I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman Allah SWT (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw yang di dalamnya terdapat petunjuk-petunjuk untuk umat Islam. Di
antara tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah untuk mencapai kebahagiaan di
dunia maupun akhirat. Pedoman tersebut baik berupa pedoman yang mengatur hidup
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia ataupun manusia dengan alam.
Meskipun
al-Qur’an merupakan pedoman bagi umat Islam, namun untuk menjadikannya suatu
pedoman, seseorang haruslah membutuhkan
pemahaman yang mendalam terhadap makna bahkan kandungan ayat yang tersurat
maupun yang tersirat di dalam al-Qur’an. Pemahaman terhadap al-Qur’an inilah
bisa berupa penafsiran (tafsir) al-Qur’an dengan menggunakan metode-metode
tertentu. di mana hasil metode inilah yang menghasilkan corak penfsiran al-Qur’an
oleh seorang mufassir.
Corak
penafsiran seorang mufassirterhadap
al-Qur’an akan berbeda-beda karena seorang mufassir
dalam memahami ayat al-Qur’an lebih didasarkan pada background keilmuan yang dimilikinya. Bagi mereka yang menggeluti
bidang kebahsaaan, maka tafsirnya pun juga sarat akan muatan gramatika dan balagahnya dalam memahamki teks-teks
al-Qur’an, sehingga penafsirannya pun bercorak kebahasaan (lughowi). Mereka yang ahli hukum, maka pemahamannnya akan bercorak
hukum (fiqhy). Demikian juga model
pemahaman yang lebih menggunakan temuan-temuan dalam bidang sains modern dan
teknologi yang telah mapan sebagai sarana dalam memahami ayat al-Qur’an, maka
tafsirnya pun bercorak ilmiah (tafsir ‘ilmy).[1]
Akibat
perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan semakin berkembang, berdampak pula
terhadap kajian corak tafsir ‘ilmy,
dimana dalam perkembangannya al-Qur’an sebagai kitab suci yang ditafsir selalu
dibanding-bandingkan dengan perkembangan zaman khususnya ayat-ayat yang
bersifat kauniyah. Maka untuk lebih
spesifik dan terarah, maka pemakalah membuat dua rumusan masalah terkait kajian
corak tafsir ‘ilmy, yakni:
1. Bagaimana
pro dan kontra terhadap kajian tafsir ‘ilmy
dikalangan para ulama?
2. Bagaimana
analisis dan argumentasi terhadap pro dan kontra kajian tafsir ‘ilmy?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir ‘Ilmy
Tafsir
‘ilmy yaitu penafsiran al-Qur’an yang
bercorak ilmu pengetahuan modern khususnya sains eksakta. Penafsiran al-Qur’an
bercorak ‘ilmy ini selalu mengutip teori-teori
ilmiah yang berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Didalam
menjelaskannnya mufassir menggunakan
pendekatan ilmiah dengan menjelaskan ayat al-Qur’an sesuai dengan teori ilmiah
yang merupakan hasil temuan para ilmuan melalui penelitian yang mereka lakukan.[2]
Muhammmad Kamil Abdush Shamad, dalam kitabnya al-I’jaz Al-‘Ilmy Al-Islam Fi al-Qur’an
al-Karim. Ia mendefinisikan tafsir ‘Ilmy
dengan menggunakan istilah i’jaz,
yaitu memperluas petunjuk ayat al-Qur’an dan mendalami makna-maknanya dalam
realitas alam dan ide kemanusiaaan, dengan menggunakan cara-cara ilmiah modern
dalam perluasan petunjuk ayat yang dimaksud.[3]
Tafsir ‘ilmy
atau yang dalam terminologi Jansen disebut sebagai sejarah alam (Natural History).[4]
Disamping itu Fath Abd al-Rahman memberikan pengertian tafsir ‘ilmy adalah suatu ijtihad atau usaha
keras seorang mufassir dalam
mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an dengan
penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan
kemu’jizatan al-Qur’an.[5]
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa tafsir ‘ilmy yaitu memahami
teks-teks al-Qur’an dengan cara menjadikan penemuan-penemuan sains modern dan
atau melalui fakta-fakta ilmiah lainnya. Sehingga dapat ditemukan korelasi
antara temuan ilmu pengetahuan tersebut dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Tafsir
‘ilmy oleh ilmuan non muslim “Maurice
Bucaille” seorang dokter bedah kebangsaaan Prancis melakukan penelitian (research) dan observasi secara khusus
tentang hakikat ilmiah yang kemudian membandigkannya dengan kitab suci
al-Qur’an dan Bible. Menurutnya al-Qur’an tidak saja berbicara tentang surga
dan neraka tetapi juga berbicara tentang penemuan mutakhir. Al-Qur’an
seakan-akan mempunyai warna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan
modern.[6]
Corak
tafsir ilmiah ini sebenarnya sudah ada sejak abad ketiga belas. Bahkan menurut
al-Muhtasib, embrionya sudah ada sejak masa Dinasti Abbasiyah. Khususnya pada
masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (wafat 853 M), akibat dari penerjemahan kitab-kitab ilmiah.[7]
Dalam
sejarah pemerintahan islam. Dinasti ‘Abbasiyah merupakan salah satu dinasti
terlama yang mampu mampu bertahan lebih dari lima abad lamanya (750-1258). Pada
masa ini, peradaban umat islam telah mencapai puncak keemasannya baik dalam
bidan ilmu-ilmu agama, sastra, sejarah, ilmu kedokteran, matematika, fisika,
astronomi dan lain sebagainya.
