Wednesday 25 February 2015

KNOWLEDGE, SCIENCE, DAN FILSAFAT: SEBUAH KERANGKA UNTUK MEMAHAMI FILSAFAT ILMU


Oleh: Tri Astutik Haryati

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk memahami tiga konsep dasar yang menjadi fokus pembahasan yakni knowledge, science, dan filsafat melalui pendekatan filosofis. Pendekatan tersebut berasumsi melihat pondasi yang memungkinkan pembangunan argumentasi teoritis tentang hakekat knowledge, science, dan filsafat untuk memahami konsep dasar Filsafat Ilmu. Filsafat Ilmu yang dimaksudkan tentunya telah diformulasikan secara kontekstual-humanis-sosiologis yang bersifat social salvation. Sehingga bisa memberikan kontribusi signifikan bagi umat manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, Filsafat Ilmu secara dinamis akan senantiasa sejalan dengan misi utama agama Islam yaitu rahmatan lil ’ālamīn.

Kata kunci: Knowledge, science, filsafat, kontemplasi, spekulatif, radikal, saintifik, ilmiah.
A.  Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang berpikir—Aristoteles  menyebutnya animal rationale (binatang yang rasional)[1]. Berpikir pada dasarnya adalah sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan gerak pemikiran dengan mempergunakan simbol yang merupakan abstraksi dari berbagai gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Susanne K. Langer,[2] manusia terlibat di dalam suatu jalinan simbol-simbol yang merupakan metode untuk mencapai penyesuaian diri yang memadai terhadap alam sekitar. Proses simbolisasi pada diri manusia tersebut, menurut Ernst Cassirer menyebabkan manusia  lebih tepat disebut animal symbolicum sekaligus animal rationale.[3]
Proses berpikir manusia diawali oleh rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang menggejala di hadapannya dan menimbulkan kesangsian, keheranan atau kekaguman. Semakin banyak yang diketahui manusia, semakin banyak pertanyaan timbul. Proses pemenuhan rasa ingin tahu tersebut berlangsung secara simultan dan dialektis hingga membuahkan pengetahuan, yang pada dasarnya terbagi dalam tiga persoalan utama: Apakah yang ingin diketahui? Bagaimanakah cara mendapatkan pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi manusia?
Meskipun pertanyaan-pertanyaan tersebut terlihat sangat sederhana, akan tetapi persoalan yang hendak dipikirkan mencakup persoalan yang sangat asasi. Serangkaian jawaban yang diberikan atas ketiga pertanyaan tersebut dalam sejarah peradaban manusia telah menghasilkan beragam ilmu pengetahuan hingga mampu menempatkan manusia dalam posisinya yang eksistensial dalam mengawal peradaban.
Makalah ini—dengan segala keterbatasannya—berusaha untuk meletakkan ilmu pengetahuan dalam perspektif filosofis, serta memposisikan berbagai aspek keilmuan dalam keterkaitan jalinan dengan fungsinya masing-masing. Sehingga pembahasan pertama akan diarahkan untuk mengkaji hakekat dan ruang lingkup knowledge, science, dan filsafat. Selain itu, akan dibahas permasalahan utama yang masih terus bergulir dalam filsafat ilmu yakni pencarian kriteria yang dapat membedakan antara science dan yang bukan science. Dengan demikian diharapkan kerangka dasar untuk memahami filsafat ilmu akan dapat ditemukan.
B.  Knowledge dan Science
1.      Penjernihan Istilah Knowledge dan Science
Untuk menghindari kerancuan semantik, maka sebelum pembahasan lebih lanjut perlu dijelaskan sinonim yang tepat untuk istilah  knowledge dan science dalam kosa kata bahasa Indonesia. Dalam kamus Inggris-Indonesia,[4] knowledge diartikan dengan pengetahuan; sedangkan science diartikan ilmu pengetahuan.[5] Adapun makna yang terkandung dalam kedua istilah tersebut juga terdapat perbedaan. Dalam KBBI knowledge (pengetahuan)[6] memiliki dua arti 1). Segala sesuatu yang diketahui; 2) Segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan suatu hal. Sedangkan science (sains)[7] memiliki tiga arti: 1). Ilmu pengetahuan pada umumnya;  2). pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam; (3) pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu.  
Pada dasarnya, pengetahuan menurut Suwardi[8]  merupakan sesuatu yang diketahui langsung dari pengalaman, berdasarkan panca indra dan diolah oleh akal secara spontan. Pengetahuan indrawi yang spontanitas dan subyektif tersebut belum menggunakan metode yang jelas. Pengetahuan yang didapat berkaitan dengan kebenaran yakni kesesuaian antara yang diketaui dengan obyeknya meskipun belum teruji secara metodologis sehingga masih bercampur dengan insting. 
Penjelasan yang sama juga diberikan oleh Poedjawijatna[9] bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman yakni persentuhan dengan indra baik secara sengaja ataupun tidak, dan meliputi pengalaman individu maupun pengalaman orang lain. Pengalaman tersebut umumnya tidak dirumuskan dalam sebuah bahasa yang tepat, akan tetapi diakui kebenarannya, berlaku umum, tetap, pasti dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman inilah yang disebut pengetahuan.
Akan tetapi, pengetahuan  seperti ini belum bisa dikategorikan sebagai ilmu (science) karena tidak dilanjutkan dengan mencari keterangan lebih jauh tentang mengapa hal itu terjadi. Disinilah perbedaan antara knowledge dan science bermula. 
Secara etimologis, kata “science”[10] berasal dari bahasa Latin scientia yang berarti tahu, yang memiliki kesamaan arti dengan bahasa Arab ‘alima. Jadi antara ilmu dan science secara etimologis berarti pengetahuan (dalam arti generik).[11]  Adapun ilmu, dalam KBBI diartikan pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara tersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.[12] Pengertian ilmu tersebut mengindikasikan adanya kesamaan dengan sains sebagaimana disebutkan di atas. Maka dalam pembahasan ini yang dimaksud science  adalah sains/ilmu dimana keduanya tidak dibedakan.
