Oleh: Tri Astutik Haryati
Abstrak: Tulisan ini
bertujuan untuk memahami tiga konsep dasar yang menjadi fokus pembahasan yakni knowledge,
science, dan filsafat melalui pendekatan filosofis. Pendekatan tersebut
berasumsi melihat pondasi yang memungkinkan pembangunan argumentasi teoritis
tentang hakekat knowledge, science, dan filsafat untuk memahami konsep
dasar Filsafat Ilmu. Filsafat Ilmu yang dimaksudkan tentunya telah diformulasikan secara
kontekstual-humanis-sosiologis yang bersifat social
salvation. Sehingga
bisa memberikan kontribusi signifikan bagi umat manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, Filsafat Ilmu secara
dinamis akan senantiasa sejalan dengan misi utama agama Islam yaitu rahmatan lil ’ālamīn.
Kata
kunci: Knowledge, science, filsafat, kontemplasi,
spekulatif, radikal, saintifik, ilmiah.
A. Pendahuluan
Manusia
adalah makhluk yang berpikir—Aristoteles menyebutnya animal rationale (binatang
yang rasional)[1].
Berpikir pada dasarnya adalah sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses
ini merupakan gerak pemikiran dengan mempergunakan simbol yang merupakan abstraksi
dari berbagai gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Susanne
K. Langer,[2] manusia terlibat di dalam suatu jalinan simbol-simbol yang
merupakan metode untuk mencapai penyesuaian diri yang memadai terhadap alam sekitar. Proses
simbolisasi pada diri manusia tersebut, menurut Ernst Cassirer menyebabkan manusia lebih
tepat disebut
animal symbolicum sekaligus animal rationale.[3]
Proses
berpikir manusia diawali oleh rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang
menggejala di hadapannya dan menimbulkan kesangsian, keheranan atau kekaguman. Semakin
banyak yang diketahui manusia, semakin banyak pertanyaan timbul. Proses pemenuhan
rasa ingin tahu tersebut berlangsung secara simultan dan dialektis hingga
membuahkan pengetahuan, yang pada dasarnya terbagi dalam tiga persoalan utama:
Apakah yang ingin diketahui? Bagaimanakah cara mendapatkan pengetahuan? Dan
apakah nilai pengetahuan tersebut bagi manusia?
Meskipun
pertanyaan-pertanyaan tersebut terlihat sangat sederhana, akan tetapi persoalan
yang hendak dipikirkan mencakup persoalan yang sangat asasi. Serangkaian
jawaban yang diberikan atas ketiga pertanyaan tersebut dalam sejarah peradaban
manusia telah menghasilkan beragam ilmu pengetahuan hingga mampu menempatkan
manusia dalam posisinya yang eksistensial dalam mengawal peradaban.
Makalah
ini—dengan segala keterbatasannya—berusaha untuk meletakkan ilmu pengetahuan
dalam perspektif filosofis, serta memposisikan berbagai aspek keilmuan dalam
keterkaitan jalinan dengan fungsinya masing-masing. Sehingga pembahasan pertama
akan diarahkan untuk mengkaji hakekat dan ruang lingkup knowledge, science, dan
filsafat. Selain itu, akan dibahas permasalahan utama yang masih terus bergulir
dalam filsafat ilmu yakni pencarian kriteria yang dapat membedakan antara science
dan yang bukan science. Dengan demikian diharapkan kerangka dasar
untuk memahami filsafat ilmu akan dapat ditemukan.
B. Knowledge dan Science
1. Penjernihan Istilah Knowledge dan Science
Untuk menghindari kerancuan semantik, maka sebelum
pembahasan lebih lanjut perlu dijelaskan sinonim yang tepat untuk istilah knowledge dan science dalam kosa kata bahasa Indonesia. Dalam kamus
Inggris-Indonesia,[4] knowledge diartikan
dengan pengetahuan; sedangkan science diartikan ilmu pengetahuan.[5]
Adapun makna yang terkandung dalam kedua istilah tersebut juga terdapat
perbedaan. Dalam KBBI knowledge (pengetahuan)[6]
memiliki dua arti 1). Segala sesuatu yang diketahui; 2) Segala sesuatu yang
diketahui berkenaan dengan suatu hal. Sedangkan science (sains)[7]
memiliki tiga arti: 1). Ilmu pengetahuan pada umumnya; 2). pengetahuan sistematis tentang alam dan
dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan
sebagainya; ilmu pengetahuan alam; (3) pengetahuan sistematis yang diperoleh dari
sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat
dasar atau prinsip sesuatu.
Pada dasarnya, pengetahuan menurut Suwardi[8] merupakan sesuatu yang diketahui langsung
dari pengalaman, berdasarkan panca indra dan diolah oleh akal secara spontan.
Pengetahuan indrawi yang spontanitas dan subyektif tersebut belum menggunakan
metode yang jelas. Pengetahuan yang didapat berkaitan dengan kebenaran yakni
kesesuaian antara yang diketaui dengan obyeknya meskipun belum teruji secara
metodologis sehingga masih bercampur dengan insting.
Penjelasan yang sama juga diberikan oleh Poedjawijatna[9]
bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman yakni persentuhan dengan indra baik
secara sengaja ataupun tidak, dan meliputi pengalaman individu maupun
pengalaman orang lain. Pengalaman tersebut umumnya tidak dirumuskan dalam sebuah
bahasa yang tepat, akan tetapi diakui kebenarannya, berlaku umum, tetap, pasti
dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman inilah yang disebut
pengetahuan.
