Oleh: Abdul Karim
A. Pendahuluan
Sesungguhnya
kajian tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, cakupannya sangatlah luas
dan juga sangat panjang. Idealnya sejarah adalah rekam jejak tentang semua
rentetan peristiwa yang telah terjadi, yang berfungsi untuk mengungkapkan
segala sesuatu sesuai fakta yang ada tanpa adanya distorsi sedikitpun, namun
dalam kenyataannya terkadang sejarah hanya mengungkap sepenggal saja atau tidak
utuh dari rentetan peristiwa tersebut dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari
pengaruh-pengaruh kondisi sosial politik tertentu. Apalagi sejarah yang
dimaksud dalam pembahasan ini adalah sejarah atau periodisasi tentang
perkembangan ilmu pengetahuan yang merupakan faktor penting dalam kehidupan
manusia. Untuk itu, perlu adanya upaya yang sungguh-sungguh
dalam mengungkap fakta sejarah yang ada.
Dalam konsepsi
agama ilmu pengetahuan lahir sejak diciptakannya manusia pertama yaitu Adam,[1]
kemudian berkembang menjadi sebuah ilmu atau ilmu pengetahuan. Pada hakekatnya
ilmu pengetahuan lahir karena hasrat ingin tahu dalam diri manusia. Hasrat ingin
tahu ini timbul oleh karena tuntutan dan kebutuhan dalam kehidupan yang terus
berkembang.
Secara teoritis
perkembangan ilmu pengetahuan selalu mengacu kepada peradaban Yunani. Hal ini
didukung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah mitologi bangsa Yunani,
kesusastraan Yunani, dan pengaruh ilmu pengetahuan pada waktu itu yang sudah
sampai di Timur Kuno. Terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan di setiap
periode ini dikarenakan pola pikir manusia yang mengalami perubahan
dari mitos-mitos menjadi lebih rasional.[2]
Manusia menjadi lebih proaktif dan kreatif menjadikan alam sebagai objek
penelitian dan pengkajian. Oleh Karena itu, dalam makalah yang singkat ini,
penulis akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tersebut
sesuai dan kemampuan yang penulis miliki, tentunya penulis yakin hal ini masih
jauh dari kesempurnaan.
B. Pembahasan
Di kalangan para ahli sejarah banyak pendapat yang beragam dalam mendefinisikan term sejarah, namun dapat penulis simpulkan bahwa pada intinya sejarah adalah kesinambungan atau rentetan suatu
peristiwa/ kejadian antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan.
Hal ini dapat diketahui dari segi
kronologis dan geografis, yang bisa dilihat dengan kurun waktu dimana sejarah
itu terjadi. Dalam setiap periode sejarah
pekembangan ilmu pengetahuan memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu.
Tetapi dalam pembagian periodisasi perkembangan ilmu pengetahuan ada perbedaan
dalam berbagai literature yang ada.
Maka dari itu, untuk memahami
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan secara mudah, di sini telah dilakukan elaborasi dan
klasifikasi atau pembagian secara garis besar. Berikut adalah uraian singkat
dari masing-masing periode atau sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dari masa
ke masa. Kalau pengetahuan lahir sejak manusia pertama diciptakan, maka
perkembangannya sejak jaman purba. Secara garis besar, Amsal Bakhtiar membagi
periodeisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada
zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada
zaman kontemporer.[3]
Sedangkan George J. Mouly membagi perkembangan ilmu menjadi
tiga (3) tahap yaitu animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. George J. Mouly
dalam bukunya Jujun S Suriasumantri, (1985:87) menjelaskan bahwa permulaan ilmu
dapat ditelusuri sampai pada permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa
manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang
memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia. Usaha mula-mula di bidang
keilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir
dimana banjir Sungai Nil terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya
sistem almanak, geometri dan kegiatan survey.[4]
George J. Mouly menjelaskan bahwa
pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan
sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pada tahap
inilah pola pikir mitosentris masih sangat kental mewarnai pemikiran bangsa
Yunani sebelum berubah menjadi logosentris. Sebagai contoh, gempa bumi pada
saat itu tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang
menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam
tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang
terjadi secara kualitas.[5]
Dari hal tersebut diketahui bahwa
proses berpikir manusia menuntut mereka untuk menemukan sebuah metode belajar
dari pengalaman dan memunculkan keinginan untuk menyusun sesuatu hal secara
empiris, serta dapat diukur. Dalam sejarah mencatat bangsa Yunanilah yang
pertama diakui oleh dunia sebagai perintis terbentuknya ilmu karena telah
berhasil menyusunnya secara sistematis. Implikasi dari hal tersebut manusia
akan mencoba merumuskan semua hal termasuk asal-muasal mitos-mitos karena
mereka menyadari bahwa hal tersebut dapat dijelaskan asal-usulnya dan kondisi
sebenarnya. Sehingga sesuatu hal yang tidak jelas yang hanya berupa tahu
atau pengetahuan dapat dibuktikan kebenarannya dan dapat dipertanggungjawabkan
pada saat itu. Dari sinilah awal kemenangan ilmu pengetahuan atas mitos-mitos,
dan kepercayaan tradisional yang berlaku di masyarakat.[6]
Sedangkan perkembangan sejarah ilmu
pengetahuan menurut amsal bakhtiar yang dibagi menjadi empat periode
sebagaimana penulis sebutkan di atas maka penjelasannya sebagai berikut:
1. Periode
Yunani Kuno
Yunani kuno adalah tempat bersejarah
di mana sebuah bangsa memilki peradaban. Oleh karenanya Yunani kuno sangat
identik dengan filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Padahal
filsafat dalam pengertian yang sederhana sudah berkembang jauh sebelum para
filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka
menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada
generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam
disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang. Menurut Bertrand Russel,
diantara semua sejarah, tak ada yang begitu mencengangkan atau begitu sulit
diterangkan selain lahirnya peradaban di Yunani secara mendadak. Memang banyak
unsur peradaban yang telah ada ribuan tahun di Mesir dan Mesopotamia. Namun
unsur-unsur tertentu belum utuh sampai kemudian bangsa Yunanilah yang
menyempurnakannya.[7]
Seiring dengan berkembangannya
waktu, filsafat dijadikan sebagai landasan berfikir oleh bangsa Yunani untuk
menggali ilmu pengetahuan, sehingga berkembang pada generasi-generasi
setelahnya. Itu ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang
pengaruhnya terasa hingga sekarang. Karena itu, periode perkembangan filsafat
Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia.[8] Zaman ini berlangsung dari abad 6 SM
sampai dengan sekitar abad 6 M. Zaman ini menggunakan sikap an inquiring
attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis),
dan tidak menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive
attitude (sikap menerima segitu saja). Sehingga pada zaman ini
filsafat tumbuh dengan subur. Yunani mencapai puncak kejayaannya atau zaman
keemasannya.[9]
Pada zaman ini banyak bermunculan
ilmuwan yang terkemuka. Di antaranya adalah:
a. Thales
(624-545 SM).
Kurang
lebih enam ratus tahun sebelum Nabi Isa (Yesus)
terlahir, muncul sosok pertama dari tridente Miletus yaitu Thales yang menggebrak cara berfikir
mitologis masyarakat Yunani dalam menjelaskan segala sesuatu. Sebagai
Saudagar-Filosof, Thales amat gemar melakukan rihlah. Ia bahkan pernah
melakukan lawatan ke Mesir. Thales adalah filsuf pertama sebelum masa Socrates.
Menurutnya zat utama yang menjadi dasar segala materi adalah air. Pada masanya, ia menjadi
filsuf yang mempertanyakan isi dasar alam.[10]
b. Pythagoras
(580 SM–500 SM)
Pythagoras lahir di Samos (daerah Ioni), tetapi kemudian
berada di Kroton (Italia Selatan). Ia adalah seorang matematikawan dan filsuf Yunani yang
paling dikenal melalui teoremanya. Dikenal sebagai Bapak Bilangan,
dan salah satu peninggalan Phytagoras yang terkenal adalah teorema Pythagoras, yang menyatakan bahwa
kuadrat hipotenusa dari suatusegitiga siku-siku adalah
sama dengan jumlah kuadrat dari kaki-kakinya (sisi-sisi siku-sikunya). Walaupun
fakta di dalam teorema ini telah banyak diketahui sebelum lahirnya
Pythagoras, namun teorema ini dikreditkan kepada Pythagoras karena ia yang
pertama kali membuktikan pengamatan ini secara matematis. Selain itu, Pythagoras
berhasil membuat lembaga pendidikan yang disebut Pythagoras Society.
Selain itu, dalam ilmu ukur dan aritmatika ia berhasil menyumbang teori tentang
bilangan, pembentukan benda, dan menemukan hubungan antara nada dengan panjang
dawai.[11]
c. Socrates
(469 SM-399 SM)
Socrates
lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar
dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates adalah yang
mengajar Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar Aristoteles. sumbangsih
Socrates yang terpenting bagi pemikiran Barat adalah metode penyelidikannya,
yang dikenal sebagai metode elenchos, yang
banyak diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, Socrates
dikenal sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat
secara umum.[12] Periode
setelah Socrates ini disebut dengan zaman keemasan kelimuan bangsa Yunani,
karena pada zaman ini kajian-kajian kelimuan yang muncul adalah perpaduan
antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol
adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates.[13]
d.
Plato (427 SM-347 SM)
Ia adalah murid Socrates dan
guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal
ialah Republik (Politeia) di mana ia
menguraikan garis besar pandangannya pada keadaan ideal. Selain itu, ia
juga menulis tentang Hukum dan banyak dialog di mana Socrates adalah
peserta utama. Sumbangsih Plato yang terpenting tentu saja adalah ilmunya
mengenai ide.
Dunia fana ini tiada lain hanyalah refleksi atau bayangan daripada dunia ideal.
Di dunia ideal semuanya sangat sempurna. Plato, yang hidup di awal abad ke-4
S.M., adalah seorang filsuf earliest (paling tua) yang tulisan-tulisannya masih
menghiasi dunia akademisi hingga saat ini. Karyanya Timaeus merupakan
karya yang sangat berpengaruh di zaman sebelumnya; dalam karya ini ia membuat
garis besar suatu kosmogoni yang meliputi teori musik yang ditinjau dari sudut
perimbangan dan teori-teori fisika dan fisiologi yang diterima pada saat itu.[14]
e.
Aristoteles (384 SM- 322 SM)
Aristoteles adalah seorang filsuf Yunani,
murid dari Plato dan
guru dari Alexander yang Agung. Ia memberikan
kontribusi di bidang Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, dan
Ilmu Alam. Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang
mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi
secara sistematis. Sementara itu, di bidang politik,
Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk
demokrasi dan monarki. Dari kontribusinya, yang paling penting adalah masalah
logika dan Teologi (Metefisika). Logika Aristoteles
adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive
reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari
setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian
ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive
thinking). Logika yang digunakan untuk menjelaskan cara menarik kesimpulan
yang dikemukakan oleh Aristoteles didasarkan pada susunan pikir. Masa keemasan
kelimuan bangsa Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia berhasil
menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya
dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika
Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme (syllogisme).[15]
Selain nama-nama di atas, masih ada filosof-filosof
seperti Anaximander (610 SM-546 SM) dengan diktum falsafinya bahwa
permulaan yang pertama, tidaklah bisa ditentukan (Apeiron), karena
tidaklah memiliki sifat-sifat zat yang ada sekarang. Anaximenes yang hidup pada abad
ke 6 SM., masih satu generasi dengan Anaximander, ia berpendapat bahwa zat yang awal
ada adalah udara.
Ia menganggap bahwa semuanya di alam semesta dirasuki
dengan udara. Demokreitos (460-370 SM), ia mengembangkan teori
mengenai atom sebagai
dasar materi,
sehingga ia dikenal sebagai “Bapak Atom Pertama”. Empedokles (484-424 SM)
adalah seorang filsuf Yunani berpendapat
bahwa materi terdiri
atas empat unsur dasar yang ia sebut sebagai akar, yaitu air, tanah, udara, dan api. Selain itu, ia
menambahkan satu unsur lagi yang ia sebut cinta (philia).
Hal ini dilakukannya untuk menerangkan adanya keterikatan dari satu unsur ke
unsur lainnya. Empedokles juga dikenal sebagai peletak dasar ilmu-ilmu fisika
dan biologi pada abad 4 dan 3 SM. Dan juga Archimedes, (sekitar 287-212 SM)
ia adalah seorang ahli matematika, astronom,
filsuf,
fisikawan,
dan insinyur
berbangsa Yunani. Archimedes dianggap sebagai salah satu matematikawan
terbesar sepanjang masa, hal ini didasarkan pada temuannya berupa prinsip
matematis tuas, sistem katrol (yang didemonstrasikannya dengan menarik sebuah
kapal sendirian saja), dan ulir penak, yaitu rancangan model planetarium yang
dapat menunjukkan gerak matahari, bulan, planet-planet, dan kemungkinan
konstelasi di langit. Dari karya-karyanya yang bersifat eksperimental, ia
kemudian dijuluki sebagai Bapak IPA Eksperimental.[16]
Sebelum
masuk periode Islam ada yang menyebut sebagai periode pertengahan. Zaman ini
masih berhubungan dengan zaman sebelumnya. Karena awal mula zaman ini pada abad
6 M sampai sekitar abad 14 M. Zaman ini disebut dengan zaman kegelapan (The
Dark Ages). Zaman ini ditandai dengan tampilnya para Theolog di lapangan
ilmu pengetahuan. Sehingga para ilmuwan yang ada pada zaman ini hampir semua
adalah para Theolog. Begitu pula dengan aktifitas keilmuan yang mereka lakukan
harus berdasar atau mendukung kepada agama. Ataupun dengan kata lain aktivitas
ilmiah terkait erat dengan aktivitas keagamaan. Pada zaman ini filsafat sering
dikenal dengan sebagai Anchilla Theologiae (Pengabdi Agama). Selain
itu, yang menjadi ciri khas pada masa ini adalah dipakainya karya-karya
Aristoteles dan Kitab Suci sebagai pegangan.[17]
2. Periode
Islam.
Tidak terbantahkan bahwa Islam sesungguhnya adalah ajaran
yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan, hal ini sudah terlihat dari pesan
yang terkandung dalam al-Qur’an yang diwahyukan pertama kali kepada Nabi
Muhammad saw, yaitu surat al-‘Alaq dengan diawali kata perintah iqra
yang berarti (bacalah). Gairah intelektualitas di dunia Islam ini
berkembang pada saat Eropa dan Barat mengalami titik kegelapan, Sebagaimana
dikatakan oleh Josep Schumpeter dalam buku magnum opus-nya yang menyatakan
adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun,
yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages. Masa kegelapan
Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat Islam, suatu hal yang
berusaha disembunyikan oleb Barat karena pemikiran ekonom Muslim pada masa
inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom Barat.[18]
Pada saat itulah di Timur terutama di wilayah kekuasaan
Islam terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada
zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan, maka peradaban dunia
Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof
Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.[19]
Menurut Harun Nasution, keilmuan berkembang pada zaman Islam
klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana
tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis.
Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan
sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam
Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria),
dan Bactra (Persia).[20] Sedangkan W. Montgomery Watt
menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh
orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan
di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria,
Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian pada
sekitar tahun 900 M ke Baghdad.[21]
Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan
berada di pangkuan perdaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama
terkenal seperti: Al-Ḥāwī karya al-Rāzī (850-923) merupakan sebuah
ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya.[22] Rhazas mengarang suatu Encyclopedia
ilmu kedokteran dengan judul Continens, Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku
kedokteran (al-Qonun) yang menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa.
Al-Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun
825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis
perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan penggunaan
cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu Rushd (1126-1198)
seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari karya-karya Aristoteles. Al
Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal pada masa itu
untuk disampaikan kepada Raja Boger II dari kerajaan Sicilia.[23]
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan
al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan
metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya.
Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang
belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat
yang mencapai ketepatan tinggi.[24]
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam
juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M),
Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī (w. 1111 M), Ibn Bājah atau
Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau
Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī berjasa membuat
filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat dalam
Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya
kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin
memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab,
seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang
menolak pengetahuan asing.[25]
Menurut
Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada
filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen
dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para
skolastik, tetapi juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas
non-profesional, yang menentang keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan
filosof profesional, para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan
Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang
mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali
peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan
lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.[26]
3. Masa renaisans dan modern
Michelet, sejarahwan terkenal,
adalah orang pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarahwan
biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan
intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad
ke-15 dan ke-16. Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad
pertengahan, zaman renaisans, dan zaman modern. Sementara orang
menganggap bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans.[27]
Renaisans adalah periode
perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan
sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan
kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama
renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan
rasionalisme. Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara
Kristen semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.
Pengaruh
ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu
menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di
Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini
adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin. Walaupun Islam
akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia
telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah
kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad
ke-14 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung)
pada abad ke-18 M.[28]
4. Periode Kontemporer
Zaman ini bermula dari abad 20 M dan masih berlangsung
hingga saat ini. Zaman ini ditandai dengan adanya teknologi-teknologi canggih,
dan spesialisasi ilmu-ilmu yang semakin tajam dan mendalam. Pada zaman ini
bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi dan banyak dibicarakan oleh
para filsuf. Sebagian besar aplikasi ilmu dan teknologi di abad 21 merupakan
hasil penemuan mutakhir di abad 20. Pada zaman ini, ilmuwan yang menonjol dan
banyak dibicarakan adalah fisikawan. Bidang fisika menjadi titik pusat
perkembangan ilmu pada masa ini. Fisikawan yang paling terkenal pada abad ke-20
adalah Albert Einstein. Ia lahir pada tanggal 14 Maret 1879 dan meninggal
pada tanggal 18 April 1955 (umur 76 tahun). Alberth Einstein adalah seorang ilmuwan fisika.
Dia mengemukakan teori relativitas dan juga banyak
menyumbang bagi pengembangan mekanika
kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi.[29]
Dia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisika pada
tahun 1921 untuk penjelasannya tentang efek
fotoelektrik dan “pengabdiannya bagi Fisika Teoretis”. Karyanya
yang lain berupa gerak Brownian, efek
fotolistrik, dan rumus Einstein yang paling dikenal adalah E=mc².
Di artikel pertamanya di tahun1905 bernama “On the Motion-Required by the Molecular
Kinetic Theory of Heat-of Small Particles Suspended in a Stationary Liquid“,
mencakup penelitian tentanggerakan Brownian.
Menggunakan teori kinetik cairan yang pada saat itu
kontroversial, dia menetapkan bahwa fenomena, yang masih kurang penjelasan yang
memuaskan setelah beberapa dekade setelah ia pertama kali diamati, memberikan
bukti empirik (atas dasar pengamatan dan eksperimen) kenyataan pada atom. Dan juga meminjamkan
keyakinan pada mekanika statistika, yang pada saat itu juga
kontroversial.[30]
Pada zaman ini juga melihat integrasi fisika dan kimia, pada
zaman ini disebut dengan “Sains Besar”. Linus Pauling (1953) mengarang sebuah buku
yang berjudul The Nature of Chemical Bond menggunakan
prinsip-prinsip mekanika kuantum. Kemudian, karya Pauling memuncak dalam
pemodelan fisik DNA, “rahasia kehidupan”. Pada tahun ini juga James D. Watson, Francis Crick dan Rosalind Franklin menjelaskan struktur
dasar DNA, bahan genetik untuk mengungkapkan kehidupan
dalam segala bentuknya. Hal ini memicu rekayasa genetika yang dimulai tahun
1990 untuk memetakan seluruh manusia genom (dalam Human Genome Project) dan
telah disebut-sebut sebagai berpotensi memiliki manfaat medis yang besar.[31]
Selain
kimia dan fisika, teknologi komunikasi dan informasi berkembang pesat pada
zaman ini. Sebut saja beberapa penemuan yang dilansir oleh nusantaranews.wordpress.com
sebagai penemuan yang merubah warna dunia, yaitu: Listrik, Elektronika
(transistor dan IC), Robotika (mesin produksi dan mesin pertanian), TV dan
Radio, Teknologi Nuklir, Mesin Transportasi, Komputer, Internet, Pesawat
Terbang, Telepon dan Seluler, Rekayasa Pertanian dan DNA, Perminyakan,
Teknologi Luar Angkasa, AC dan Kulkas, Rekayasa Material, Teknologi Kesehatan
(laser, IR, USG), Fiber Optic, dan Fotografi (kamera, video). Kini, penemuan
terbaru di bidang Teknologi telah muncul kembali. sumber lain telah
memberitakan penemuan “Memristor”. Ini merupakan penemuan Leon Chua,
profesor teknik elektro dan ilmu komputer di University of California Berkeley.
Keberhasilan itu menghidupkan kembali mimpi untuk bisa mengembangkan
sistem-sistem elektronik dengan efisiensi energi yang jauh lebih tinggi
daripada saat ini. Caranya, memori yang bisa mempertahankan informasi bahkan
ketika power-nya mati, sehingga tidak perlu ada jeda waktu untuk komputer untuk
boot up, misalnya, ketika dinyalakan kembali dari kondisi mati. Hal ini
digambarkan seperti menyala-mematikan lampu listrik, ke depan komputer juga
seperti itu (bisa dihidup-matikan dengan sangat mudah dan cepat).[32]
C. Kesimpulan
Perkembangan ilmu sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari
rasa keingintahuan yang besar diiringi dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh
melalui penalaran, percobaan, penyempurnaan, dan berani mengambil resiko tinggi
sehingga menghasilkan penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi suatu generasi dan
menjadi acuan pertimbangan bagi generasi selanjutnya untuk mengoreksi,
menyempurnakan, mengembangkan, dan menemukan penemuan selanjutnya.
Faktor-faktor inilah yang kemudian menjadi spirit dan motivasi bagi pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Hal penting yang perlu dicatat dalam hal ini adalah bahwa
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan harus diimbangi dengan pengembangan
moralitas spiritual, karena sebagaimana kita tahu bahwa Ilmu pengetahuan
hakekatnya adalah bebas nilai, tergantung bagaimana manusia mempergunakannya. Ilmu
pengetahuan bisa berdampak positif, tetapi ia juga dapat memiliki dampak
negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positifnya adalah dapat semakin
mempermudah dan memberikan kenyamanan dalam kehidupan manusia, sementara dampak
negatifnya adalah dapat menghancurkan tatanan kehidupan manusia itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, edisi revisi
Bertrand
Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004
Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Bandung:
Mizan, 2003
George J. Mouly, Perkembangan
Ilmu, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat
Ilmu, Jujun S. Suriasumantri, Jakarta: Gramedia, 1991
Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah
Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1980
Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung:
Mizan, 1998
Jadiwijaya,“Sejarah Perkembangan Ilmu
Pengetahuan” dalam
http://jadiwijaya.blog.uns.ac.id/2010/06/02/sejarah-perkembangan-ilmu/ diakses 16
September 2014.
Jerome R. Ravertz, Filsafat
Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004, cetakan ke-4
Joseph A. Schumpeter, A
History of Economic Analysis, (New york : Oxford University Press,
1954), Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2007, Edisi Ke-3
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1986
Lenn E. Goodman, “Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, Bandung: Mizan, 2003
Paul Strathern, 90 Menit
Bersama Aristoteles, Jakarta: Erlangga,
2001
Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset,
2002, cet. Ke-2
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya Di Indonesia: Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi
Aksara, 2007
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya Di Indonesia: Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi
Aksara, 2007
Sutarjo A. Wiramiharja, Pengantar
Filsafat: Sistematika Sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi)
Metafisika dan Filsafat Manusia Aksiologi, Bandung: PT. Rafika Aditama,
2006
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu, Yogykarta : Liberty, 1996
W. Montgomery Watt, Islam dan
Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1997
[1] Lihat: Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 30-33
[2] George J. Mouly, Perkembangan
Ilmu, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat
Ilmu, Jujun S. Suriasumantri,
(Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 87
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013 edisi revisi), hlm. 21-27. Berbeda lagi dalam
bukunya Prof. Dr. Sutarjo A. Wiramiharja, Psi. membagi sejarah perkembangan
filsafat itu menjadi lima (5) periode, yaitu: Pertama, Zaman Yunani
Kuno, (600 SM-200 M). Kedua, Zaman Patristik dan Pertengahan (200 M-1600
M). Ketiga, Zaman Modern (1600 M-1800 M). Keempat, Zaman Baru
(1800 M-1950 M). Kelima, Zaman Pasca-Modern (1950 M- Sekarang). Lihat:
Prof. Dr. Sutarjo A. Wiramiharja, Psi., Pengantar Filsafat: Sistematika
Sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi) Metafisika dan
Filsafat Manusia Aksiologi, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2006), hlm. 45-77
[4] George J. Mouly, Perkembangan Ilmu, dalam Ilmu dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jujun S.
Suriasumantri, hlm. 87.
[6] Ibid.
[7] Lihat: Bertrand Russell, Sejarah
Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno
Hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 3-4.
[8]Lihat: Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013 edisi revisi), hlm. 22
[9]Perkembangan ilmu pengetahuan hingga
seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan melalui
proses bertahap, dan evolutif. Di dalam banyak literatur menyebutkan bahwa
periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnnya ilmu
pengetahuan dalam sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu ini
dilatarbelakangi dengan perubahan paradigma dan pola pikir yang berkembang saat
itu. Sebelumnya bangsa Yunani masih diselemuti oleh pola pikir mitosentris,
namun pada abad ke 6 SM di Yunani lahirlah filsafat yang dikenal
dengan the greek miracle. Dengan paradigma ini, ilmu
pengetahuan berkembang sangat pesat karena menjawab persoalan disekitarnya
dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahayul yang
irrasional. Lihat: Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya Di Indonesia: Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), 82-83.
[10] Lihat: Paul Strathern, 90 Menit Bersama Aristoteles,
Jakarta: Erlangga, 2001). Lihat juga: http://sophiascientia.wordpress.com/kronologis-historis-sejarah-dan-perkembangan-ilmu-pengetahuan/.
[12]W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh
Islam atas Eropa Abad Pertengahan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997), hlm. 60-61.
[14] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang
Lingkup Bahasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cetakan ke-4, hlm.
10
[16]Jadiwijaya, “Sejarah Perkembangan Ilmu
Pengetahuan” dalam
website http://jadiwijaya.blog.uns.ac.id/2010/06/02/sejarah-perkembangan-ilmu/ diakses 16 September 2014.
[17]Dominasi para teolog pada masa itu mewarnai aktivitas ilmiah
pergerakan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari semboyan yang berlaku
bagi ilmu pada masa itu adalah ancillla theologia atau abdi
agama. Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah tersebut diarahkan untuk
mendukung kebenaran agama. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena
mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Inilah
yang dianggap sebagai salah satu penyebab masa ini disebut dengan Abad gelap (dark
age). Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan
oleh raja-raja besar seperti Alfred dan Charlemagne. Lihat: Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya Di
Indonesia: Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 85. Lihat Juga: Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu :
Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, hlm. 16
[18]Lihat: Joseph A. Schumpeter, A History of Economic
Analysis, (New york : Oxford University Press, 1954), bandingkan
dengan Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2007), Edisi Ke-3, hlm 10-11
[19] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002), cet. Ke-2, hlm. 128
[21] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh
Islam atas Eropa Abad Pertengahan, hlm. 44-45.
[22] Lenn E. Goodman, “Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 243-265.
[23] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu, (Yogykarta : Liberty, 1996), hlm 42.
[24] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh
Islam atas Eropa Abad Pertengahan, hlm. 60-61.
[25] Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 209-210
[26] Russell, Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan
Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang, hlm
567.
[30] Ibid., hlm. 90
[31]Jadiwijaya, “Sejarah
Perkembangan Ilmu Pengetahuan” dalam http://jadiwijaya.blog.uns.ac.id/2010/06/02/sejarah-perkembangan-ilmu/, diakses
16 September 2014.
[32] Ibid.
No comments:
Post a Comment