[12]
2.    Obyek Pengetahuan
Obyek pengetahuan adalah hal atau materi yang menjadi perhatian bagi pengetahuan (obyek material). Dalam istilah epistemologi, ini disebut dengan masalah ontologi. Honderich (1995) dalam buku Filsafat Ilmu karangan Akhyar Yusuf Lubis menyatakan bahwa obyek pengetahuan adalah: gejala alam, masa lalu, masa depan, nilai-nilai (aksiologi), abstraksi, pikiran (philosophy of mind: our own experiences, our own inner states, other minds).[13] Jadi pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang  sesuatu. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan adalah hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek tertentu.
Menurut Honderich (1995) dalam buku Filsafat Ilmu karangan Akhyar Yusuf Lubis menyatakan bahwa obyek pengetahuan dikelompokkan berdasarkan konsep Popper tentang teori tiga dunia, yaitu: Dunia I, yaitu obyek yang berkaitan dengan alam fisis; Dunia II, yaitu semua yang berhubungan dengan dunia pemikiran dan proses mental; sedangkan Dunia III, yaitu semua hal yang berhubungan dengan konsep, teori yang ada dalam buku atau tulisan dan hasil budaya lain misalnya semua hasil penelitian atau teori yang terdapat dalam berbagai karya tulis yang terdapat dalam perpustakaan.[14]  Jadi obyek pengetahuan adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui oleh manusia.
3.    Struktur Pengetahuan
Struktur atau situasi pengetahuan (the knowledge situstion) membahas bagaimana hubungan antara ilmuwan (the knower/self)  dengan sense atau data (experience) atau hal atau obyek yang diketahui (things known, world).[15] Struktur pengetahuan disebut juga situasi pengetahuan atau fenomenologi pengetahuan. Hubungan antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui tergambar dari beberapa pandangan, yaitu: obyektifitas, subyektifitas, skeptisisme, relativisme dan fenomenalisme.[16]
a.    Obyektivisme
Kaum obyektivisme berpendapat bahwa subyek (ilmuwan) bersifat pasif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Obyek dianggap paling berperan. Posisi ilmuwan hanya seperti cermin yang memantulkan realitas luar secara apa adanya. Aliran empireisme dan positivisme biasanya menerima aliran ini.[17]
b.    Subyektivisme
Subyektivisme adalah pandangan yang menekankan peran unsur/dimensi subyek dalam menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan kita merupakan ide-ide dalam pikiran orang yang mengetahui (the knower).[18]
c.    Skeptisisme
Skeptisisme adalah paham yang menyatakan ketidakmungkinan untuk memperoleh kebenaran obyektif (akhir, final) pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Ada beberapa macam skeptisisme, antara lain:[19]
1)   Solipisme; paham “egosentrisme epistemologi”, berpendapat bahwa saya hanya tahu diri saya ada, tapi tidak mengetahui sesuatupun di luar saya.
2)   Skeptisisme sensoris; sensasi atau persepsi bersifat relatif, tidak reliabel. Sensasi hanya bagian dari modifikasi obyek yang diamati.
3)   Skeptisisme rasional; keraguan yang disebabkan paradoks (Zeno) atau antinomi (Kant) pada kesimpulan dan argumen. Antinomi adalah dua pernyataan yang bertentangan dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Contoh: pernyataan telur lebih dahulu daripada ayam.
4)   Skeptisisme metodologis; keraguan sistematis dan sementara yang tujuannya untuk menemukan pengetahuan dan fundasi pengetahuan yang kuat dan terpercaya (seperti metode keraguan Descartes).
d.   Relativisme
Paham Protagoras, bahwa individu menjadi ukuran segala hal disebut “relativisme epistemologis” karena ia menyatakan kerelatifan nilai kebenaran pengetahuan terhadap subyek yang mengetahui, terhadap kelompok masyarakat dan paradigma tertentu. Ada beberapa relativisme, antara lain:[20]
1)   Relativisme subyektif; kebenaran pengetahuan dipahami sebagai sesuatu yang relatif terhadap subyek yang bersangkutan. Misalnya: apa yang benar untuk si A belum tentu benar untuk si B.