Akan tetapi, pengetahuan seperti ini belum bisa dikategorikan sebagai ilmu
(science) karena tidak dilanjutkan dengan mencari keterangan lebih jauh
tentang mengapa hal itu terjadi. Disinilah perbedaan antara knowledge dan
science bermula.
Secara etimologis, kata “science”[10]
berasal dari bahasa Latin scientia yang berarti tahu, yang memiliki
kesamaan arti dengan bahasa Arab ‘alima. Jadi antara ilmu dan science
secara etimologis berarti pengetahuan (dalam arti generik).[11]
Adapun ilmu, dalam KBBI diartikan
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara tersistem menurut metode
tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
pengetahuan itu.[12] Pengertian ilmu tersebut
mengindikasikan adanya kesamaan dengan sains sebagaimana disebutkan di atas.
Maka dalam pembahasan ini yang dimaksud science adalah sains/ilmu dimana keduanya tidak
dibedakan.
Secara operasional, sains adalah suatu usaha akal
manusia yang teratur dan tata-azas menuju penemuan keterangan tentang
pengetahuan yang benar.[13]
Menurut Endang saifudin Anshari, sains adalah pengetahuan yang diusahakan
secara sadar untuk mencapai sebuah kebenaran atau obyektifitas dengan jalan
tertentu yang disebut metode dan hasilnya disusun secara teratur atau
sistematis.[14] Berdasarkan kedua definisi
tersebut dapat diketahui perbedaan antara “pengetahuan”—yang diperoleh manusia
baik secara sengaja maupun tidak dan digunakan untuk kehidupan
sehari-hari—dengan “sains”—yang dilakukan sebagai usaha manusia secara sadar
dengan metode tertentu dan tidak
semata-mata bertujuan untuk kepentingan praktis, melainkan mengejar suatu
kebenaran (obyektifitas).
Perbedaan antara “pengetahuan” dan “sains” juga
terlihat dalam pembagian berikut;[15]
1). Pengetahuan indrawi atau pengetahuan biasa (pengetahuan) yakni pengetahuan
hasil tangkapan indra manusia dalam aktifitasnya sehari-hari, 2). Pengetahuan
ilmiah (sains atau ilmu) yakni pengetahuan yang diperoleh secara sistematis,
dan metodis, 3). Pengetahuan filsafat yakni pengetahuan yang diperoleh melalui
olah pikir, yang mencoba menjawab persoalan hakekat, 4). Pengetahuan teologis
yakni pengetahuan agama yang diperoleh melalui doktrin atau wahyu.
Pembahasan selanjutnya akan diarahkan untuk mengkaji
pengetahuan ilmiah atau ilmu yang biasa disebut sains.
2. Science
dalam Perspektif
Menurut John Ziman,[16]
hakekat sains pada dasarnya telah menjadi bagian utama dari alam pikiran
manusia, sehingga persoalan sains sebenarnya adalah persoalan kehidupan manusia
itu sendiri. Lebih lanjut Ziman menjelaskan bahwa sains memberikan pemahaman
yang jelas dan melihat segala sesuatu secara jeli,bersifat tepat, metodis,
akademis, logis, dan praktis.
Akan tetapi pertanyaan yang kemudian mengemuka
adalah apakah ciri khusus dari sains? Dan apakah kriteria yang dapat digunakan
untuk menarik garis batas antara sains dan yang bukan sains (pengetahuan
lainnya)? Pertanyaan tersebut telah lama diperdebatkan dan pencarian kriteria
antara sains dan yang bukan sains masih terus bergulir dan masih menjadi
pembahasan dalam kajian filsafat ilmu. [17]
Beberapa literaturpun ditulis untuk menjawab persoalan ini. Sehingga semua
jawaban dengan semua keragaman dan perbedaan nampaknya sulit untuk
diperhitungkan seluruhnya. Akan tetapi secara umum, beberapa penjelasan
berikut—paling tidak—mencerminkan dan
memberi gambaran akan realitas yang diperdebatkan.
Pertama, sains adalah penguasaan lingkungan hidup
manusia. Definisi ini menurut
Ziman,[18]
memiliki beberapa kekeliruan, karena menyamakan sains dengan hasilnya. Selain
itu, terdapat kerancuan antara sains dan teknologi. Dimana penekanannya pada
penerapan pengetahuan ilmiah dan tidak memberi petunjuk tentang prosedur
intelektual yang dipakai untuk dapat mencapai keberhasilan sains. Sehingga
terkesan mencampur-adukkan antara ide konseptual dengan benda atau sesuatu yang
material.
Sedangkan dalam perspektif eksistensial, berada sebagai manusia berarti memanusiakan
dunia. Proses humanisasi ini disebut “membudaya”,[19] yakni usaha manusia untuk memakhlukkan alam dengan
kebutuhan manusia. Dalam perspektif agama, definisi “penguasaan”
lingkungan hidup sangat destruksif. Karena sebagai makhluk yang membudaya, manusia berperan sebagai khalifah
sekaligus ‘abd. Sebagai khalifah, manusia
harus memakhlukkan alam
untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya.[20]
bukan menguasai alam dengan melakukan eksploitasi terhadap alam. Karena sebagai ‘abd, manusia membutuhkan alam
dan harus mentaati hukum-hukum alam dengan segala yang ada di dalamnya sesuai
arah dan kodrat alam.
Akan tetapi kecenderungan manusia lebih
tertarik sebagai khalifah yang berkuasa dari pada menjadi ‘abd. Interaksi antara manusia dan alam telah
menghasilkan sains dan teknologi. Akan tetapi pada saat yang
bersamaan menjadi sumber ancaman baru bagi manusia ketika digunakan untuk
tujuan-tujuan destruksif.