Secara operasional, sains adalah suatu usaha akal manusia yang teratur dan tata-azas menuju penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar.[13] Menurut Endang saifudin Anshari, sains adalah pengetahuan yang diusahakan secara sadar untuk mencapai sebuah kebenaran atau obyektifitas dengan jalan tertentu yang disebut metode dan hasilnya disusun secara teratur atau sistematis.[14] Berdasarkan kedua definisi tersebut dapat diketahui perbedaan antara “pengetahuan”—yang diperoleh manusia baik secara sengaja maupun tidak dan digunakan untuk kehidupan sehari-hari—dengan “sains”—yang dilakukan sebagai usaha manusia secara sadar dengan metode tertentu  dan tidak semata-mata bertujuan untuk kepentingan praktis, melainkan mengejar suatu kebenaran (obyektifitas).
Perbedaan antara “pengetahuan” dan “sains” juga terlihat dalam pembagian berikut;[15] 1). Pengetahuan indrawi atau pengetahuan biasa (pengetahuan) yakni pengetahuan hasil tangkapan indra manusia dalam aktifitasnya sehari-hari, 2). Pengetahuan ilmiah (sains atau ilmu) yakni pengetahuan yang diperoleh secara sistematis, dan metodis, 3). Pengetahuan filsafat yakni pengetahuan yang diperoleh melalui olah pikir, yang mencoba menjawab persoalan hakekat, 4). Pengetahuan teologis yakni pengetahuan agama yang diperoleh melalui doktrin atau wahyu.
Pembahasan selanjutnya akan diarahkan untuk mengkaji pengetahuan ilmiah atau ilmu yang biasa disebut sains.
2.      Science dalam Perspektif
Menurut John Ziman,[16] hakekat sains pada dasarnya telah menjadi bagian utama dari alam pikiran manusia, sehingga persoalan sains sebenarnya adalah persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Lebih lanjut Ziman menjelaskan bahwa sains memberikan pemahaman yang jelas dan melihat segala sesuatu secara jeli,bersifat tepat, metodis, akademis, logis, dan praktis.
Akan tetapi pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah apakah ciri khusus dari sains? Dan apakah kriteria yang dapat digunakan untuk menarik garis batas antara sains dan yang bukan sains (pengetahuan lainnya)? Pertanyaan tersebut telah lama diperdebatkan dan pencarian kriteria antara sains dan yang bukan sains masih terus bergulir dan masih menjadi pembahasan dalam kajian filsafat ilmu. [17] Beberapa literaturpun ditulis untuk menjawab persoalan ini. Sehingga semua jawaban dengan semua keragaman dan perbedaan nampaknya sulit untuk diperhitungkan seluruhnya. Akan tetapi secara umum, beberapa penjelasan berikut—paling  tidak—mencerminkan dan memberi gambaran akan realitas yang diperdebatkan.
Pertama, sains adalah penguasaan lingkungan hidup manusia. Definisi ini menurut Ziman,[18] memiliki beberapa kekeliruan, karena menyamakan sains dengan hasilnya. Selain itu, terdapat kerancuan antara sains dan teknologi. Dimana penekanannya pada penerapan pengetahuan ilmiah dan tidak memberi petunjuk tentang prosedur intelektual yang dipakai untuk dapat mencapai keberhasilan sains. Sehingga terkesan mencampur-adukkan antara ide konseptual dengan benda atau sesuatu yang material.
Sedangkan dalam perspektif eksistensial, berada sebagai manusia berarti memanusiakan dunia. Proses humanisasi ini disebut membudaya”,[19] yakni usaha manusia untuk memakhlukkan alam dengan kebutuhan manusia. Dalam perspektif agama, definisi “penguasaan” lingkungan hidup sangat destruksif. Karena sebagai makhluk yang membudaya, manusia berperan sebagai khalifah sekaligus ‘abd. Sebagai khalifah, manusia harus memakhlukkan alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya.[20] bukan menguasai alam dengan melakukan eksploitasi terhadap alam. Karena sebagai ‘abd, manusia membutuhkan alam dan harus mentaati hukum-hukum alam dengan segala yang ada di dalamnya sesuai arah dan kodrat alam.
Akan tetapi kecenderungan manusia lebih tertarik sebagai khalifah yang berkuasa dari pada menjadi ‘abd. Interaksi antara manusia dan alam telah menghasilkan sains dan teknologi. Akan tetapi pada saat yang bersamaan menjadi sumber ancaman baru bagi manusia ketika digunakan untuk tujuan-tujuan destruksif. Dari sini manusia menjadi makhluk dengan keunikan ironis, dimana musuh utamanya bukan lagi bencana alam atau binatang buas di hutan—seperti musuh nenek moyang mereka dalam zaman pra-peradaban”—melainkan hasil kemampuannya sendiri. Harmonisasi alam dikacau-balaukan. Sehingga kebudayaan yang dihasilkan bukan natural culture tatapi unnatural culture. Padahal segala usaha manusia harus sesuai dengan orientasi yang hadir dalam alam. Sebagaimana  kebijaksanaan dari Stoa: “ikutilah arah kodrati alam”,[21] dan menurut Roger Bacon “kita tidak dapat memerintah alam, tetapi menaatinya”.[22]
Kedua, sains adalah kajian tentang dunia material. Definisi ini memberikan batasan tegas antara ruang lingkup kajian sains dengan agama, dimana sains membatasi diri pada kejadian yang bersifat empiris.[23]  Obyek penelaahan sains meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia. Berdasarkan obyek kajian tersebut, maka sains dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, dimana obyek-obyek yang berada di luar jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam bidang penelaahan sains. Inilah yang merupakan salah satu ciri sains yakni berorientasi kepada dunia empiris.
Ketiga, sains adalah metode eksperimental. Menurut AF. Chalmers, eksperimen adalah an adequate basis for science.[24] Eksperimen membedakan sains dari cara-cara yang lebih kuno dan spekulatif dalam mendekati obyeknya, namun eksperimen tidak sepenuhnya merupakan ciri metode ilmiah.[25] Meskipun demikian, tidak semua pengetahuan dapat disebut sains, karena cara mendapatkan sains harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut dinamakan metode ilmiah.[26]
Metode eksperimen ini pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari obyek pembahasan sains yang bersifat empiris. Proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Dari hasil pengamatan tersebut menimbulkan pertanyaan, dimana pertanyaan ini timbul disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris.[27] Jadi, proses kegiatan berpikir ini dimulai karena ada masalah. Dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang ada dalam dunia empiris pula. Jadi hanya obyek-obyek yang empirislah yang bisa dilakukan eksperimen.
Keempat, sains sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris. Sains menganggap obyek-obyek empiris yang menjadi bidang garapannya memiliki sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya memiliki keterkaitan secara teratur. Semua peristiwa tersebut tidak terjadi secara kebetulan namun setiap peristiwa memiliki pola yang tetap dan teratur.[28] Penjelasan ini umumnya didasarkan pada asas induksi,[29] dimana sesuatu yang kelihatannya telah terjadi beberapa kali hampir dipastikan selalu terjadi dan dapat diperlakukan sebagai fakta dasar atau hukum yang memungkinkan dibangunnya suatu struktur teori yang kuat. Dari sini bisa ditarik sejumlah prosedur praktis, seperti menguji teori dengan “ramalan” mengenai hasil-hasil pengamatan di masa yang akan datang dan peneguhannya kemudian.
Dengan demikian, sistematisasi rasa ingin tahu manusia yang terjelma dalam berbagai pertanyaan dipikirkan secara logis-induktif dan harus sesuai dengan fakta-fakta di lapangan. Kebenaran yang mampu dicapai oleh sains bukanlah satu-satunya kebenaran karena sifat kebenarannya adalah relatif. Selain sains, terdapat sumber kebenaran lainnya seperti filsafat yang akan diuraikan dalam pembahasan berikut.
C.    Filsafat: Sebuah Definisi Filosofis
Filsafat tidaklah mudah untuk didefinisikan. Menurut M. Hatta, pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dahulu, karena setelah membaca dan mempelajari lebih lanjut, filsafat akan dapat dimengerti dengan sendirinya.[30] Makna filsafat tidak akan menjadi jelas melalui uraian-uraian yang diberikan dalam suatu pengantar. Pengertian filsafat baru dapat dimengerti setelah studi lebih lanjut. Sehingga yang dapat dilakukan dan itu dicoba dalam tulisan ini—adalah memperkenalkan filsafat sebagai bagian dari usaha manusia untuk memahami dunia.
Membicarakan filsafat, dapat dilihat dari tiga segi; Pertama,  secara praktis. Filsafat berarti berpikir atau alam pikiran. Akan tetapi tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Karena berfilsafat berarti berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh tentang hakekat segala sesuatu.[31] Sehingga, meskipun semua manusia berpikir tetapi tidak semua manusia secara otomatis adalah seorang filosof.
Kedua, secara semantik. Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia (dari kata philein yang artinya mencintai, atau philia yang berarti cinta; dan sophia yang berarti kearifan atau kebijaksanaan).  Jadi philosophia berarti mencintai kebijaksanaan.[32] Akan tetapi arti tersebut belum menampakkan hakekat filsafat yang sebenarnya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Poedjawijatna bahwa philia yang berarti cinta bermakna ingin, dan oleh karena itu berusaha ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkannya; sedangkan sophia yang berarti kebijaksanaan mempunyai arti mengerti secara menyeluruh dan mendalam.[33] Dengan demikian orang yang mencintai kebijaksanaan akan berusaha secara aktif untuk mendapatkannya (kebijaksanaan). Berdasarkan definisi tersebut maka filsafat ialah keinginan mendalam untuk mendapatkan kebijaksanaan atau untuk menjadi bijaksana. Dan seorang filosof adalah orang yang sedang berusaha mendapatkan kebijaksanaan.
Ketiga, secara terminologis.  Terdapat keragaman definisi filsafat yang diberikan oleh para ahli dalam beberapa literatur dengan berbagai sudut pandang masing-masing. Sehingga semua keragaman dan perbedaan nampaknya sulit untuk diperhitungkan seluruhnya. Akan tetapi secara umum, beberapa definisi berikut dapat memberi gambaran tentang filsafat.
 Menurut Franz Magnis-Suseno, filsafat adalah kegiatan orang yang ber-theoria.[34] Dengan merujuk pada pemikiran Plato dan Aristoteles, Magnis menjelaskan bahwa theoria bukan berarti pandangan teoritis terhadap suatu masalah. Theoria bagi orang Yunani adalah “memandang”, merenungkan realitas abadi, realitas yang tak berubah yakni realitas Ilahi. Dalam theoria,manusia mengarahkan diri kepada realitas yang abadi—realitas yang mengatasinya sehingga memperoleh sophia (kebijaksanaan). Jadi manusia yang ber-theoria disebut seorang philo-sophos (seorang pecinta kebijaksanaan), seorang filosof. Jadi filsafat adalah kegiatan memandang penuh kagum hal-hal yang abadi-Ilahi.
Dalam pandangan A. Setyo Wibowo,[35] philosophia  adalah sebuah kebaikan yang datang dari para dewa. Ketika manusia memikirkan dirinya sebagai makhluk mortal (bisa mati seperti binatang dan tumbuhan), maka manusia menemukan diri dalam hasrat keilahian, menikmati keabadian dan immortalitas penuh bahagia yang menjadi kodrat keilahian. Dalam artian ini, menjadi filosof tidak berarti memiliki sophia (kebijaksanaan), melainkan bergerak dalam situasi tidak tahu (ignorantia) menuju situasi menjadi tahu. Sehingga secara definitif, filosof adalah orang yang tahu bahwa ia sedang mencari tahu.
Filsafat merupakan hasil “menjadi”—sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan “menjadi”—kritisnya manusia terhadap diri sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya.[36]  Konsekwensinya, perbincangan filsafat tidak hanya seputar dunia saja, melainkan kegiatan berpikir itu sendiri. Karena itu filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal yang dipikirkan sekaligus pemikiran itu sendiri yang dilakukan oleh pemikir. Melalui pemikiran tersebut diharapkan sampai pada rahasia kehidupan.
Pemikiran para filosof pada umumnya bersifat hipotesis, sebab apa yang dieksplorasi adalah hal-hal yang terlampau dalam hingga tak mungkin dibuktikan, hanya mungkin diargumentasikan. Oleh karena itu dikatakan oleh Louis O. Kattsoff [37]  bahwa “filsafat tidak membuat roti”, tapi menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah takaran bumbunya, dan mengangkat roti dari tungku pada waktu yang tepat. Artinya, tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan tersebut, menemukan hakekatnya, dan mengatur semua itu dalam bentuk yang sistematis.
Adapun definisi yang menggambarkan tentang metode berpikir dalam filsafat, antara lain berasal dari Fuad Hasan. Filsafat adalah ikhtiar manusia untuk memahami berbagai manifestasi kenyataan melalui upaya berpikir sistematis (systema: ketaraturan, tatanan, saling keterkaitan), kritis (kritikos: kemampuan menilai; kritein: memilah-milah), dan radikal (radix: akar).[38] Sedangkan menurut Endang Saefuddin Ansari, filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami  secara radikal dan integral serta sistematik hakekat Tuhan, manusia, dan alam serta sikap manusia sebagai konsekwensi dari pemahamannya tersebut.[39] Sementara Hasbullah Bakri mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.[40]
Sebagai sebuah ilmu, filsafat berbeda dengan sains. Jika sains membatasi obyek kajiannya pada alam yang dapat diamati secara empiris dan eksperimental, menyelidiki obyeknya dengan pertanyaan “bagaimana” dan “apa sebabnya”. Maka filsafat dengan petualangan intelektual ingin mencari apa hakekat yang sebenarnya dari sesuatu itu—bukan sebab dan akibatnya—menggunakan  pertanyaan apa itu, dari mana, dan ke mana. Hal ini juga berimplikasi pada pencapaian kebenaran, dimana kebenaran sains bersifat positif, sedangkan kebenaran filsafat bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan ekperimental). Jadi kebenaran yang mampu dicapai oleh sains dan filsafat sama-sama bersifat relatif.
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa obyek kajian filsafat terbagi dua; yakni obyek materia dan obyek forma. Obyek materia filsafat (lapangan pembahasan) adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, meliputi: alam, manusia, dan Tuhan. Sedangkan obyek forma dalam filsafat (sudut pandang atau pendekatan) adalah refleksi rasional,[41] kritis,[42] bebas,[43] radikal,[44] dan holistik.[45] Selain itu, dari definisi tersebut juga menunjukkan perbedaan antara sains dengan filsafat baik secara ontologi, epistemologi, maupun aksiologinya.
Dengan demikian kajian pokok filsafat pada mulanya meliputi tiga segi yakni logika, etika, dan estetika.[46] Kemudian bertambah lagi metafisika dan politik. Kelima cabang ini berkembang lagi dan mencakup antara lain: logika, etika, estetika, metafisika, epistemologi (filsafat pengetahuan), dan filsafat-filsafat khusus (filsafat agama, politik, pendidikan, hukum, sejarah, manusia, dan lain-lain. Pembahasan selanjutnya akan diarahkan untuk mengkaji epistemologi (filsafat pengetahuan).
D.    Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah).[47] Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom.
Ruang lingkup filsafat ilmu sangat luas meliputi hampir seluruh ilmu. Menurut para ahli, ruang lingkup filsafat ilmu bisa dikategorikan menjadi empat:[48] 1). Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya, 2). Tentang ada dan tidak ada, 3).Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, 3) Hakekat manusia dan hubungannya dengan sesama makhluk lain, 4). Tuhan tidak dikecualikan.
Meskipun demikian—jika dipetakan sebagaimana filsafat pada umumnya—filsafat  ilmu  memiliki  dua obyek yakni obyek materia dan obyek forma. Obyek  materia filsafat ilmu adalah fakta dan kebenaran dalam semua disiplin ilmu. [49] Dengan kata lain obyek materia filsafat ilmu adalah ilmu itu sendiri. Sedangkan obyek forma (sudut pandang atau pendekatan)  dalam filsafat ilmu adalah hakekat ilmu  artinya menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu, seperti apa hakekat ilmu, bagaimana cara mendapatkannya, dan nilai gunanya apa.
Persoalan pertama berkaitan dengan landasan ontologi, yang kedua epistemologi, dan yang ketiga aksiologi. Semua ilmu memiliki ketiga landasan ini, meskipun manifestasinya berbeda-beda sejauh ketiga landasan tersebut dikembangkan dan dilaksanakan. Ketiga hal tersebut akan diuraikan dalam pembahasan berikut.
1.    Ontologi
Ontologi  berasal dari bahasa Yunani yaitu ontos yang berarti being, dan logos yang berarti ilmu. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Ontologi juga bisa disebut sebagai ilmu tentang “yang ada”.[50] Yang dimaksud “ada” adalah dari dan akan ke mana ada itu. Secara terminologis, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality. [51]
Ontologi merupakan salah satu obyek kajian filsafat yang paling kuno, dimana peletak dasar ontologi adalah Thales—seorang  filosof Yunani yang mempertanyakan tentang realitas yang ada (arche alam). Pada masanya, orang belum membedakan apa yang nampak (appearance) dengan kenyataan (reality). Akan tetapi Thales dengan kontemplasi yang dia lakukan sampai pada sebuah kesimpulan tentang arche: sangkan paran alam semesta.
Adapun hal-hal yang terkait dengan otologi adalah[52] yang ada (being) yakni eksistensi ilmu; kenyataan/realitas (reality): fenomena yang didukung oleh data yang mantap; eksistensi (exsistence): keadaan fenomena yang sesungguhnya yang secara hakiki tampak dan tidak tampak ; esensi  (essence): pokok atau dasar sebuah ilmu yang lekat dalam suatu ilmu; substansi  (substance): membicarakan isi dan makna suatu ilmu bagi kehidupan manusia; perubahan (change): ilmu mengalami perubahan menuju kesempurnaan; tunggal  (one) dan jamak (many): sebuah kondisi fenomena ilmu yang terbagi menjadi dua hal itu.
Pembahasan dalam ontologi umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika dengan mempertanyakan tentang yang ada,[53] tentang apakah hakekat kenyataan. Dengan bahasa yang sederhana bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ontologi adalah apa hakekat yang akan dikaji dalam ilmu.
2.    Epistemologi
Kata epistemologi terdiri dari dua kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos  yang berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu epistemologi juga sering disebut teori tentang pengetahuan (theory of knowledge)[54] Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang sumber pengetahuan yakni batasan, dasar dan fondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, kebenaran ilmu, dan pengetahuan manusia. Dengan pengertian ini, epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan ”kebenaran” macam apa yang dianggap harus diterima dan apa yang harus ditolak.  
Pada dasarnya epistemologi berkaitan dengan pertanyaan tentang pengetahuan, terutama dilatarbelakangi oleh ketidakmungkinan manusia untuk mempunyai pengetahuan yang benar. Sehingga epistemologi berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filsafat tersebut tentang asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat dan bagaimana memperoleh pengetahuan yang benar. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan demikian epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tata cara untuk mendapatkan pengetahuan. Adapun pertanyaan yang diajukan adalah “bagaimanakah cara memperoleh pengetahuan?
Dan di dalam pembahasan epistemolog inilah terjelma berbagai metode untuk memperoleh pengetahuan[55] di antaranya adalah rasionalisme, empirisme, positivisme dan intuisionisme serta masih banyak lagi aliran lain seperti kritisisme, idealisme, pragmatisme, fenomenologi dan eksistensialisme, dan lain-lain.
Adapun persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian halnya yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.
3.    Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani axios yang berarti nilai, sesuai atau wajar, dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori  nilai.[56] Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya atau nilai guna suatu ilmu. Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan.
Nilai sebuah ilmu tidak bisa dilepaskan dari kegunaannya. Aksiologi memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai. Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma nilai.[57]
Aksiologi ini penting karena pada kenyataannya tidak semua orang yang memiliki ilmu tinggi berbanding lurus dengan perilakunya yang baik. Justru yang seringkali terjadi adalah sebaliknya. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini telah mampu meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Akan tetapi pada sisi lain, ilmu juga membawa malapetaka dan kesengsaraan.
Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya, ilmu sudah dikaitkan dengan tjuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Bukan saja bermacam-macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan namun juga berbagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu sering melupakan faktor kemanusiaan.[58] Ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi, melainkan juga kemungkinan mengubah hakekat kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, ilmu bukan lagi sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Sebenarnya nilai ilmu itu tidak ada yang sia-sia kalau dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya di jalan yang benar. Oleh karena itu, dalam kaca mata aksiologi, ilmu tidak lagi bebas nilai. Artinya pada batas-batas tertentu, kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan memberi kontribusi penting bagi kemanusiaan.
A.  Penutup
Diskursus di atas bukan dimaksudkan untuk memberikan konsep filsafat ilmu secara holistik, melainkan hanya sekedar memberikan sumbangan pemikiran untuk memahami kerangka dasar filsafat ilmu. Dimana bagi dunia ilmu pengetahuan, filsafat—paling tidak berguna untuk dapat bersikap kritis terhadap asumsi-asumsi dasar yang biasanya digunakan tanpa dipertanyakan, juga waspada terhadap konsekwensi-konsekwensi lebih jauh, lebih luas dan lebih abstrak dari temuan-temuan ilmiah. Filsafat penting untuk menghindari bahaya kenaifan-empirik-teknis, yaitu anggapan seakan-akan kehidupan manusia hanyalah soal data dan urusan teknis.
Maka dengan selesainya pembahasan ini, bukan berarti bahasan tentang permasalahan tersebut telah selesai dan sempurna, namun masih banyak persoalan yang belum diuraikan dan masih membutuhkan studi analitik lebih lanjut. Akhirnya kepada Allah juga segalanya akan kembali.


Bibliografi

A. Setyo Wibowo. 2010. Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius.
Adelbert Snijders. 2004. Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius.
AF. Chalmers. 2011. What is this thing Called Science? New York: Open University Press.
Andi Hakim Nasution. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Bambang Sugiharto dalam Jostein Gaarder. 2013. “Filsafat dan Pengalaman”  sebuah pengantar dalam Dunia Sophie. Mizan: Bandung.
Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Franz Magins-Suseno. 2009. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius.
Fuad Hasan.2001. Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Jaya.
Harun Hadiwijono. 1992. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius.
Hasbullah Bakri. 1986. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya.
Howard Sankey dalam Martin Curd and Stathis Psillos (Ed). “Scientific Method” dalam The Routletge Companion to Philosophy of Science. London: Routledge.
http://www.kamusbesar.com/39062/pengetahuan Diakses tanggal 10 September 2014.
http://kamusbahasaindonesia.org/sains#ixzz3CxhQbJk4. Diakses tanggal 10 September 2014.
http://www.kamusbesar.com/34031/sains. Diakses tanggal 10 September 2014.
http://kbbi.web.id.ilmu/. Diakses tanggal 10 september 2014.
John M. Echols dan Hassan Shadily. 1996.  Kamus Inggris-Indonesia. Diterjemahkan dari “An English-Indonesian Dictionary”. Jakarta: PT. Gramedia.
 John Ziman dalam CA.Qadir (Ed). “Hakekat Ilmu Pengetahuan” terjemahan dari What is Science? Oleh Bosco Carvalo, dkk. Dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
Jujun S. Suriasumantri (Ed). 1999 . “Tentang Hakekat Ilmu” dalam Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jujun S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dariElements of Philosophy. Yogyakarta: Tiara Wacana.
M. Hatta. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press.
Muhyar Fanani. 2009. Ilmu Ushul Fiqh di Mata Filsafat Ilmu. Semarang: Walisongo Press.
Musa Asy’arie. 1999. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.  
Noeng Muhadjir. 1998.  Filsafat Ilmu Telaah Sistematis, Fungsional Komparatis. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Poedjawijatna. 1990. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Susanne K. Langer. 1954.  Philosopy in  New Key a Study in the Symbolism of Reason Rite of Art. New York: The New American.
Suwardi Endraswara.2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: CAPS.






MAKALAH

KNOWLEDGE, SCIENCE, DAN FILSAFAT:
SEBUAH KERANGKA UNTUK MEMAHAMI FILSAFAT ILMU



Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Ilmu
Dipresentasikan tanggal 12 September 2014



Pembimbing: Prof. Dr. A. Ghazali Munir, M.A
TRI ASTUTIK HARYATI

PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (P3M)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2011





[1] Hakekat animal mendasari kemampuan-kemampuan pengindraan dan gerakan, sedangkan rationale mendasari kemampuan-kemampuan akal dan kehendak. Lihat Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dariElements of Philosophy. Yogyakarta: Tiara Wacana. h. 407.
[2] Susanne K. Langer. 1954.  Philosopy in  New Key a Study in the Symbolism of Reason Rite of Art. New York: The New American. h. 21.  
[3] Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. h. 414.
[4] John M. Echols dan Hassan Shadily. 1996.  Kamus Inggris-Indonesia. Diterjemahkan dari “An English-Indonesian Dictionary”. Jakarta: PT. Gramedia. h.344 dan h. 504.
[5] Dalam hal ini terdapat dua alternatif: 1). Meskipun secara umum kedua istilah tersebut digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia, namun mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, knowledge  merupakan terminologi generik dan science adalah anggota (species) dari kelompok (genus). Nampaknya hal itu kurang tepat jika pengetahuan merupakan terminologi generik dan ilmu pengetahuan merupakan anggota yang termasuk ke dalamnya.Kedua, kata sifat dari science yakni scientific, yang secara konsekuen dipergunakan untuk ilmu adalah pengetahuan ilmiah atau ke-ilmu-pengetahuan-an? Dua terminologi ini nampaknya perlu dipertanyakan penggunaannya. Pengetahuan ilmiah bisa diartikan scientific knowledge  yang dalam bahasa Inggris merupakan sinonim science; sedangkan ke-ilmu-pengetahuan-an rasanya terlampau dibuat-buat. Ketiga, penggunaan terminologi science tidak konsisten, dimana biologi disebut ilmu hayat sedangkan fisika adalah ilmu pengetahuan alam. 2). Didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah dua kata benda yakni ilmu dan pengetahuan. Rangkaian dua kata semacam ini adalah sesuatu yang wajar penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, kita tinggal menetapkan mana yang sinonim dengan science dan mana yang sinonim dengan knowlwdge. Dan yang lebih tepat tentunya adalah penggunaan kata pengetahuan untuk knowledge dan ilmu untuk science. Dengan demikian maka social sciences diterjemahkan dengan ilmu-ilmu sosial dan natural sciences dengan ilmu-ilmu alam. Kedua ilmu ini termasuk humaniora (seni, filsafat, bahasa, dan sebagainya) termasuk ke dalam pengetahuan yang merupakan terminologi generik. Kata sifat dari ilmu adalah ilmiah atau keilmuan. Metode yang dipergunakan dalam kegiatan ilmiah (keilmuan) adalah metode ilmiah (keilmuan). Ahli dalam bidang keilmuan adalah ilmuwan. Lihat Jujun S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. h. 294-295.
[6] http://kamusbahasaindonesia.org/pengetahuan#ixzz3CxhCmSDL. Diakses tanggal 10 September 2014. Lihat juga http://www.kamusbesar.com/39062/pengetahuan Diakses tanggal 10 September 2014.
[7] http://kamusbahasaindonesia.org/sains#ixzz3CxhQbJk4. Diakses tanggal 10 September 2014. Lihat juga http://www.kamusbesar.com/34031/sains. Diakses tanggal 10 September 2014.

[8] Suwardi Endraswara.2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: CAPS. h.1-2. Lihat juga Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu Filsafat dan. h. 100.
[9] Poedjawijatna. 1990. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta. h.4.
[10] Science (bahasa Inggris dan Perancis), Wissenschaft (bahasa Jerman), Wetenschap (bahasa Belanda).
[11] Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni, agama, ekonomi, biologi, dan lain-lain. Jujun S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h. 104 dan 293.
[12] http://kbbi.web.id.ilmu/. Diakses tanggal 10 september 2014.
[13] Andi Hakim Nasution. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Jakarta: Litera Antar Nusa. h. 27.
[14] Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. h. 45. Lihat juga Poedjawijatna. 1990. Pembimbing. h. 5.
[15] Suwardi Endraswara.2012. Filsafat Ilmu h.1-2. Lihat juga Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu Filsafat dan. h. 45-46.
[16] John Ziman dalam CA.Qadir (Ed). “Hakekat Ilmu Pengetahuan” terjemahan dari What is Science? Oleh Bosco Carvalo, dkk. Dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan obor Indonesia. h. 8.
[17] Untuk menentukan kriteria tersebut, para filosof mengembangkan beberapa metode yang disebut scientific method. Lihat Howard Sankey dalam Martin Curd and Stathis Psillos (Ed). “Scientific Method” dalam The Routletge Companion to Philosophy of Science. London: Routledge. h. 280.
[18] John Ziman dalam CA.Qadir (Ed). “Hakekat Ilmu Pengetahuan” h. 10.
[19] Hubungan antara manusia dan dunia secara khusus dinyatakan dalam kebudayaan. Kata culture/cultura secara etimologis berasal dari kata colere yang berarti mengolah, mengerjakan, dan memelihara.Adelbert Snijders. 2004. Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius. h. 55-57.
[20] Q.S. Hud: 61.
[21] Harun Hadiwijono. 1992. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius. h. 58.
[22] Adelbert Snijders. 2004. Antropologi Filsafat. h. 59.
[23] Jujun S. Suriasumantri (Ed). 1999 . “Tentang Hakekat Ilmu” dalam Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.h.6.
[24] AF. Chalmers. 2011. What is this thing Called Science? New York: Open University Press. h. 39.
[25] John Ziman dalam CA.Qadir (Ed). “Hakekat Ilmu Pengetahuan”. 12.
[26] Metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi merupakan pembahasan yang mengkaji peraturan-peraturan dan metode tersebut.  Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati merupakan pembahasan dalam epistemologi yang meliputi: 1). Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakekat, jangkauan, dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untk ditangkap oleh manusia? Lihat Jujun S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h.119.
[27] Jujun S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h.122.
[28] Jujun S. Suriasumantri (Ed). 1999 . “Tentang Hakekat Ilmu”. h. 7.
[29] John Ziman dalam CA.Qadir (Ed). “Hakekat Ilmu Pengetahuan” terjemahan dari What is Science? Oleh Bosco Carvalo, dkk. Dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan obor Indonesia. h. 12.
[30] M. Hatta. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press. h. 3.
[31] Hasbullah Bakri. 1986. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya. h. 9.
[32] Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. h. 79.
[33] Poedjawijatna. 1990. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta. h. 1
[34] Franz Magins-Suseno. 2009. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius. h.26.
[35] A. Setyo Wibowo. 2010. Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius. h.25-27.
[36] Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. h. 7.
[37] Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. h. 3.
[38] Fuad Hasan.2001. Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Jaya. h. 9.
[39] Endang Saefuddin Anshari. 1992. Ilmu. h. 85.
[40] Hasbullah Bakri. 1986. Sistematika. h. 12.
[41] Refleksi memiliki dua makna yakni pantulan dan perenungan. Di dalam filsafat yang dimaksud refleksi adalah perenungan mendalam tentang segala hal yang mendasar dalam kehidupan. Perenungan tersebut bersifat mendasar dan spekulatif, maka ketika berada dalam alam filosofis membuat kita terus menerus mencari dan tak akan pernah final. Tentang suatu masalah asasi yang sama terdapat berbagai jawaban filsafat dari para filosof yang berbeda-beda, sesuai dan sejalan dengan titik tolaknya masing-masing. Refleksifitas yang terjadi bersifat self-cancelling (membatalkan pernyataan) yang pernah dibuat filosof sebelumnya. Masing-masing memiliki ketajaman dan kecerdasan yang mengalir wajar hingga gagasan-gagasan yang rumit dan mendalam terasa masuk akal. Pemikiran filsafat berdasarkan argumentasi rasional. Jadi ukuran kebenaran terletak pada argumentasinya yang lebih mendalam jika dibandingkan dengan argumentasi lain atau lebih mampu memberikan penjelasan tentang kompleksitas suatu permasalahan dari pada yang lainnya yakni memiliki daya penjelasan (explanatory power) lebih besar. Bambang Sugiharto dalam Jostein Gaarder. 2013. “Filsafat dan Pengalaman”  sebuah pengantar dalam Dunia Sophie. Mizan: Bandung. h. 18.
[42] Pemikiran filsafat juga bersifat kritis yakni selalu bertanya, terus bertanya, dan tidak berhenti bertanya. Pemikiran kritis sebenarnya adalah naluri alamiah yang dimiliki oleh manusia.  Seperti yang direpresentasikan oleh anak-anak ketika mengajukan berbagai pertanyaan yang mendasar tentang segala sesuatu dan seringkali sangat sulit untuk dicarikan jawabannya. Karena sesungguhnya, kodrat alami manusia adalah terus bertanya tanpa bisa dibatasi. Sebuah indikasi bahwa daya nalar manusia mulai terbuka, mulai difungsikan, dan menimbulkan rangkaian pertanyaan yang tak terbendung dan tak berkesudahan.
[43] Sifat pemikiran filsafat sangat bebas (free thinking) dengan merentangkan pikiran sejauh-jauhnya dengan tiada dibatasi kelanjutannya karena tidak ada yang menghalangi pikiran bekerja. Bebas juga berarti dapat memilih  obyek apa saja untuk dipikirkan. Kalaupun ada batasan, maka batasan tersebut bersifat internal yakni pemilihan obyek berpikirnya. Musa Asy’arie. 1999. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI. h. 2.
[44] Radix berasal dari bahasa Latin yang berarti akar, sehingga berpikir radikal berarti sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke dasar persoalan, bahkan melewati batas-batas fisik yang ada, memasuki medan pengembaraan di luar sesuatu yang fisik atau biasa diistilahkan hakekat atau metafisika. Hakekat atau metafisika adalah  sebuah kemampuan berpikir secara abstrak untuk menemukan noumena dibalik fenomena, menemukan inti persolan yang menjadi hal pokok dan penting sehingga memberi makna terhadap kehidupan manusia. Dan hal ini berbeda dengan apa yang nampak (appearance)—yang  hanya merupakan representasi dari hakekat yang sebenarnya/kenyataan (reality).Musa Asy’arie. 1999. Filsafat Islam. h.3.
[45] Seseorang yang berfilsafat dapat diibaratkan seperti orang yang ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi, ia berpijak di bumi dan menengadahkan ke langit menatap bintang-bintang. Dia ingin memahami kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Pandangannya mengarah pada berbagai segi, dan inilah salah satu karakteristik berpikir filsafat—yakni “menyeluruh atau holistik”. Jujun. S.Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h.20.
[46] Jujun.S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h. 32. Lihat juga Hasbullah Bakri. 1986. Sistematika. h. 14-17. Lihat juga Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. h. 71.
[47] Jujun.S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h. 33.
[48] Suwardi Endraswara. 2012. Filsafat Ilmu. h. 67-69.
[49] Noeng Muhadjir. 1998.  Filsafat Ilmu Telaah Sistematis, Fungsional Komparatis. Yogyakarta: Rake Sarasin.h. 9-10.
[50] Noeng Muhadjir. 1998.  Filsafat Ilmu Telaah Sistematis, Fungsional Komparatis. Yogyakarta: Rake Sarasin.h. 47.
[51] Suwardi Endraswara. 2012. Filsafat Ilmu. h. 97.
[52] Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. h.194. Lihat juga Suwardi Endraswara. 2012. Filsafat Ilmu. h.104.
[53] Noeng Muhadjir. 1998.  Filsafat Ilmu. h. 49.
[54] Muhyar Fanani. 2009. Ilmu Ushul Fiqh di Mata Filsafat Ilmu. Semarang: Walisongo Press. h. 15
[55] Louis O. Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. h. 136.
[56] Suwardi Endraswara. 2012. Filsafat Ilmu. h. 146.
[57] Suwardi Endraswara. 2012. Filsafat Ilmu. h.146.
[58] Jujun.S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu. h. 231.

No comments:

Post a Comment