Alasan
utama untuk mendorong para mufassir
menulis tafsirannya dengan corak ini adalah disamping banyaknya ayat-ayat
al-Qur’an yang baik secara eksplisit maupun implisit memerintahkan manusia
untuk menggali ilmu pengetahuan juga untuk menggali dimensi kemu’jizatan
al-Qur’an bidan ilmu pengetahuan modern.[8]
Selain
fungsinya sebagai i’jaz (pembuktian
atas kebenaran teks al-Qur’an) dan tabyin
(penjelasan teks al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki
oleh san mufassir), tafsir ‘ilmy juga
berfungsi sebagai istikhraj al-‘ilmy yaitu
teks ayat al-Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu
pengetahuan mutakhir dan modern.[9]
B.
Contoh
Tafsir ‘imy (Sains/Ayat-ayat
Kauniyah)
Apabila
diperhatikan secara cermat terdapat banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung
masalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga tidak ada salahnya jika
al-Qur’an disebut sebagai sumber segala ilmu. Ada beberapa ayat yang
menunjukkan hubungan erat antara al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi termasuk di dalamnya berbicara tentang ilmu astronomi. Salah satu
perhitungan yang tepat dalam ilmu astronomi adalah perhitungan matahari dan bulan
yang ikut berperan dalam menentukan perhitungan dan pergantian waktu (hari,
bulan dan tahun). Salah satunya terdapat dalam QS. Yunus (10): 5 berikut ini:
uqèd Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak
(Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma,
melainkan dengan penuh hikmah). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang mengetahui.”
Pada waktu ayat tersebut diturunkan,
orang belum mengenal pengertian orbit suatu planet. Kebanyakan orang pada saat
itu bahwa bumi adalah datar dan bumi merupakan pusat alam semesta ini, artinya
bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Pendapat seperti ini juga adalah
pendapat gereja dan diyakini berasal dari kitab Bible, sehingga pendapat yang
bertentangan dengan itu harus disingirkan. Keinginan untuk mengetahui lebih
lanjut tentang keadaan yang sebenarnya yang didukung oleh penelitian yang
ilmiah, menjadikan peneliti bidang astronomi ingin mencari jawaban yang
memuaskan sehingga pada sekitar tahun 1500 seorang ahli astronomi “Nicolas
Copernicus” (orang polindia) mengemukakan hipotesa teori “heliocentris” yang mengatakan bahwa bumi berputar mengelilingi
matahari dan matahari adalah pusatnya. Planet-planet lain juga berputar
mengelilingi matahari pada garis edarnya masing-masing (orbit).[10]
Pendapat ini sudah tentu bertentangan
dengan gereja. Copernicus sengaja mengemukakan teori Heliocentris menjelang ajalnya pada tahun 1543 karena Copernicus
takut dihukum mati oleh gereja. Selain Nicolas Copernicus, ada juga seorang
ilmuan Jerman Johannes Kepler yang mengemukakan teorinya tentang heliocentris. Kemudian ilmuan
berkebangsaan Italia, Galilio Galilei (1564-1642) yang meneliti tentang teropong bintang buatan ahli optik
Belanda. Dengan menggunakan teropong tersebut Galileo lebih yakin bahwa bulan
berputar pada porosnya dan berputar mengelilingi matahari.[11]
Apabila dikaji sesungguhnya apa yang
dikemukakan oleh para ilmuan di atas tersebut adalah benar dan sesuai dengan
ayat al-Qur’an yang sudah lebih dulu menyatakannya.[12]
Terkait dengan
penciptaan alam semesta, diketahui dalam al-Qur’an surat al-Anbiya’ (21):30
memberikan petunjuk bahwa alam semesta berasal dari sesuatu yang padu dan
mengalami ledakan besar atau sering kita kenal sebagai teori Big Bang. Teori ini diungkap oleh para
ilmuan sekitar awal abad ke-20 (1927M) yakni sekitar 1350 tahun setelah
al-Qur’an diturunkan, ternyata al-Qur’an lebih dahulu mengungkapkan teori ini.