Dari sini manusia menjadi
makhluk dengan keunikan ironis, dimana musuh utamanya bukan lagi bencana alam atau
binatang buas di hutan—seperti musuh nenek moyang mereka dalam zaman “pra-peradaban”—melainkan hasil kemampuannya sendiri. Harmonisasi alam
dikacau-balaukan. Sehingga
kebudayaan yang dihasilkan bukan “natural culture” tatapi “unnatural culture”. Padahal segala usaha manusia harus sesuai
dengan orientasi yang hadir dalam alam. Sebagaimana kebijaksanaan dari Stoa: “ikutilah arah
kodrati alam”,[21] dan menurut Roger Bacon “kita tidak dapat
memerintah alam, tetapi menaatinya”.[22]
Kedua, sains adalah kajian tentang dunia material. Definisi ini memberikan batasan tegas antara ruang
lingkup kajian sains dengan agama, dimana sains membatasi diri pada kejadian
yang bersifat empiris.[23]
Obyek penelaahan sains meliputi seluruh
aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia. Berdasarkan obyek
kajian tersebut, maka sains dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris,
dimana obyek-obyek yang berada di luar jangkauan manusia tidak termasuk ke
dalam bidang penelaahan sains. Inilah yang merupakan salah satu ciri sains
yakni berorientasi kepada dunia empiris.
Ketiga, sains adalah metode eksperimental. Menurut AF. Chalmers, eksperimen adalah an
adequate basis for science.[24]
Eksperimen membedakan sains dari cara-cara yang lebih kuno dan spekulatif
dalam mendekati obyeknya, namun eksperimen tidak sepenuhnya merupakan ciri
metode ilmiah.[25] Meskipun demikian, tidak
semua pengetahuan dapat disebut sains, karena cara mendapatkan sains harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut dinamakan metode
ilmiah.[26]
Metode eksperimen ini pada dasarnya tidak bisa
dipisahkan dari obyek pembahasan sains yang bersifat empiris. Proses kegiatan
ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Dari hasil pengamatan tersebut
menimbulkan pertanyaan, dimana pertanyaan ini timbul disebabkan oleh adanya
kontak manusia dengan dunia empiris.[27]
Jadi, proses kegiatan berpikir ini dimulai karena ada masalah. Dan karena
masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berpikir tersebut diarahkan
pada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang ada dalam dunia empiris pula. Jadi
hanya obyek-obyek yang empirislah yang bisa dilakukan eksperimen.
Keempat, sains sampai pada kebenaran melalui
kesimpulan logis dari pengamatan empiris. Sains
menganggap obyek-obyek empiris yang menjadi bidang garapannya memiliki sifat
keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya memiliki keterkaitan secara
teratur. Semua peristiwa tersebut tidak terjadi secara kebetulan namun setiap
peristiwa memiliki pola yang tetap dan teratur.[28]
Penjelasan ini umumnya didasarkan pada asas induksi,[29]
dimana sesuatu yang kelihatannya telah terjadi beberapa kali hampir dipastikan
selalu terjadi dan dapat diperlakukan sebagai fakta dasar atau hukum yang
memungkinkan dibangunnya suatu struktur teori yang kuat. Dari sini bisa ditarik
sejumlah prosedur praktis, seperti menguji teori dengan “ramalan” mengenai
hasil-hasil pengamatan di masa yang akan datang dan peneguhannya kemudian.
Dengan demikian, sistematisasi rasa ingin tahu
manusia yang terjelma dalam berbagai pertanyaan dipikirkan secara
logis-induktif dan harus sesuai dengan fakta-fakta di lapangan. Kebenaran yang
mampu dicapai oleh sains bukanlah satu-satunya kebenaran karena sifat
kebenarannya adalah relatif. Selain sains, terdapat sumber kebenaran lainnya
seperti filsafat yang akan diuraikan dalam pembahasan berikut.
C. Filsafat: Sebuah
Definisi Filosofis
Filsafat
tidaklah mudah untuk didefinisikan. Menurut M. Hatta, pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih
dahulu, karena setelah membaca dan mempelajari lebih lanjut, filsafat akan dapat
dimengerti dengan sendirinya.[30]
Makna filsafat tidak akan
menjadi jelas melalui
uraian-uraian yang diberikan dalam suatu pengantar. Pengertian filsafat baru
dapat dimengerti setelah studi lebih lanjut.
Sehingga
yang dapat dilakukan dan itu dicoba dalam tulisan ini—adalah memperkenalkan
filsafat sebagai bagian dari usaha manusia untuk memahami dunia.
Membicarakan
filsafat, dapat dilihat dari tiga segi; Pertama, secara praktis. Filsafat berarti berpikir atau alam pikiran. Akan tetapi tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Karena
berfilsafat berarti berpikir
secara mendalam dan sungguh-sungguh tentang hakekat segala sesuatu.[31]
Sehingga, meskipun semua manusia berpikir tetapi tidak semua manusia secara otomatis adalah seorang
filosof.
Kedua,
secara
semantik. Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia (dari kata philein yang artinya
mencintai, atau philia yang berarti cinta; dan sophia yang
berarti kearifan atau kebijaksanaan).
Jadi philosophia berarti mencintai kebijaksanaan.[32] Akan tetapi arti tersebut belum menampakkan hakekat
filsafat yang sebenarnya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Poedjawijatna bahwa philia yang berarti cinta bermakna ingin, dan oleh karena itu
berusaha ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkannya; sedangkan sophia yang
berarti kebijaksanaan mempunyai arti mengerti secara menyeluruh dan mendalam.[33]
Dengan demikian orang yang mencintai kebijaksanaan akan berusaha secara aktif
untuk mendapatkannya (kebijaksanaan). Berdasarkan definisi tersebut maka filsafat ialah keinginan mendalam untuk mendapatkan
kebijaksanaan atau untuk menjadi bijaksana. Dan seorang filosof adalah orang
yang sedang berusaha mendapatkan kebijaksanaan.
Ketiga,
secara terminologis. Terdapat keragaman
definisi filsafat yang diberikan oleh para ahli dalam beberapa literatur dengan berbagai sudut pandang masing-masing. Sehingga semua keragaman dan perbedaan
nampaknya sulit untuk diperhitungkan seluruhnya. Akan tetapi secara umum,
beberapa definisi berikut dapat memberi gambaran tentang filsafat.
Menurut Franz
Magnis-Suseno, filsafat adalah kegiatan orang yang ber-theoria.[34]
Dengan merujuk pada pemikiran Plato dan Aristoteles, Magnis menjelaskan bahwa theoria
bukan berarti pandangan teoritis terhadap suatu masalah. Theoria bagi
orang Yunani adalah “memandang”, merenungkan realitas abadi, realitas yang tak
berubah yakni realitas Ilahi. Dalam theoria,manusia mengarahkan diri
kepada realitas yang abadi—realitas yang mengatasinya sehingga memperoleh sophia
(kebijaksanaan). Jadi manusia yang ber-theoria disebut seorang philo-sophos
(seorang pecinta kebijaksanaan), seorang filosof. Jadi filsafat adalah kegiatan
memandang penuh kagum hal-hal yang abadi-Ilahi.
Dalam
pandangan A. Setyo Wibowo,[35] philosophia
adalah sebuah kebaikan yang datang
dari para dewa. Ketika manusia memikirkan dirinya sebagai makhluk mortal (bisa
mati seperti binatang dan tumbuhan), maka manusia menemukan diri dalam hasrat
keilahian, menikmati keabadian dan immortalitas penuh bahagia yang menjadi
kodrat keilahian. Dalam artian ini, menjadi filosof tidak berarti memiliki sophia
(kebijaksanaan), melainkan bergerak dalam situasi tidak tahu (ignorantia)
menuju situasi menjadi tahu. Sehingga secara definitif, filosof adalah orang
yang tahu bahwa ia sedang mencari tahu.
Filsafat merupakan hasil “menjadi”—sadarnya manusia mengenai
dirinya sendiri sebagai pemikir, dan “menjadi”—kritisnya manusia terhadap diri
sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya.[36] Konsekwensinya, perbincangan filsafat tidak
hanya seputar dunia saja, melainkan kegiatan berpikir itu sendiri. Karena itu
filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal yang dipikirkan sekaligus
pemikiran itu sendiri yang dilakukan oleh pemikir. Melalui pemikiran tersebut
diharapkan sampai pada rahasia kehidupan.
Pemikiran
para filosof pada umumnya bersifat hipotesis, sebab apa yang dieksplorasi
adalah hal-hal yang terlampau dalam hingga tak mungkin dibuktikan, hanya
mungkin diargumentasikan. Oleh karena itu dikatakan oleh Louis O. Kattsoff [37] bahwa “filsafat tidak membuat roti”, tapi
menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah takaran
bumbunya, dan mengangkat roti dari tungku pada waktu yang tepat. Artinya,
tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin,
mengajukan kritik dan menilai pengetahuan tersebut, menemukan hakekatnya, dan
mengatur semua itu dalam bentuk yang sistematis.
Adapun
definisi yang menggambarkan tentang metode berpikir dalam filsafat, antara lain
berasal dari Fuad Hasan. Filsafat adalah ikhtiar manusia untuk memahami
berbagai manifestasi kenyataan melalui upaya berpikir sistematis (systema:
ketaraturan, tatanan, saling keterkaitan), kritis (kritikos: kemampuan
menilai; kritein: memilah-milah), dan radikal (radix: akar).[38]
Sedangkan menurut Endang Saefuddin Ansari, filsafat adalah hasil daya upaya
manusia dengan akal budinya untuk memahami
secara radikal dan integral serta sistematik hakekat Tuhan, manusia, dan
alam serta sikap manusia sebagai konsekwensi dari pemahamannya tersebut.[39]
Sementara Hasbullah Bakri mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki
segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh
yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya
setelah mencapai pengetahuan itu.[40]
Sebagai
sebuah ilmu, filsafat berbeda dengan sains. Jika sains membatasi obyek
kajiannya pada alam yang dapat diamati secara empiris dan eksperimental,
menyelidiki obyeknya dengan pertanyaan “bagaimana” dan “apa sebabnya”. Maka filsafat dengan petualangan
intelektual ingin mencari apa
hakekat yang sebenarnya dari sesuatu itu—bukan sebab dan akibatnya—menggunakan pertanyaan “apa itu”, “dari mana”,
dan “ke mana”. Hal ini juga berimplikasi pada
pencapaian kebenaran, dimana kebenaran sains bersifat positif, sedangkan
kebenaran filsafat bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara
empiris, riset, dan ekperimental). Jadi kebenaran yang mampu dicapai oleh sains
dan filsafat sama-sama bersifat relatif.
Dari
beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa obyek kajian filsafat terbagi
dua; yakni obyek materia dan obyek forma. Obyek materia filsafat (lapangan
pembahasan) adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, meliputi:
alam, manusia, dan Tuhan. Sedangkan obyek forma dalam filsafat (sudut pandang
atau pendekatan) adalah refleksi rasional,[41] kritis,[42]
bebas,[43]
radikal,[44]
dan holistik.[45]
Selain itu, dari definisi tersebut juga menunjukkan perbedaan antara sains
dengan filsafat baik secara ontologi, epistemologi, maupun aksiologinya.
Dengan
demikian kajian pokok filsafat pada mulanya meliputi tiga segi yakni logika,
etika, dan estetika.[46]
Kemudian bertambah lagi metafisika dan politik. Kelima cabang ini berkembang
lagi dan mencakup antara lain: logika, etika, estetika, metafisika,
epistemologi (filsafat pengetahuan), dan filsafat-filsafat khusus (filsafat
agama, politik, pendidikan, hukum, sejarah, manusia, dan lain-lain. Pembahasan
selanjutnya akan diarahkan untuk mengkaji epistemologi (filsafat pengetahuan).
D. Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan
ilmiah).[47] Ilmu merupakan cabang
pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu
tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun karena
permasalan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi
menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial dan tidak
mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom.
Ruang lingkup filsafat ilmu sangat luas meliputi
hampir seluruh ilmu. Menurut para ahli, ruang lingkup filsafat ilmu bisa
dikategorikan menjadi empat:[48]
1). Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya, 2). Tentang
ada dan tidak ada, 3).Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, 3) Hakekat
manusia dan hubungannya dengan sesama makhluk lain, 4). Tuhan tidak
dikecualikan.
Meskipun demikian—jika dipetakan sebagaimana filsafat
pada umumnya—filsafat ilmu memiliki
dua obyek yakni obyek materia dan obyek forma. Obyek materia filsafat ilmu adalah fakta dan
kebenaran dalam semua disiplin ilmu. [49]
Dengan kata lain obyek materia filsafat ilmu adalah ilmu itu sendiri. Sedangkan
obyek forma (sudut pandang atau pendekatan)
dalam filsafat ilmu adalah hakekat ilmu
artinya menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu, seperti apa
hakekat ilmu, bagaimana cara mendapatkannya, dan nilai gunanya apa.
Persoalan pertama berkaitan dengan landasan ontologi,
yang kedua epistemologi, dan yang ketiga aksiologi. Semua
ilmu memiliki ketiga landasan ini, meskipun manifestasinya berbeda-beda sejauh
ketiga landasan tersebut dikembangkan dan dilaksanakan. Ketiga hal tersebut
akan diuraikan dalam pembahasan berikut.
1.
Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu ontos yang
berarti being, dan logos yang berarti ilmu. Jadi ontologi
adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan). Ontologi juga bisa disebut sebagai ilmu tentang “yang ada”.[50]
Yang dimaksud “ada” adalah dari dan akan ke mana ada itu. Secara terminologis, ontologi
ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate
reality. [51]
Ontologi merupakan
salah satu obyek kajian filsafat yang paling kuno, dimana peletak dasar
ontologi adalah Thales—seorang filosof
Yunani yang mempertanyakan tentang realitas yang ada (arche alam). Pada
masanya, orang belum membedakan apa yang nampak (appearance) dengan kenyataan
(reality). Akan tetapi Thales dengan kontemplasi yang dia lakukan sampai
pada sebuah kesimpulan tentang arche: sangkan paran alam semesta.
Adapun hal-hal yang
terkait dengan otologi adalah[52]
yang ada (being) yakni eksistensi ilmu; kenyataan/realitas (reality):
fenomena yang didukung oleh data yang mantap; eksistensi (exsistence):
keadaan fenomena yang sesungguhnya yang secara hakiki tampak dan tidak tampak ;
esensi (essence): pokok atau
dasar sebuah ilmu yang lekat dalam suatu ilmu; substansi (substance): membicarakan isi dan makna
suatu ilmu bagi kehidupan manusia; perubahan (change): ilmu mengalami
perubahan menuju kesempurnaan; tunggal (one) dan jamak (many): sebuah
kondisi fenomena ilmu yang terbagi menjadi dua hal itu.
Pembahasan dalam
ontologi umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika dengan mempertanyakan
tentang yang ada,[53]
tentang apakah hakekat kenyataan. Dengan bahasa yang sederhana bisa dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan ontologi adalah apa hakekat yang akan dikaji dalam
ilmu.
2.
Epistemologi
Kata epistemologi terdiri
dari dua kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan
logos yang berarti “studi
tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu epistemologi juga sering disebut
teori tentang pengetahuan (theory of knowledge)[54]
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang sumber pengetahuan
yakni batasan, dasar dan fondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas,
kebenaran ilmu, dan pengetahuan manusia. Dengan pengertian ini, epistemologi
tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan ”kebenaran” macam
apa yang dianggap harus diterima dan apa yang harus ditolak.
Pada dasarnya
epistemologi berkaitan dengan pertanyaan tentang pengetahuan, terutama
dilatarbelakangi oleh ketidakmungkinan manusia untuk mempunyai pengetahuan yang
benar. Sehingga epistemologi berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
filsafat tersebut tentang asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat dan bagaimana
memperoleh pengetahuan yang benar. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi penentu
penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan demikian epistemologi
ilmu meliputi sumber, sarana, dan tata cara untuk mendapatkan pengetahuan.
Adapun pertanyaan yang diajukan adalah “bagaimanakah cara memperoleh
pengetahuan?
Dan di dalam pembahasan
epistemolog inilah terjelma berbagai metode untuk memperoleh pengetahuan[55] di
antaranya adalah rasionalisme, empirisme, positivisme dan intuisionisme serta
masih banyak lagi aliran lain seperti kritisisme, idealisme, pragmatisme,
fenomenologi dan eksistensialisme, dan lain-lain.
Adapun persoalan utama
yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah
bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek
ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian halnya yang dihadapi
epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk
menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat
untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.
3.
Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani axios yang
berarti nilai, sesuai atau wajar, dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi
dipahami sebagai teori nilai.[56] Aksiologi
merupakan cabang filsafat yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan
ilmunya atau nilai guna suatu ilmu. Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values)
yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau
kenyataan.
Nilai sebuah ilmu tidak bisa dilepaskan dari kegunaannya. Aksiologi memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu dipergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut
dengan kaidah-kaidah nilai. Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma nilai.[57]
Aksiologi ini penting karena pada kenyataannya tidak semua orang yang
memiliki ilmu
tinggi berbanding
lurus dengan perilakunya yang baik. Justru yang seringkali
terjadi adalah sebaliknya. Kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu
dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini telah mampu
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Akan tetapi pada sisi lain, ilmu juga membawa malapetaka dan kesengsaraan.
Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya, ilmu sudah dikaitkan dengan
tjuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga
untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Bukan saja bermacam-macam
senjata pembunuh berhasil dikembangkan namun juga berbagai teknik penyiksaan
dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu sering melupakan
faktor kemanusiaan.[58]
Ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi, melainkan juga kemungkinan
mengubah hakekat kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, ilmu bukan lagi
sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan
tujuan hidup itu sendiri.
Sebenarnya nilai ilmu itu tidak ada yang sia-sia kalau dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya di jalan yang benar. Oleh karena itu, dalam kaca mata aksiologi,
ilmu tidak lagi bebas nilai. Artinya pada batas-batas tertentu, kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya
dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan memberi
kontribusi penting bagi kemanusiaan.
A. Penutup
Diskursus di atas bukan dimaksudkan untuk memberikan konsep
filsafat ilmu secara holistik, melainkan hanya sekedar memberikan sumbangan pemikiran untuk memahami
kerangka dasar filsafat ilmu. Dimana bagi dunia ilmu pengetahuan, filsafat—paling
tidak berguna untuk dapat bersikap kritis terhadap asumsi-asumsi dasar yang
biasanya digunakan tanpa dipertanyakan, juga waspada terhadap
konsekwensi-konsekwensi lebih jauh, lebih luas dan lebih abstrak dari temuan-temuan
ilmiah. Filsafat penting untuk menghindari bahaya kenaifan-empirik-teknis,
yaitu anggapan seakan-akan kehidupan manusia hanyalah soal data dan urusan
teknis.
Maka dengan selesainya pembahasan ini, bukan berarti
bahasan tentang permasalahan tersebut telah selesai dan sempurna, namun masih
banyak persoalan yang belum diuraikan dan masih membutuhkan studi analitik
lebih lanjut. Akhirnya kepada Allah
juga segalanya akan kembali.
Bibliografi
A.
Setyo Wibowo. 2010. Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius.
Adelbert Snijders. 2004. Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius.
AF.
Chalmers. 2011. What is this thing Called Science? New York: Open
University Press.
Andi
Hakim Nasution. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Jakarta: Litera Antar
Nusa.
Bambang
Sugiharto dalam Jostein Gaarder. 2013. “Filsafat dan Pengalaman” sebuah pengantar dalam Dunia Sophie.
Mizan: Bandung.
Endang
Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Franz
Magins-Suseno. 2009. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta:
Kanisius.
Fuad
Hasan.2001. Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Jaya.
Harun Hadiwijono. 1992. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta:
Kanisius.
Hasbullah Bakri. 1986. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya.
Howard
Sankey dalam Martin Curd and Stathis Psillos (Ed). “Scientific Method” dalam The
Routletge Companion to Philosophy of Science. London: Routledge.
http://kamusbahasaindonesia.org/pengetahuan#ixzz3CxhCmSDL. Diakses tanggal 10 September 2014.
http://kamusbahasaindonesia.org/sains#ixzz3CxhQbJk4. Diakses tanggal 10 September 2014.
http://kbbi.web.id.ilmu/. Diakses tanggal 10 september
2014.
John M.
Echols dan Hassan Shadily. 1996. Kamus
Inggris-Indonesia. Diterjemahkan dari “An English-Indonesian Dictionary”.
Jakarta: PT. Gramedia.
John Ziman dalam CA.Qadir (Ed). “Hakekat Ilmu
Pengetahuan” terjemahan dari What is Science? Oleh Bosco Carvalo, dkk.
Dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan obor
Indonesia.
Jujun
S. Suriasumantri (Ed). 1999 . “Tentang Hakekat Ilmu” dalam Ilmu dalam
Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jujun
S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Sinar Harapan.
Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dari “Elements of Philosophy”.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
M. Hatta. 1986. Alam
Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press.
Muhyar
Fanani. 2009. Ilmu Ushul Fiqh di Mata Filsafat Ilmu. Semarang: Walisongo
Press.
Musa
Asy’arie. 1999. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta:
LESFI.
Noeng
Muhadjir. 1998. Filsafat Ilmu Telaah
Sistematis, Fungsional Komparatis. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Poedjawijatna.
1990. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Susanne
K. Langer. 1954. Philosopy in New Key a Study in
the Symbolism of Reason Rite of Art. New York: The New American.
Suwardi
Endraswara.2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: CAPS.
MAKALAH
KNOWLEDGE, SCIENCE, DAN FILSAFAT:
SEBUAH KERANGKA UNTUK MEMAHAMI FILSAFAT
ILMU
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Ilmu
Dipresentasikan tanggal 12 September 2014
Pembimbing: Prof. Dr. A. Ghazali Munir, M.A
TRI ASTUTIK HARYATI
PUSAT PENELITIAN
DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (P3M)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2011
[1] Hakekat animal mendasari
kemampuan-kemampuan pengindraan dan gerakan, sedangkan rationale
mendasari kemampuan-kemampuan akal dan kehendak. Lihat Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar
Filsafat. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono
dari “Elements
of Philosophy”. Yogyakarta: Tiara Wacana. h. 407.
[2] Susanne K. Langer. 1954. Philosopy
in New Key a Study in the Symbolism of
Reason Rite of Art. New York: The New American. h. 21.
[4] John M. Echols dan Hassan
Shadily. 1996. Kamus
Inggris-Indonesia. Diterjemahkan dari “An English-Indonesian Dictionary”.
Jakarta: PT. Gramedia. h.344 dan h. 504.
[5] Dalam hal ini terdapat dua alternatif: 1). Meskipun secara umum kedua
istilah tersebut digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia, namun mempunyai
beberapa kelemahan. Pertama, knowledge merupakan terminologi generik dan science
adalah anggota (species) dari kelompok (genus). Nampaknya hal itu
kurang tepat jika pengetahuan merupakan terminologi generik dan ilmu
pengetahuan merupakan anggota yang termasuk ke dalamnya.Kedua, kata sifat dari science
yakni scientific, yang secara konsekuen dipergunakan untuk ilmu
adalah pengetahuan ilmiah atau ke-ilmu-pengetahuan-an? Dua terminologi ini
nampaknya perlu dipertanyakan penggunaannya. Pengetahuan ilmiah bisa diartikan scientific
knowledge yang dalam bahasa Inggris
merupakan sinonim science; sedangkan ke-ilmu-pengetahuan-an rasanya
terlampau dibuat-buat. Ketiga, penggunaan terminologi science tidak konsisten,
dimana biologi disebut ilmu hayat sedangkan fisika adalah ilmu pengetahuan
alam. 2). Didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah
dua kata benda yakni ilmu dan pengetahuan. Rangkaian dua kata semacam ini
adalah sesuatu yang wajar penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Dengan
demikian, kita tinggal menetapkan mana yang sinonim dengan science dan
mana yang sinonim dengan knowlwdge. Dan yang lebih tepat tentunya adalah
penggunaan kata pengetahuan untuk knowledge dan ilmu untuk science. Dengan
demikian maka social sciences diterjemahkan dengan ilmu-ilmu sosial dan natural
sciences dengan ilmu-ilmu alam. Kedua ilmu ini termasuk humaniora (seni,
filsafat, bahasa, dan sebagainya) termasuk ke dalam pengetahuan yang merupakan
terminologi generik. Kata sifat dari ilmu adalah ilmiah atau keilmuan. Metode
yang dipergunakan dalam kegiatan ilmiah (keilmuan) adalah metode ilmiah
(keilmuan). Ahli dalam bidang keilmuan adalah ilmuwan. Lihat Jujun S.
Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Sinar Harapan. h. 294-295.
[6]
http://kamusbahasaindonesia.org/pengetahuan#ixzz3CxhCmSDL. Diakses tanggal 10 September 2014. Lihat juga http://www.kamusbesar.com/39062/pengetahuan Diakses
tanggal 10 September 2014.
[7]
http://kamusbahasaindonesia.org/sains#ixzz3CxhQbJk4. Diakses tanggal 10 September 2014. Lihat juga http://www.kamusbesar.com/34031/sains. Diakses tanggal 10 September 2014.
[8] Suwardi Endraswara.2012. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: CAPS. h.1-2. Lihat juga Endang Saefuddin Anshari.
1992. Ilmu Filsafat dan. h. 100.
[10] Science (bahasa Inggris dan Perancis), Wissenschaft (bahasa
Jerman), Wetenschap (bahasa Belanda).
[11] Pengetahuan pada
hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang suatu obyek tertentu,
termasuk ke dalamnya ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang
diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni,
agama, ekonomi, biologi, dan lain-lain. Jujun S. Suriasumantri. 1990. Filsafat
Ilmu. h. 104 dan 293.
[14] Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu Filsafat
dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. h. 45. Lihat juga Poedjawijatna. 1990. Pembimbing. h. 5.
[15] Suwardi Endraswara.2012. Filsafat
Ilmu h.1-2. Lihat juga Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu Filsafat
dan. h. 45-46.
[16] John Ziman dalam CA.Qadir
(Ed). “Hakekat Ilmu Pengetahuan” terjemahan dari What is Science? Oleh
Bosco Carvalo, dkk. Dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta:
Yayasan obor Indonesia. h. 8.
[17] Untuk menentukan kriteria
tersebut, para filosof mengembangkan beberapa metode yang disebut scientific
method. Lihat Howard Sankey dalam Martin Curd and Stathis Psillos (Ed).
“Scientific Method” dalam The Routletge Companion to Philosophy of Science. London:
Routledge. h. 280.
[19] Hubungan antara manusia dan dunia
secara khusus dinyatakan dalam kebudayaan. Kata “culture/cultura” secara
etimologis berasal dari kata “colere” yang berarti mengolah, mengerjakan, dan memelihara.Adelbert Snijders. 2004. Antropologi
Filsafat Manusia Paradoks dan
Seruan. Yogyakarta: Kanisius. h.
55-57.
[20] Q.S. Hud: 61.
[21] Harun Hadiwijono. 1992. Sari Sejarah
Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius. h. 58.
[22] Adelbert Snijders. 2004. Antropologi
Filsafat. h. 59.
[23] Jujun S. Suriasumantri
(Ed). 1999 . “Tentang Hakekat Ilmu” dalam Ilmu dalam Perspektif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.h.6.
[26] Metode merupakan prosedur
atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis.
Sedangkan metodologi merupakan pembahasan yang mengkaji peraturan-peraturan dan
metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah
merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode
ilmiah. Metodologi ini secara filsafati merupakan pembahasan dalam epistemologi
yang meliputi: 1). Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakekat, jangkauan, dan
ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untk ditangkap oleh
manusia? Lihat Jujun S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h.119.
[29] John Ziman dalam CA.Qadir
(Ed). “Hakekat Ilmu Pengetahuan” terjemahan dari What is Science? Oleh
Bosco Carvalo, dkk. Dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta:
Yayasan obor Indonesia. h. 12.
[30] M. Hatta. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta : UI Press. h. 3.
[32] Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya : Bina Ilmu. h.
79.
[33] Poedjawijatna. 1990. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta : Rineka Cipta. h.
1
[34] Franz Magins-Suseno.
2009. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius.
h.26.
[39] Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu.
h. 85.
[40] Hasbullah Bakri. 1986. Sistematika.
h. 12.
[41] Refleksi
memiliki dua makna yakni pantulan dan perenungan. Di dalam filsafat yang
dimaksud refleksi adalah perenungan mendalam tentang segala hal yang mendasar
dalam kehidupan. Perenungan tersebut bersifat mendasar dan spekulatif, maka
ketika berada dalam alam filosofis membuat kita terus menerus mencari dan tak
akan pernah final. Tentang suatu masalah asasi yang sama terdapat berbagai
jawaban filsafat dari para filosof yang berbeda-beda, sesuai dan sejalan dengan
titik tolaknya masing-masing. Refleksifitas yang terjadi bersifat self-cancelling (membatalkan pernyataan)
yang pernah dibuat filosof sebelumnya. Masing-masing memiliki ketajaman dan
kecerdasan yang mengalir wajar hingga gagasan-gagasan yang rumit dan mendalam
terasa masuk akal. Pemikiran filsafat berdasarkan argumentasi rasional. Jadi
ukuran kebenaran terletak pada argumentasinya yang lebih mendalam jika
dibandingkan dengan argumentasi lain atau lebih mampu memberikan penjelasan
tentang kompleksitas suatu permasalahan dari pada yang lainnya yakni memiliki
daya penjelasan (explanatory power)
lebih besar. Bambang Sugiharto dalam Jostein Gaarder. 2013. “Filsafat dan
Pengalaman” sebuah pengantar dalam Dunia
Sophie. Mizan: Bandung. h. 18.
[42] Pemikiran
filsafat juga bersifat kritis yakni selalu bertanya, terus bertanya, dan tidak
berhenti bertanya. Pemikiran kritis sebenarnya adalah naluri alamiah yang dimiliki
oleh manusia. Seperti yang
direpresentasikan oleh anak-anak ketika mengajukan berbagai pertanyaan yang mendasar
tentang segala sesuatu dan seringkali sangat sulit untuk dicarikan jawabannya.
Karena sesungguhnya, kodrat alami manusia adalah terus bertanya tanpa bisa
dibatasi. Sebuah indikasi bahwa daya nalar manusia mulai terbuka, mulai
difungsikan, dan menimbulkan rangkaian pertanyaan yang tak terbendung dan tak
berkesudahan.
[43] Sifat pemikiran
filsafat sangat bebas (free thinking) dengan merentangkan pikiran
sejauh-jauhnya dengan tiada dibatasi kelanjutannya karena tidak ada yang menghalangi pikiran bekerja. Bebas juga berarti dapat
memilih obyek apa saja untuk dipikirkan. Kalaupun ada
batasan, maka batasan tersebut bersifat internal yakni pemilihan obyek
berpikirnya. Musa Asy’arie. 1999. Filsafat Islam
Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI. h. 2.
[44] Radix berasal dari bahasa Latin yang
berarti akar, sehingga
berpikir radikal berarti sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke dasar persoalan, bahkan melewati batas-batas fisik yang ada,
memasuki medan pengembaraan di luar sesuatu yang fisik atau biasa diistilahkan hakekat atau metafisika. Hakekat atau metafisika adalah
sebuah kemampuan berpikir secara abstrak untuk menemukan noumena dibalik
fenomena, menemukan inti persolan yang menjadi hal pokok dan penting sehingga
memberi makna terhadap kehidupan manusia. Dan hal ini berbeda dengan apa yang
nampak (appearance)—yang hanya
merupakan representasi dari hakekat yang sebenarnya/kenyataan (reality).Musa Asy’arie. 1999. Filsafat Islam. h.3.
[45] Seseorang yang
berfilsafat dapat diibaratkan seperti orang yang ingin mengetahui hakekat
dirinya dalam kesemestaan galaksi, ia berpijak di bumi dan menengadahkan ke
langit menatap bintang-bintang. Dia ingin memahami kehadirannya dengan
kesemestaan yang ditatapnya. Pandangannya mengarah pada berbagai segi, dan
inilah salah satu karakteristik berpikir filsafat—yakni “menyeluruh atau
holistik”. Jujun. S.Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h.20.
[46] Jujun.S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h. 32. Lihat juga Hasbullah
Bakri. 1986. Sistematika. h. 14-17. Lihat juga Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar
Filsafat. h. 71.
[49] Noeng Muhadjir. 1998. Filsafat
Ilmu Telaah Sistematis, Fungsional Komparatis. Yogyakarta: Rake Sarasin.h.
9-10.
[50] Noeng Muhadjir.
1998. Filsafat Ilmu Telaah
Sistematis, Fungsional Komparatis. Yogyakarta: Rake Sarasin.h. 47.
[52] Louis
O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. h.194. Lihat juga Suwardi Endraswara. 2012. Filsafat Ilmu. h.104.
No comments:
Post a Comment