2)   Relativisme budaya; kriteria benar-salah relatif terhadap kesepakatan (konsensus) sosial dalam masyarakat.
3)   Relativisme konseptual; benar-salah tergantung pada kerangka konsep atau teori.
e.    Fenomenalisme
Adalah pandangan yang menyatakan bahwa kita hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang diindrai atau gejala sebagaimana tampak melalui pengamatan. Fenomenalisme hanya mengakui obyek-obyek fisis yang teramati saja dan menolak adanya hakikat di balik gejala.[21]
Jadi Secara metodologis, dalam gejala terbentuknya pengetahuan manusia, dapat dibedakan antara dua kutub yaitu kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subyek dan obyek. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Supaya ada pengetahuan, keduanya harus ada. Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lainnya. Keduanya merupakan suatu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia. subyek harus terarah pada obyek, dan sebaliknya obyek harus terbuka dan terararah kepada subyek. Saling terbuka antara subyek dan obyek, bertujuan untuk saling mengenal dan mengetahui sebagaimana adanya satu sama lain.
4.    Hakikat Pengetahuan
Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada di luar akal. Persoalannya adalah apakah gambaran itu sesuai dengan fakta atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat dari kebenaran atau jauh dari kebenaran?[22] Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:
a.    Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat apaabila sesuai dengan kenyataan.[23]
Para penganut realisme mengakui bahwa seseorang bisa salah lihat pada benda-benda atau dia melihat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya, namun mereka paham ada benda yang mempunyai wujud tersendiri, ada juga benda yang tetap kendati diamati.[24]
b.   Idealisme
Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subyektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subyektif dan bukan gambaran obyektif tentang realitas. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui (subyek).[25]
Ajaran idealisme memandang dunia sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan seperti organ tubuh dengan bagian-bagiannya. Dunia merupakan suatu kebulatan bukan kesatuan mekanik, tetapi kebulatan organik yang sesungguhnya yang sedemikian rupa, sehingga suatu bagian darinya dipandang sebagai kebulatan logis dengan makna inti yang terdalam.[26] Semua madzhab idealis mempunyai pandangan yang sama yaitu gagasan, bahwa akal murni atau abstrak lebih tinggi dari penangkapan indera (sensation) atau pengalaman.[27]
5.    Dasar-Dasar Pengetahuan
Pengetahuan merupakan segenap apa yang kita ketahui pada suatu obyek. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan di samping pengetahuan tertentu.  Khazanah kekayaan mental yang secara lain misalnya seni, agama dan lain-lain. Langsung atau tidak  Ilmu mencoba langsung turut memperkaya kehidupan. Menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang Ilmu. Ilmu mempunyai 2 buah peran; metafisika dan akal berbagai kejadian sehat yang terdidik (educated common sense). Dasar-dasar pengetahuan meliputi:[28]
a.         Pengalaman, segala sesuatu yang terjadi kepada manusia sebagai hasil interaksinya dengan alam nyata dan alam gaib (tak terlihat) atau dalam istilah agama disebut juga pengalaman spiritual.
b.         Memorimerupakan kelanjutan dari pengetahuan, sebab ingatan merupakan hasil dari pengalaman.
c.         Kesaksianberfungsi untuk menguatkan atau meneguhkan suatu informasi dari para ahli yang memiliki otaritas dibidangnya untuk menentukan salah atau benar informasi yang dimaksud.
d.        Rasa Ingin Tahupengalaman yang menjadi pengetahuan seringkali berawal dari rasa ingin tahu seseorang terhadap sesuatu sehingga ia akan menyelidiki pengalamannya baik dengan bertanya atau cara lain untuk memberi jawaban atas rasa ingin tahunya.
e.         Logika, pertimbangan akal pikiran agar dapat berpikir secara lurus, tepat, dan sistematis, kemudian disampaikan dalam bahasa lisan atau tertulis.
f.          Bahasapenalaran tanpa kemampuan berbahasa adalah penalaran yang anti klimaks, karena bahasa merupakan alat untuk menerjemahkan penalaran.
g.         Kebutuhan Hidup, semakin manusia membutuhkan sesuatu semakin kreatif manusia tersebut untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

6.    Batas dan Jenis Pengetahuan
Tentang batas pengetahuan, ada beberapa aliran yang berbeda dan ini berkaitan erat dengan apa yang menjadi sumber pengetahuan bagi aliran tersebut, yaitu aliran empirisme radikal (positivisme/positivisme logis) dan aliran rasionalisme. Aliran empirisme radikal berkesimpulan bahwa pengetahuan hanya terbatas pada obyek-obyek fisis yang dapat diamati dan dikuantifikasi. Pandangan ini didasarkan pada pandangan materialisme atau naturalisme (ontologi) yang menganggap bahwa realitas hanya sebatas materi yang secara prinsip dapat diamati dan diukur. Adapun kaum rasionalisme seperti Plato dan Hegel berpendapat bahwa realitas tidak hanya sebatas fenomena alam fisis yang teramati. Pengetahuan justru menembus wilayah metafisis.
Plato menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang benar, pasti dan tidak berubah (episteme) justru bersumber dari dunia idea yang jauh dari jangkauan inderawi. Sementara pengetahuan tentang fenomena alam yang selalu berubah itu tidak sempurna. Karenanya ia hanya berupa pendapat-pendapat (doxa). Pengetahuan sejati (episteme) tidak terbatas pada fenomena fisis, akan tetapi menembus batas yang fisis dan memasuki wilayah metafisis.[29]
Terkait dengan jenis pengetahuan, Prof. Dr. Rasyidi dalam buku Akhyar Yusuf Lubis mengemukakan bahwa jenis-jenis pengetahuan adalah sebagai berikut:[30]
1)        Pengetahuan tentang benda-benda.
2)        Pengetahuan tentang pikiran (mind) orang lain.
3)        Pengetahuan tentang pikiran kita sendiri.
4)        Pengetahuan tentang nilai-nilai (etika, estetika).
5)        Pengetahuan tentang Tuhan.
Sementara itu, Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya membagi jenis-jenis pengetahuan sebagaai berikut:[31]
1)        Pengetahuan biasa, yang disebut juga dengan pengetahuan sehari-hari, pengetahuan eksistensial, common sense atau knowledge.
2)        Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang memiliki sistem, metode tertentu, atau pengetahuan yang memiliki ciri-ciri dan metode keilmiahan.
3)        Pengetahuan filosofis, semacam ilmu khusus yang membahas masalah yang tidak dibahas/tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan ilmiah dan biasa.
4)        Pengetahuan teologis, pengetahuan yang sumber utamanya dari ayat-ayat atau wahyu Tuhan dan kebenarannya didasarkan atas iman.
7.    Sumber Pengetahuan
Sumber pengetahuan adalah apa yang menjadi titik tolak atau apa yang merupakan obyek pengetahuan itu sendiri. Sumber itu ada yang berasal dari “dunia eksternal” dan adayang berasal dari “dunia internal” atau kemempuan subyek.[32] Dalam filsafat, mengenai sumber pengetahuan ini para filosuf berbeda pendapat. Plato sebagai seorang rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah rasio. Sedangkan Aristoteles sebagai tokoh empiris berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman.
Ada beberapa pandangan yang menyebutkan sumber pengetahuan di luar empirisme dan rasionalisme yaitu Bertrand Russel yang membedakan dua macam pengetahuan yaitu: pengetahuan melalui pengalaman (knowledge by acquaintance) dan pengetahuan melalui deskripsi (knowledge by description). Pengetahuan melalui pengalaman diperoleh melalui: data indrawi (sense data), benda-benda memori (objects of memory), keadaan internal (internal states), dan diri kita sendiri (ourselves). Sedangkan pengetahuan melalui deskripsi di peroleh melalui: orang lain, dan benda-benda fisik, namun bukan hasil pengamatan, akan tetapi konstruksi.[33]
Adapun Ted Honderich dalam bukunya Akhyar Yusuf Lubis mengemukakan beberapa sumber pengetahuan, yaitu: reason, perception, memory, introspection, precognition, serta sumber lain. Sedangkan R. John Hospers dalam bukunya Akhyar Yusuf Lubis mengemukakan sumber pengetahuan yaitu sense experience (pengalaman inderawi), reason (akal budi), authority (otoritas), intuition (intuisi), revelation (wahyu), dan faith (keyakinan).[34] Dari sumber-sumber pengetahuan yang dikemukakan oleh Honderich maupun Hospers ada yang sama dan ada yang berbeda, sehingga sumber-sumber pengetahuan tersebut dapat dicantumkan sebagai berikut:
a.    Perception (Pengamatan Inderawi), adalah hasil tanggapan inderawi terhadap fenomena alam. Istilah yang umum dari persepsi ini adalah empiri atau pengalaman.[35]
b.    Memory (Ingatan). Ada dua syarat agar ingatan dapat dijadikan sumber pengetahuan, yaitu:[36]
1)   Perlu ada kesaksian orang lain bahwa ingatan dan pengalaman masa lalu saya itu benar adanya.
2)   Ingatan itu konsisten dan bernilai pragmatis (dapat membantu memecahkan masalah). Misalnya ingatan/pengalaman masa lalu saya ketika tinggal di Mataram dapat membantu saya/orang lain untuk menelusuri kampung-kampung di Selaparang.
c.    Reason (Akal, Nalar). Pikiran atau penalaran (logika) merupakan hal yang paling mendasar bagi kemungkinan adanya pengetahuan. Penalaran adalah proses yang harus dilalui dalam menarik kesimpulan.[37] Jadi logika merupakan ilmu dan kecakapan berpikir dengan benar.
d.   Introspection (Introspeksi). Introspeksi merupakan sumber pengetahuan di mana manusia mendapatkan pengetahuan (pengenalan atau pemahaman terhadap sesuatu) ketika ia mencoba melihat ke dalam dirinya. Socrates pernah menyatakan “kenalilah dirimu sendiri”. Frued juga menggunakan metode introspeksi untuk memandang (observasi) ke dalam pikiran atau mental seseorang atau diri sendiri.[38]
e.    Intuition (Intuisi); adalah “tenaga rohani”, suatu kemampuan yang mengatasi rasio, kemampuan untuk menyimpulkan serta memahami secara mendalam. Intuisi adalah pengenalan terhadap sesuatu secara langsung dan bukan melalui deduksi induksi. Intuisi merupakan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan secara tiba-tiba dan secara langsung.[39]
f.     Authority (Otoritas). Otoritas mengacu pada individu atau kelompok yang dianggap memiliki pengetahuan shahih dan memiliki legitimasi sebagai sumber pengetahuan.[40]
g.    Precognition (Prakognisi); adalah kemampuan untuk mengetahui sesuatu peristiwa yang akan terjadi. Misalnya Nosradamus, ia mampu memberi peringatan akan terjadinya gempa bumi di San Fransisco, dan mampu mengemukakan akan terjadinyaa pembunuhan pada Presiden Kennedy jauh sebelum terjadinya kejadian itu.[41]
h.    Clairvoyance; adalah kemampuan mempersepsi suatu peristiwa tanpa menggunakan indera. Misalnya Dedi Corbusier yang mencari seseorang yang disembunyikan beberapa kilometer dengan mata tertutup.[42]
i.      Telepathy (Telepati); adalah kemampuan berkomunikasi tanpa menggunakan suara atau tanpa menggunakan bentuk simbolik lain, namun hanya menggunakan kemampuan mental.[43]
8.    Pengetahuan Sehari-hari dan Pengetahuan Ilmiah (Ilmu Pengetahuan)
Pengetahuan sehari-hari adalah bentuk pengetahuan yang digunakan untuk kepentingan sehari-hari. Karena itu disebut dengan pengetahuan eksistensial. Misalnya banyak ditemukan pengobatan yang merupakan pengetahuan eksistensial, seperti daun-daunan, akar-akaran, umbi-umbian, dan lain-lain yang digunakan untuk mengobati suatu penyakit.[44]
Sedangkan pengetahuan ilmiah merupakan jenis pengetahuan yang memiliki ciri-ciri dan metode serta sistematika tertentu.[45] Tujuan ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah) yaitu:[46]
a.    Untuk menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi. Menjawab pertanyaan “mengapa” merupakan inti kegiatan ilmiah.
b.    Deskripsi atau Pemaparan; adalah upaya untuk menjawab pertanyaan: apa, siapa, di mana, kapan, dan berapa. Misalnya: ketika tukang jamu memaparkan bagaimana meracik jamu dari tumbuh-tumbuhan tanpa menjelaskan alasan mengapa bahan racikan tersebut dipilih.
c.    Retrodiksi; model pemaparan rekonstruktif tentang masa lalu yang didasarkan atas fakta (artefak, fosil) yang ditemukan. Misalnya arkeolog memperkirakan bagaimana kebudayaan Mesir 3000 tahun yang lalu berdasarkan artefak yang mereka temukan.
d.   Prediksi; adalah model pemaparan yang bertujuan atau berorientasi  ke masa depan. Misalnya Jika kita tahu bahwa jumlah penduduk Semarang X juta, dan pertumbuhan penduduk pertahun adalah 2%, maka jumlah penduduk semarang 10 tahun yang akan datang adalah Z tahun.
e.    Kontrol; adalah salah satu tujuan ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk merekayasa peristiwa atau fenomena alam dengan menggunakan data-data atau pertimbangan ilmiah. Misalnya: untuk menghindari pertumbuhan penduduk yang besar maka digalakkan KB.
9.         Kebenaran dan Kekhilafan
a.    Kebenaran
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan alam metafisika tentu berbeda dengan pengetahuan alam fisik.[47]
Problem kebenaran memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu: kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis.[48] Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.[49] Teori yang menjelaskan kebenaran epistemologis adalah sebagai berikut:


1)        Teori Korespondensi.
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan obyek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut.[50] Dengan demikian kebenaran epistemologis adalah kemanunggalan antara subyek dan obyek. Contoh: Mataram adalah Ibu Kota Propinsi NTB. Pernyataan tersebut benar, karena kenyatannya Mataram memang Ibu Kota Propinsi NTB.
2)        Teori Koherensi tentang Kebenaran.
Menurut teori ini bahwa kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan yang lainnya yeng telah kita ketahui dan kita akui kebenarannya terlebih dahulu.[51] Contoh: 5 + 6 + 11 adalah benar karena sesuai dengan kebenaran yang sudah disepakati bersama.
3)        Teori Pragmatisme tentang Kebenaran.
Menurut teori ini bahwa suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.[52] Jadi bagi para penganut pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequence). Menurut pendekatan ini, tidak ada apa yang disebut kebenaran yang tetap atau kebenaran yang mutlak.[53] Contoh: dalam dunia sains, suatu ilmu itu bermanfaat atau tidak bagi kehidupan sehari-hari manusia. Ilmu perbintangan bermanfaat bagi para nelayan karena dapat memberi petunjuk arah dan keadaan cuaca pada saat dia sedang mengarungi lautan luas. Tetapi belum tentu bagi Polisi.
4)        Agama sebagai Teori Kebenaran.
Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baaik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.[54] Jadi suatu hal dikatakan benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
b.   Kekhilafan
Kekhilafan terjadi dalam ilmu pengetahuan karena kesalahan pengambilan kesimpulan yang tidak runtut terhadap pengalaman-pengalaman. Khilaf muncul karena adanya pernyataan yang sudah dianggap benar secara umum. Kekhilafan erat hubungannya dengan Francis Bacon (dalam Mintaredja, 1980:18-19) dengan teorinya yang terkenal idola yang tercermin dalam bentuk ilusi dan projudice yang menyelewengkan pemikiran ilmiah. Idola dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu:[55]
1)   Idola Teatri atau Sandiwara; sesuatu yang sering dilihat seseorang dalam kehidupan sehari-hari, lama kelamaan tanpa disadari dan diselidiki dianggap sebagai kebenaran.
2)   Idola Fiori atau Pasar; pemikiran seseorang menjadi tidak berfungsi dengan baik, karena orang tresebut hanya melihat sesuatu dari segi bentuk luarnya saja.
3)   Idola Specus atau Gua; seseorang seolah-olah berada dalam tempat yang gelap seperti di dalam goa. Hal ini karena tidak didukung oleh lingkungannya, pendidikan, dan karakter  yang baik, sehingga selalu terkungkung dengan keterbatasan dirinya tidak memahami segala sesuatu dengan baik.
4)   Idola Tribus; idola yang diakibatkan oleh kodrat manusiawi, sehingga orang yang terkena idola ini tidak dapat memahami apa yang dihadapinya.
C.      Metode Ilmiah
1.    Pengertian Metode Ilmiah
Kata metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” berarti “jalan”, “cara”, “arah”. Metode dapat pula diartikan uraian ilmiah penelitian atau metode ilmiah. Dengan demikian, metode dapat pula diartikan cara bertindak menurut aturan tertentu dengan tujuan agar aktivitas dapat terlaksana secara raional dan terarah supaya dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya.[56] Metode merupakan cara-cara penyelidikan yang bersifat keilmuan, yang disebut dengan metode ilmiah (scientific methods). Metode ini diperlukan agar tujuan keilmuan yang berupa kebenaran obyektif dan dapat dibuktikan bisa tercapai. Karena dengan metode ilmiah, kedudukan pengetahuan berubah menjadi ilmu pengetahuan, yaitu menjadi lebih khusus dan terbatas lingkup studinya.[57] Jadi metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah.[58] Metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan melakukan pengamatan serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah.[59]
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, di mana ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.[60] Bahkan metode ilmiah bisa digunakan untuk memuaskan keinginan manusia. Tetapi pemanfaatannya secara berhasil tergantung pada percobaan, dengan hati-hati dan terlepas dari apa yang menjadi keinginan manusia, untuk mengenal dan mengambil keuntungan darinya, struktur yang dimiliki oleh perubahan itu.[61] Metode ilmiah merupakan ekspresi tentang cara bekerja pikiran yang diharapkan mempunyai karakteristik tertentu berupa sifat rasional dan teruji sehingga ilmu yang dihasilkan bisa diandalkan. Dalam hal ini metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun pengetahuan.
Teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasionil yang berkesuaian dengan obyek yang dijelaskannya, dengan didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Secara sederhana maka, hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi 2 syarat utama yaitu:[62]
a.    Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
b.    Harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimana pun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
2.    Karakteristik Metode Ilmiah
Metode ilmiah bergantung pada karakterisasi yang cermat atas subyek investigasi. Dalam proses karakterisasi, ilmuwan mengidentifikasi sifat-sifat utama yang relevan yang dimiliki oleh subyek yang diteliti. Selain itu, proses ini juga dapat melibatkan proses penentuan (definisi) dan pengamatan-pengamatan yang dimaksud seringkali memerlukan pengukuran dan perhitungan yang cermat. Proses pengukuran dapat dilakukan terhadap obyek yang tidak dapat diakses atau dimanipulasi seperti bintang atau populasi manusia. Hasil pengukuran secara ilmiah biasanya ditabulasikan dalam tabel. Digambarkan dalam bentuk grafik atau dipetakan dan diproses dengan penghitungan statistika seperti korelasi dan regresi.[63] Umumnya terdapat empat karakteristik penelitian ilmiah:
a.         Sistematik. Berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan secara berurutan sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana sampai yang kompleks.
b.         Logis. Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah bekerjanya akal yaitu logika. Prosedur penalaran yang dipakai bisa dengan prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual (khusus), atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum.
c.         Empirik. Artinya suatu penelitian yang didasarkan pada pengalaman sehari-hari, yang ditemukan atau melalui hasil coba-coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian. Landasan empirik ada tiga yaitu :
1)        Hal-hal empirik selalu memiliki persamaan dan perbedaan (ada penggolongan atau perbandingan satu sama lain).
2)        Hal-hal empirik selalu berubah-ubah sesuai dengan waktu.
3)        Hal-hal empirik tidak bisa secara kebetulan, melainkan ada penyebabnya.
d.        Replikatif. Artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif, penyusunan definisi operasional variable menjadi langkah penting bagi seorang peneliti.
3.    Langkah-Langkah Metode Ilmiah
Pendekatan rasional yang digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah menuju dan dapat menghasilkan pengetahuan inilah yang disebut metode ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah.[64] Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah berikut:[65]
a.         Perumusan masalah.
Merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batasannya dan faktor yang terkait dapat diidentifikasi.
b.         Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis.
Merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan, yang disusun secara rasionil berdasarkan premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya.

c.         Perumusan hipotesis.
Merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
d.        Pengujian hipotesis.
Merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan adanya fakta pendukung hipotesis.
e.         Penarikan kesimpulan.
Merupakan penilaian diterima atau tidaknya sebuah hipotesis. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah karena telah memenuhi persyaratan keilmuan, yaitu mempunyai kerangka kejelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya dan telah teruji kebenarannya.
Keseluruhan langkah tersebut harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan antara langkah yang satu dengan lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Pentingnya metode ilmiah bukan saja dalam proses penemuah ilmu pengetahuan, namun terlebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan.
D.      Penutup
Dari uraian tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa epistemologi ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
Pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan teruji kebenarannya melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Oleh karena itu ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja secara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pangetahuan atau mengembangkan pengetahuan secara ilmiah yang memiliki kesahan ilmiah, memenuhi validitas ilmiah atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan sehingga pengetahuan tersebut dapat diandalkan dan dimanfaatkan bagi kehidupan manusia.
E.       Daftar Pustaka
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara, 2011).
Aceng Rahmat, dkk, Filafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Kencana, 2011).
Aholiab Watholy, Tanggung Jawab Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Cet.1. (Jakarta: Logos, 1997).
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004).
Aripin Banasuru, Filsafat dan Filsafat Ilmu, dari Hakikat ke Tanggung Jawab (Bandung: Alfabeta, 2014).
Bagong Suyanto, dkk, Filsafat Sosial (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2013)
Bosco Carvallo, dkk, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995).
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Cet.VII, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987).
Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990).
Karyadi Hidayat, Epistemologi: Pengetahuan, Metode Ilmiah, Struktur Metode Ilmiah, dalam http://hidayatkaryadi.blogspot.com/2013/10/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah.html.
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Muhammad Muslih,  Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2008).
Peter Soedjono, Pengantar Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004).
Shelly Nur Fajriah, Pengertian, Karakteristik, dan Langkah-Langkah Metode Ilmiah, dalam http://sheilynurfajriah.blogspot.com/2013/04/pengertian-karakteristik-dan-langkah.html. diakses tanggal 7 Oktober 2014.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).



[1] Pranarka, 1987, dalam Buku Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 31.
[2] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 74.
[3] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 136.
[4] Ibid.
[5] Aceng Rahmat, dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 147.
[6] Peter Soedjono, Pengantar Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hlm. 50.
[7] Muhammad Muslih,  Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2008), hlm. 28.
[8] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), hlm. 104.
[9] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 4.
[10] Jujun, Filsafat...., hlm. 104.
[11] Ibid., hlm. 105.
[12] Ibid.
[13] Akhyar, Filsafat...., hlm. 46-47.
[14] Ibid., hlm. 47.
[15] Hunnex: 1986: 8 dalam buku Akhyar, Filsafat...., hlm. 47
[16] Ibid., hlm. 47-48
[17] Akhyar, Filsafat Ilmu..., hlm. 48.
[18] Ibid., hlm. 48-49.
[19] Ibid., hlm. 49-50.
[20] Ibid., hlm. 50.
[21] Ibid., hlm. 51.
[22] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 94.
[23] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Cet.1. (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 38.
[24] Amsal, Filsafat Ilmu....., hlm. 95.
[25] Amsal, Filsafat Agama...., hlm. 39.
[26] Amsal, Filsafat Ilmu....., hlm. 96-97.
[27] Bagong Suyanto, dkk, Filsafat Sosial, Cet.1. (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2013), hlm. 73.
[28] Karyadi Hidayat, Epistemologi: Pengetahuan, Metode Ilmiah, Struktur Metode Ilmiah, dalam http://hidayatkaryadi.blogspot.com/2013/10/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah.html, daikses tgl 7 oktober 2014.
[29] Akhyar, Filsafat Ilmu..., hlm. 57.
[30] Ibid., hlm. 58
[31] Ibid.
[32] Ibid., hlm. 32.
[33] Ibid., hlm.34.
[34] Ibid., hlm. 34-35.
[35] Ibid., hlm. 35.
[36] Ibid., hlm. 37.
[37] Ibid.
[38] Ibid., hlm. 38.
[39] Ibid.
[40] Ibid., hlm. 40.
[41] Ibid.
[42] Ibid., hlm. 41.
[43] Ibid.
[44] Ibid., hlm. 64.
[45] Ibid.
[46] Ibid., hlm. 65-66.
[47] Amsal, Filsafat Ilmu..., hlm. 111.
[48] Aholiab Watholy, Tanggung Jawab Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 157.
[49] Amsal, Filsafat Ilmu..., hlm. 111.
[50] Jujun, Filsafat Ilmu..., hlm. 57.
[51] Ibid., hlm. 56.
[52] Amsal, Filsafat Ilmu..., hlm. 119.
[53] Ibid., hlm. 120.
[54] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Cet.VII, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 172-173.
[55] Aripin Banasuru, Filsafat dan Filsafat Ilmu, dari Hakikat ke Tanggung Jawab (Bandung: Alfabeta, 2014), hlm. 117.
[56] A. Susanto, Filsafat Ilmu..., hlm. 84.
[57] Ibid., hlm. 83-84.
[58] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu..., hlm. 93.
[59] Karyadi Hidayat, Epistemologi: Pengetahuan, Metode Ilmiah, Struktur Metode Ilmiah, dalam http://hidayatkaryadi.blogspot.com/2013/10/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah.html, diakses tgl 7 Oktober 2014
[60] Jujun, Filsafat Ilmu..., hlm. 119.
[61] Bosco Carvallo, dkk, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 134.
[62] Karyadi Hidayat, Epistemologi: Pengetahuan, Metode Ilmiah, Struktur Metode Ilmiah, dalam http://hidayatkaryadi.blogspot.com/2013/10/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah.html, diakses tgl 7 Oktober 2014.
[63] Shelly Nur Fajriah, Pengertian, Karakteristik, dan Langkah-Langkah Metode Ilmiah, dalam http://sheilynurfajriah.blogspot.com/2013/04/pengertian-karakteristik-dan-langkah.html. diakses tanggal 7 Oktober 2014.
[64] Ibid.
[65] Ibid.

No comments:

Post a Comment