Ayat al-Qur’an tersebut yaitu:
óOs9urr& tt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( xsùr& tbqãZÏB÷sã ÇÌÉÈ
“dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Menurut A.Baiquni salah seorang
fisikawan ledakan yang sangat dahsyat nagaikan bola api, maka energi dan materi
beserta ruang dan waktu keluar dengan kekuatan yang dahsyat dengan temperatur
daun kerapatan yang sangat tinggi. Lanjutnya, alam semesta lahir dari sebuah
singularitas denag keadaan ekstrim. Di sini terliaht kenyataan bahwa semula
alam semesta tidak ada.[13]
Setelah ledakan besar (big bang)
sebagai teori standar, kemudian ilmuwan mengungkapkan bagaimana penciptaan alam
semesta pada enam tahap yang dikenal sebegai proses universum. Pertama, pemuaian
universum yang disebut sebagai "era planck" (waktu 0-10-43
detik)menunjukkan bahwa prilaku universum ditentukan oleh efek kuantum dengan
temperature >1032 K. kedua, era hadron yang lamanya dari
t=10-43 detik sampai t=7x10-5 detik. Dalam era hadron,
jika temparatur >1.6x10-12 K banyak terbentuk meson dan
antimeson. Nukleon (proton dan neutron) banyak terbentuk pada temparatur >1013
K. pada t=10-35 detik masih ada satu gaya, tetapi pada t=10-12
sudah lahir gaya elektroweek yaitu gabungan gaya elektromagnetik dan
gaya lemah nuklir. Ketiga, memasuki era lepton yaitu suatu kurun waktu
dari t=7x10-5 detik (temparatur 1.6x10-12 K) hingga t=5
detik (temparatur 6x109 K). keempat, era radiasi berlangsung
dari t=5 detik sampai t=5x105 tahun (temparatur menurun dari 6x109
K menjadi 4x103 K). dalam era ini proses radiasi masih dominan dari
pada pembentukkan materi. Kelima, adalah proses pembentukkan protogalaxi
dan protocluster oleh mekanisme. Pada era ini juga terjadi ketidakstabilan
gravitasi dan turbulans yang berasal dari universum tatkala masih awal. Keenam,
yaitu keruntuhan protogalaxi untuk membentuk galaksi-galaksi seperti yang
diamati dewasa ini (t=3x108 tahun sampai sekarang). Skenario pertama
terjadi jika protogalaxi adalah gas, dan skenario kedua terjadi jika
protogalaxi adalah bintang.[14]
Hal ini telah
lebih dahulu dijelaskan dalam al-Qur'an surat Hud (11): 7
`yJsùr& tb%x. 4n?tã 7poYÉit/ `ÏiB ¾ÏmÎn/§ çnqè=÷Gtur ÓÏd$x© çm÷YÏiB `ÏBur ¾Ï&Î#ö7s% Ü=»tFÏ. #ÓyqãB $YB$tBÎ) ºpyJômuur 4 y7Í´¯»s9'ré& tbqãZÏB÷sã ¾ÏmÎ/ 4 `tBur öàÿõ3t ¾ÏmÎ/ z`ÏB É>#tômF{$# â$¨Y9$$sù ¼çnßÏãöqtB 4 xsù à7s? Îû 7ptóÉD çm÷ZÏiB 4 çm¯RÎ) ,ysø9$# `ÏB y7Îi/¢ £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Y9$# w cqãYÏB÷sã ÇÊÐÈ
“Apakah
(orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti
yang nyata (Al Quran) dari Tuhannya, dan
diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Quran itu
telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat?. mereka itu beriman
kepada Al Quran. dan Barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan
sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Quran, Maka nerakalah tempat yang
diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Quran itu.
Sesungguhnya (Al Quran) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia
tidak beriman”.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi membuktikan bahwa al-Qur'an memang
merupakan kebenaran wahyu yang bersumber
daru Tuhan. Kebenarannya dapat dengan perkembangan zaman dan kebenarannya pula
tidak dapat disangkal oleh siapapun meskipun mereka mempunyai ilmu pengetahuan
dan akal yang sangat tinggi.
C.
Pro
dan Kontra Terhadap Perkembangan Tafsir ‘ilmy
1.
Dampak
Tercampurnya Ilmu Pengetahuan dengan Ayat-ayat al-Qur’an
Al-Qur'an
telah mencakup segala bidang ilmu penegtahuan, baik ilmu pengetahuan terdahulu,
masa kini ataupun masa yang akan dating. Di sinilah peran manusia sebagai hamba
Allah yang berakal untuk selalu menggunakan akalnya dalam berfikir sehingga mendapatkan
suatu pengetahuan. Manusia yang selalu menggunakan akalnya untuk berfikir yaitu
termasuk kaum "ulul albab" ialah kaum yang selalu berdzikir
mengingta kepada Allah, yang selalu memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah,
baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Hal ini telah dijelaskan dalam
QS. Al-Imran (3): 190-191
Berdasarkan
uraian di atas, al-Qur'an ternyata merangsang manusia untuk selalu ingin
menggunakan akal (pikirannya) dalam mencari jawaban atas penciptaan langit dan
bumi. Usaha manusia untuk mencari jawaban yang dimaksud merupakan awla mula
timbulnya tradisi penelitian dan pengamatan terhadap alam sekitarnya yang pada
akhirnya akan menjadi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan oleh manusia. Allah
menciptakan langit dan bumi beserta isinya tentulah tidak sia-sia pasti ada
maksud yang baik untuk manusia.[15]
Terdapat beberapa
pengaruh tercampurnya ilmu-ilmu umum dengan tafsir termasuk ilmu pengetahuan,
yaitu:
a.
Berjalan seiring dengan
pikiran-pikiran manusia dan menafsirkan al-Qur'an dengan cara memenuhi hajat
mereka, baik dari segi intelektual maupun dari segi pengetahuan umum.
b.
Menegtahui jalan-jalan baru bagi
kemukjizatan al-Qur'an baik dari segi isinya maupun dari segi lainnya.
c.
Menolak pendakwaan yang mengatakan
bahwa adanya permusuhan antara agama dengan ilmu pengetahuan.
d.
Menarik orang-orang non-muslim
kepada agama Islam dengan jalan ilmiah yang mereka kagumi.
e.
Mengetahui manfaat-manfaat dengan
kekuatan alam, di samping dapat memenuhi jiwa dengan keagungan Allah dan
Qudrat-Nya dikala masing-masing manusia menafsirkan kalam Allah seperti yang
digambarkan oleh ilmu-ilmu umum.[16]
Dari pengaruh
adanya tafsir yang dihubungkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi menjadikan beberapa ulama mufassirin bertentangan tentang
boleh atau tidaknya penafsiran dengan metode ilmiah. Sebagian ulama membolehkan
penemuan-penemuan ilmiah sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur'an dan ada
sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya.
2.
Ulama-Ulama yang Membolehkan
Tafsir ‘ilmy
Pendapat ulama
yang membolehkan tafsir 'ilmy mendasarkan argumentasinya kepada
ayat-ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang perintah untuk menggunakan akal
pikiran dalam mengingat dan merenungkan ciptaan Allah. Di antara ayat yang
berbicara tentang akal pikiran manusia telah disebutkan dalam beberapa ayat
al-Qur'an QS al-Imran (3): 190-191.
Selain itu
ulama yang memeperbolehkan tafsir dengan jalan ilmiah mendasarkan alasannya
bahwa kebenaran al-Qur'an itu dapat dibuktikan dengan tanda-tanda kebesarannya.
Hal ini telah dijelaskan dalam QS Fushilat (41): 53
óOÎgÎã\y $uZÏF»t#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKt öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3t y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky ÇÎÌÈ
“Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri
mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.
Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Adapun
ulama-ulama yang memperbolehkan tafsir 'ilmy di antaranya adalah:
a.
Abu Hamid al-Ghazali
Menurutnya, semua pemahaman tentang
al-Qur'an yang terbentuk atas dasar analisis atau nalar yang terdiri atas
bagian teori tentang alam, dan hasil pemikiran merupakan rumusan dan petunjuk
dari al-Qur'an yang hanya dapat diperoleh oleh para ilmuwan yang ingin memahami
rahasiaNya. Oleh karena itu, menurut Imam Ghazali pemhamaman sebatas lahir saja
tidak akan mengantarkan pemahaman al-Qur'an yang sesungguhnyam kecuali melalui
pemahaman oleh berbagai pakar. Karena di dalam al-Qur'an terdapat ciptaan-ciptaan,
teori-teori, dan obyek-obyek penelitian. Teori-teori dan dalil-dalil yang
terdapat di dalam al-Qur'an hanya dapat dimengerti oleh mereka yang ahli dalam
bidangnya.[17]
Selanjutnya, di dalam kitabnya Jawahir
al-Qur'an, Imam Ghazali membagi ilmu-ilmu al-Qur'an menjadi dua baian
besar. Pertama, ilmu hasil riwayat dan ilmu dasar penafsiran. Ini
meliputi ilmu bahasa (lingusitik), ilmu nahwu (sintaksis), ilmu qira'at
(stilistika al-Qur'an), ilmu tajwid (makhorijul huruf), dan ilmu tafsir dzahir
(ilmu tafsir yang sudah dijelaskan pembahasannya oleh para peneliti
al-Qur'an dalam buku-buku ulum al-Qur'an). Kedua, ilmu hasil
rasio, mencakup ilmu hasil sejarah masa pertama Islam, ilmu kalam atau filsafat
teologi, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu mengetahui Tuhan dan hari
akhir (melalui penggabungan potensi akal dan instuisi), ilmu tentang jalan
lurus dan tariqoh dalam sufisme.[18]
b.
As-Suyuthi
As-Suyuti menunjukkan bahwa ia
setuju dengan adanya tafsir 'ilmy. Dalam berbagai tulisannya tentang
teori penafsiran al-Qur'an, ia banyak menekankan penguasaan kebahasaan dan
sumber-sumber riwayat al-Matsur dalam memahami teks-teks al-Qur'an.[19]
c.
Muhammad Bin Ahmad al-Iskandarani
Ia memberikan penyataan bahwa
al-Qur'an mengandung ilmu atas teori ilmiah yang menetapkan I'jaz al-Qur'an.
Di dalam bukunya yang berjudul kasyf al-asrar al-nuranniyah al-qur'aniyah (menyikapi
rahasia-rahasia berlian al-Qur'an). Ia menetapkan bahwa ilmu yang banyak
ditetapkan al-Qur'an dalam bentuk hakikat alam, penciptaan hewan, tumbuhan dan
barang tambang.[20]
3.
Ulama-Ulama yang tidak
Membolehkan Tafsir ‘ilmy
Bagi ulama
yang tidak membolehkan tafsir ilmiah, ia mendasarkan argumentasinya pada hadist
Nabi yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari Ibnu 'Abbas r.a bahwasannya
Rasulalloh bersabda:
"Barangsiapa yang berbicara
atau menafsirkan al-Qur'an dengan pemikirannya apa yang tidak ia milikinya
pengetahuan, maka bersiaplah ia menempatkan tempat duduknya di neraka".
Adapun
beberapa ulama yang melarang atas praktik tafsir ilmiah adalah:
a.
Asy-Syatibi[21]
Para ulama anti tafsir 'ilmy
masa klasik dipimpin oleh ulama-ulama ahli ushul fiqh, seperti Abu Ishaq
Ibrahim bin Musa Asy-syatibi al-Andalusia. Hal ini dapat diketahui dalam
kitabnya muwafaqat, yang membahas tentang maksud dan tujuan hukum dalam
Islam. Menurutnya, hukum Islam telah diselewengkan dengan hal-hal yang bathil
seperti ilmu sihir, ilmu ramalan, dan semacamnya. Kebanyakan dari ilmu tersebut
melakukan dugaan atas pengetahuan tentang yang gaib dengan yang tidak ada
petunjuk atau bukti kuat.
Asy-Syatibi berargumen bahwa ulama
salaf pada zaman sahabat Nabi, tabi'in dan generasi berikutnya, mereka adalah
orang-orang yang paling memahami al-Qur'an dan ilmu-ilmu yang berada di
dalamnya tetapi mereka justru tidak menyampaikannya kepada kita tentang hukum
dan ketetapan masa mukhtahir yang harus dilakukan saat ini. Kalau memang ada
ketentuan tafsir ayat-ayat ilmu pengetahuan maka mereka akan memberikan
petunjuk asal-asal masalah dari tafsir tersebut.
Asy-Syatibi mengungkapkan tentang
urgensitas hukum dibandingkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan. Sebab
baginya, terlaksananya hukum islam dapat memicu kemajuan umat Islam di bidang
lainnyam dan yang terpenting adalah mengarus utamakan peningkatan ilmu dengan
tidak yang gaib, tetapi dengan dalil dan bukti kuat serta menjadikan ilham dan
instuisi sebagai bagian dalam memperoleh ilmu dan realitas.
b.
Rasyid Ridho
Ia mengkritik para mufassir
yang menafsirkan ayat al-Qur'an yang dapat menjauhkan penjelasannya dari
kesesuaian suatu kata sehingga dapat menghalangi maksud ayat yang sedang
dibahas. Baginya mengetahui alam (al-kawn) dan sunatulloh
merupakan alat untuk membantu dalam memahami teks al-Qur'an.[22]
c.
Musthafa al-Maraghi
Musthafa al-Maraghi tidak
menginginkan ayat al-Qur'an tunduk kepada teori ilmiah, tetapi ayat al-Qur'an
diperuntukkan bagi realitas ilmiah yang sudah mapan dan untuk kaidah-kaidah
ilmiah yang sudah tetap.[23]
d.
Muhammad Syaltut
Ia mengatakan bahwa adanya para muafassir
yang menafsirkan al-Qur'an berdasarkan teori-teori ilmiah dan mereka
menyesuaikan ayat-ayat al-Qur'an dengan kaidah-kaidah ilmu alam yang sudah ada,
bahkan mereka beranggapan bahwa yang demikian itu adalah untuk mengagungkan
al-Qur'an dan meninggikan Islam. Tentu saja hal itu adalah keliru menurutnya,
karena Allah menrunkan al-Qur'an kepada umat manusia bukan untuk membicarakan
teori ilmiah, sehingga menjadikan mereka melakukan pentakwilan yang dipaksakan
yang menafikan I'jaz al-Qur'an dan tidak memberikan conoth, presepsi
atau daya rasa yang benar.[24]
D.
Analisis
Pro dan Kontra terhadap tafsir ‘ilmy
Berdasarkan
pembahasan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang sangat dipengaruhi oleh
latar belakang mufassir dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada.
Latar belakang mufassir termasuk di dalamnya adalah perbedaan tingkat
kecerdasan (pendidikannya). Factor lainnya yaitu pada disiplin keilmuan yang
digelutinya, hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang paling akhir
dan kondisi social lingkungan sekitarnya yang berpengaruh besar pada cara
berfikir seseorang terhadap isi kandungan ayat al-Qur'an.[25]
Menurut
Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul "membumikan al-Qur'an"
perlu menggaris bawahi, bahwa apa yang diperembahkan oleh para ahli dalam
berbagai disiplin ilmu sangat bervariasi dari segi kebenarannya, maka dilarang
menafsirkan al-Qur'an secara spekulatif, artinya penemuan-penemuan ilmiah yang
belum mapan tidak dapt dijadikan dasar dalam menafsirkan al-Qur'an.[26]
Selain itu,
korelasi antara al-Qur'an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau
tdiaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi lebih utama
adalah melihat adakah al-Qur'an atau jiwa ayat-ayatnya mengahalangi perkebangan
ilmu pengetahuan atau malah mendorongnya. Karena kemajuan ilmu pengetahuan
tidak hanya diukru melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau
kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan
syarat-syarat psikologis social yang diwujudkan. Sehingga mempunyai pengaruh
(positif ataupun negatif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
Setiap muslim
bahkan setiap orang berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab suci yang
dipercayainya. Walaupun demikian, hal tersebut bukan berrati bahwa setiap orang
bebas untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an atau menyebarluaskan pendapatnya
tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai maksud tersebut.
Oleh karena
itu, jalan tengah antara pro dan kontra yang dihadapi tentang boleh tidaknya
ilmu pengetahuan dijadikan sebagai dasar penafsiran al-Qur'an, yaitu perlu
adanya kaidah-kaidah yang dipergunakan dalam menafsirkan ak-Qur'an yang
bercorak ilmiah. Adapun kaidah-kaidah tersebut dapat kita rumuskan sebagai
berikut:[27]
1.
Dalam menafsrikan ayat-ayat
al-Qur'an yang berkautan dengan alam semesta harus sesuai dengan susunan
al-Qur'an.
2.
Tidak keluar dari batasan tafsie
sehingga tidak menyodorkan teori ilmiah yang kontardiktif.
3.
Seorang mufassir hedanknya
menetapkan teori ilmiah yang berasal dari isyata-isyarat al-Qur'an yang terkait
dengan ayat-ayat alam semesta.
4.
Tidak hanya membwa ayat-ayat
al-Qur'an kepada teori-teori ilmiah, sebab jika teori-teori tersebut sama
dengan makna ayat-ayat al-Qur'an, maka itu sebuah kenikmatan bagi teori ilmiah
dan jika sebaliknya maka jangan dipaksakan.
5.
Menjadikan kandungan ayat-ayat
tentang alam sebagai dasar bagi makna sekitar yang melingkupinya dalam
penjelasan dan penafsiran yang ia lakukan.
6.
Hendaklah selalu berpegangan pada
makna kebahasaan dalam semantic arab terhadap ayat-ayat yang ingin ia jelaskan
isyarat-isyarat ilmiahnya, karena al-Qur'an adalah bahasa arab.
7.
Tidak menyalahi isi syariat islam
dalam penafisrannya.
8.
Penafsirannya sesuai dengan mufassir
itu sendiri tanpa ada pengurangan yang diperlukannya dalam menjelaskan makna
isyarat ayat tersebut, juga tidak menambah penjelasan yang tidak layak dengan
tujuannya dan tidak sesuai dengan kondisi ayat.
9.
Hendaklah memelihara susunan antara
ayat-ayatnya, dan juga memelihara kesesuaian dan kedekatannya sehingga terjalin
ikatan antar ayat. Supaya dapat diperoleh satu tema terpadu.
Adanya
kaidah-kaidah tersebut mengharuskan seorang mufassir memilki metodologi
penafsiran ayat-ayat ilmiah, dan mengharuskan mufassir menggali dua
disiplin ilmu sekaligus, yaitu disiplin ilmu pengetahuan yang akan ditelitinya
dan disiplin ilmu penafsiran al-Qur'an yang merupakan pengembangan yang sesuai
dengan metode ilmu pengetahuan yang sedang ditelitinya. Seorang peneliti ilmiah
menurut sudut pandang filsafat ilmu harus memahami hakikat ilmu pengetahuan
dari suatu bidang yang ditelitinya, menentukan focus penelitian, melakukan
kerja metodologi sesuai dengan bidang ilmu pengetahuan yang ditelitinya dengan
memperhatikan tujuan ilmu pengetahuan yang ditelitinya, dan mengkaji
teori-teori yang sudah muncul sebelumnya. Selanjutnya, seorang mufassir harus
mampu menentukan ayat-ayat yang berkaitan dengan kajian ilmu yang sedang
ditelitinya sambil memilih atau menggabungkan beberapa metode pemahaman suatu
teks yang tepat dan selanjutnya menganalisis teks yang dimaksud. Selalu
berpegang teguh kepada persyaratan dan tata cara atau adab (etika) dalam
menafsirkan al-Qur'an.[28]
Menurut Andi
Rosadisastra dalam bukunya yang berjudul "metodologi ayat-ayat sains dan
sosial", ia merumuskan beberapa metode-metode yang harus dipakai dalam
menafsirkan ayat-ayat bersifat ilmiah, yakni:
1.
Menentukan subtopik pembahasan.
2.
Memahami hakikat ilmu pengetahuan
atau realitas atau subtopik pembahasan.
3.
Melakukan kerja penelitian di
lapangan atau di laboratorium atas subtopik pembahasan (jika diperlukan).
4.
Menentukan ayat-ayat yang relavan
dengan topik pembahasan.
5.
Memilih metode pemahaman teks ayat.
6.
Analisis teks ayat dengan konteks
dan hakikat ilmu dan realitas subtopik pembahasan.[29]
III.
KESIMPULAN
Pro dan kontra terhadap tafsir 'ilmy
di kalangan para ulama tentang kebolehan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan
menjadikan temuan-temuan ilmiah sebagai salah satu penafsirannya. Terdapat dua
golongan yang membolehkan dan yang melarangnya. Pertama, mereka yang
membolehkan mendasarkan argumentasinya kepada ayat-ayat al-Qur'an yang
mengehndaki manusia untuk berfikir terhadap segala apa yang diciptakan Allah SWT. Kedua, adalah orang-orang
yang melarang kajian tafsir 'ilmy karena ditakutkan seseorang terjerumus
kepada nalarnya yang didasarkan pada hadis nabi, di mana jika seseorang
menafsirkan dengan akalnya tanpa mengetahui ilmunya maka ia harus mempersiapkan
kedudukannya di neraka.
Terlepas dari adanya pro dan kontra
serta kritik-kritik terhadap praktik kajian tafsir 'ilmy, hendaknya para
ulama yang membolehkan kajian ini merumuskan kembali kaidah-kaidah atau
aturan-aturan yang harus dipakai oleh seorang mufassir dalam menafsirkan
ayat-ayat ilmiah, sehingga ia tidak terjerumus dalam penafsiran yang salah. Di
samping kaidah-kaidah yang diperlukan oleh mufassir, dibutuhkan pula
metodologi penafsiran ayat-ayat ilmiah agar sampai pada makna tujuan al-Qur'an.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid,
Imam al-Ghazali. Ihya 'ulumuddin. Juz IV.tth. Beirut: Dar al-Fikr.
. Jawahir Al-Qur'an.tth. Kairo: Dar
al-Maktabah al-Haiah.
Al-Iyyazi,
Sayyid. Al-Mufassirun hayyatun wa manhajjun, wizarat ast-staqafah wa
al-irsyad al-islamy. Cet I. 1373. Beirut: Dar al-Fikr.
Arya, Wisnu
Wardana. Al-Qur'an dan Energi Nuklir. 2004. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
As-Suyuti,
Jalauddin. Al-itqan fi Ulum al-Qur'an. Jilid II.tth. Beirut: Dar al-Fikr
Asy-Syatibi,
Ishaq Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syatibi. Jilid
II.tth.ttp
Ash-Shiddieqy,
Hasbi. Ilmu-ilmu Al-Qur'an. 2002. Semarang: Rizki putra.
Baidan
Nashiruddin. Rekonstruksi Ilmu Tfasir. 2000. Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa.
Baiquni,
Ahmad. Filsafat Fisika dalam Al-Qur'an. 1990. Jakarta: Ulumul Qur'an.
Bucaille,
Maurice. Terj. Rosyidi. Bible Qur'an dan Sains Modern.tth. Jakarta:
bulan Bintang.
Djay, Rahman. Al-Qur'an
dalam Fokus Kosmologi Modern. 1990. Jakarta: Ulum al-Qur'an.
Fath, 'Abd
Al-Rahman. Ittjah al-Tafsir al-Qarn al-Rabi 'Asyar. 1986. Mamkalah
al-'Arabiyyah al-Syu'udiyah.
Jansen, J.J.G.
The Interpretation of the Koran in Modern Egipt. Diterjemahkan oleh
Hairussalim dan Syarif Hidayatulloh. Diskursus Tafsir al-Qur'an Modern.
1997. Yogyakarta: Tiara Wicana.
Kadar, M.
Yusuf. Studi Qur'an. 2009. Jakarta: Amzah.
Kamil,
Muhammad Abdush Salam. Al-'Ijaz al-'Ilmy al-Islam fi al-Qur'an al-Karim. Cet
III. 1996. Al-Lubaniyyah Kairo.
Majid, Abdul
Abdussalam al-Muhtasib. Ittjahat al-Tafsir fi 'Ashr al-Hadist. Beirut:
Dar al-Fikr.
Quraish
Shihab, Muhammad. Membumikan al-Qur'an. 1994. Bandung: Mizan.
Nor, Muhammad
Ichwan. Tafsir 'ilmy Memahami al-Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern.
2004. Jogyakarta: Menara Kudus.
Rosadisastra,
Andi. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial. Cet I. 2007. Jakarta:
Amza.
[1]
Mohammad No Ichwan. Tafsir ‘ilmy;
Memahami al-Qur’an melalui Pendekatan Sains Modern. 2004. Yogyakarta:
Menara Kudus. Hlm: 129
[2]Kadar
M Yusuf. Studi Qur’an. 2009. Jakarta:
Amzah. Hlm: 161-162
[3]Muhammad
Kamil Abdush Shamad. Al-I’jaz al-‘Ilmy
Al-Islam fi al-Qur’an al-Karim. Cet III. 1996. Kairo: Al-Lubaniyyah. Hlm:
24
[4]J.J.G
Jansen. The Interpretation Of The Koran
In Modern Egipt. Diterjemahkan oleh Hairussalim dan Syarif Hidayatulloh. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. 1997.
Yogyakarta: Tiara Wacana. Hlm: 55.
[5]Fath
‘Abd al-Rahman. Ittijah al-Tafsir al-Qarn
al-Rabi ‘Asyar. 1986. Mamkalah al-‘Arabiyyah al-Syu’udiyah. Hlm: 549
[6]Maurice
Bucaille. Terj. Rosyidi. Bible, Qur’an
dan Sains Modern. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm: 251.
[7]Abdul
Majid Abdussalam al0muhtasib. Ittijahat
al-Tafsir Fi ‘Ashr al-Hadist. Tth.Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 245
[8]Nashruddin
Baidan. Rekonstruksi Ilmu Tafsir.
2000. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. Hlm: 127
[9]Andi
Rosadisastra. Metode Tafsir Ayat-ayat
Sains. Cet I. 2007. Jakarta: Amza. Hlm: 24
[10]
Wisnu Arya Wardana. Op.cit. hlm: 66
[11]
Ibid,.. hlm: 66-67
[12]
Untuk lebih lengkapnya baca Wisnu Arya Wardana. Al-Qur’an... hlm: 68-69
[13]
Ahmad Baiquni. Filsafat Fisika dalam
al-Qur’an. 1990. Jakarta: ulumul Qur’an. