Tulisan ini saya ambil ketika saat Kuliah Astronmi oleh Prof Thomas Djamaluddin,
Seorang teman yang tampaknya tengah terobsesi dengan
Islamisasi ilmu pengetahuan pernah menanyakan mengapa dalam makalah-makalah
ilmiah saya tidak pernah tercantum ayat-ayat Alquran. Tampaknya ia meyakini
bahwa mencantumkan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan dalam makalah ilmiah
merupakan salah satu upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dalam makalah ilmiah ilmu sosial yang mengkaji perilaku manusia
mungkin saja rujukan ayat-ayat Alquran tercantum, karena itu merupakan bagian
dari sistem nilai manusia yang mungkin sedang dikajinya. Dalam hal ini
rujukan-rujukan dari sumber Islami merupakan hal yang sahih dan sangat
dianjurkan bagi para pakar Islam. Itu merupakan salah satu upaya Islamisasi
ilmu sosial yang mungkin telah banyak diwarnai sistem nilai non-Islam.
Namun, dalam hal sains yang mengkaji perilaku alam,
tepatkah ayat-ayat Alquran dijadikan rujukan dalam analisis ilmiahnya? Atau
secara umum, perlukah Islamisasi sains?
Ketika saya menulis skripsi untuk mendapatkan sarjana
astronomi di ITB tentang gugusan bintang-bintang muda di galaksi Bimasakti yang
mengindikasikan bidang galaksi melengkung, kutipan ayat Alquran (Q.S. 3:191-192
tentang pentingnya merenungi alam semesta dan Q.S. 85:1 tentang pentingnya
memperhatikan gugusan bintang) hanya saya cantumkan di halaman depan skripsi,
tidak masuk dalam makalah utamanya. Alquran menjadi landasan iman dalam
mengkaji ayat-ayat Allah di alam semesta, tetapi tidak mungkin dijadikan
rujukan untuk memperkuat argumentasi saintifiknya.
Mengapa tidak mungkin? Ada contoh sederhana untuk
menjawabnya. Ketika menyusun desertasi S3 di Jepang yang mengkaji tentang
pembentukan bintang, dengan sengaja saya menuliskan kalimat pasif yang secara
implisit mengandung pengertian "bintang dibentuk", bukan terbentuk
sendirinya. Artinya ada peran Allah sebagai khaliq. Tetapi profesor pembimbing
saya mencoretnya dan mengganti kalimatnya sehingga lebih netral, tanpa nuasa konflik
keyakinan ada tidaknya Tuhan pencipta alam. Contoh sederhana ini menunjukkan
bahwa dalam sains, argumentasi ilmiah harus sepenuhnya berpijak pada landasan
yang dapat diterima bersama, apa pun agamanya.
Islamisasi Sains?
Ketika semangat Islamisasi ilmu pengetahuan muncul di
Pakistan pada masa Presiden Zia ul Haq pada awal 1980-an, Bashiruddin Mahmood,
Direktur Direktorat Energi Nuklir Pakistan bersama teman-temannya segera
menyambutnya dengan dengan mendirikan "Holy Quran Research Foundation".
Salah satu hasil kajiannya berupa buku "Mechanics of the Doomsday and Life
after Death: The Ultimate Fate of the Universe as Seen Through the Holy
Quran" (1987).
Sayang, obsesinya untuk mengislamisasi sains tampaknya
tidak mempunyai pijakan. Fenomena penciptaan dan kehancuran alam semesta yang
katanya ditinjaunya dari Alquran dianalisisnya tanpa menggunakan sains secara
utuh. Hasilnya, banyak kejanggalan dari segi saintifiknya. Di Indonesia,
publikasi serupa itu ada juga, misalkan oleh Nazwar Syamsu dan Fahmi Basya.
Semangat Islamisasi sains di Pakistan yang dirasakan
telah salah arah, menimbulkan kritik tajam dari Dr. Pervez Hoodbhoy, pakar
fisika partikel dan nuklir dari Quaid-e-Azam University, Islamabad. Atas saran
Prof. Abdus Salam (Penerima hadiah Nobel Fisika 1979), Hoodbhoy memaparkan
kritik-kritiknya atas upaya Islamisasi sains di Pakistan dalam bukunya
"Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for
Rationality" (1992). Baik Hoodbhoy maupun Salam sepakat bahwa upaya
Islamisasi Sains yang dimotori Presiden Zia ul Haq telah salah langkah dan
memalukan.
Secara spesifik, Hoodbhoy mengkritik beberapa kajian yang
oleh para pemaparnya -- di beberapa konferensi tentang Alquran dan sains --
dianggap sebagai sains Islam. Kajian-kajian yang dikritik tajam itu antara lain
tentang formulasi matematis tingkat kemunafikan, analisis isra' mi'raj dengan
teori relativitas, jin yang terbuat dari api sebagai energi alternatif, dan
formula kuantitatif pahala salat berjamaah sebagai fungsi dari jumlah jamaah.
Sebenarnya, adakah sains Islam? Dan perlukah Islamisasi
sains? Untuk menjawabnya, kita kembali mengkaji lebih dalam lima ayat yang
pertama kali turun kepada Rasulullah s. a. w. dan kita fahami prinsip dasar
sains.
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang
mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5).
Dalam makna yang umum, lima ayat yang turun pertama kali
ini tentunya bukan hanya perintah kepada Rasulullah s. a. w. untuk membaca
ayat-ayat qur'aniyah. Terkandung di dalamnya makna untuk membaca
ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam. Allah memberikan kemampuan
kepada manusia untuk itu.
Manusia yang diciptakan dari substansi serupa gumpalan
darah telah dianugerahi Allah dengan kemampuan analisis untuk mengurai
rahasia-rahasia di balik semua fenomena alami. Kompilasi pengetahuan manusia
kemudian didokumentasikan dan disebarkan dalam bentuk tulisan yang disimbolkan
dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini melahirkan sains dalam
upaya menafsirkannya. Ada astronomi, matematika, fisika, kimia, biologi,
geologi, dan sebagainya.
Dari segi esensinya, semua sains sudah Islami, sepenuhnya
tunduk pada hukum Allah. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan adalah
hukum-hukum alam yang tunduk pada sunnatullah. Pembuktian teori-teori yang
dikembangkan dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusiawi.
Secara sederhana, sering dikatakan bahwa dalam sains kesalahan adalah lumrah
karena keterbatasan daya analisis manusiawi, tetapi kebohongan adalah bencana.
Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru
sering disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira
bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal itu hukum Allah yang dirumuskan
manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak
bisa dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya
Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?
Demikian juga tetap Islami sains yang menghasilkan
teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia
memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori
evolusi dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga Islami bila didukung
bukti saintifik. Semua prosesnya mengikuti sunnatullah, yang tanpa kekuasaan
Allah semuanya tak mungkin terwujud.
Jadi, Islamisasi sains sungguh tidak tepat. Menjadikan
ayat-ayat Alquran sebagai rujukan, yang sering dianggap salah satu bentuk
Islamisasi sains, juga bukan pada tempatnya. Dalam sains, rujukan yang
digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa memandang sistem nilai
yang dianutnya. Tegasnya, tidak ada sains Islam dan sains non-Islam.
Hal yang pasti ada hanyalah saintis Islam dan saintis
non-Islam. Dalam hal ini sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak
akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang
saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-ilmiah.
"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan".
Maka, riset saintis Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan
pemelihara alam serta hanya karena-Nya pokok pangkal segala niat. Atas dasar
itu, setiap tahapan riset yang menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam
semestinya disyukurinya dengan ungkapan "Rabbana maa khaalaqta haadza
baathilaa, Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia" (Q.
S. 3:191), bukan ungkapan bangga diri.
No comments:
Post a Comment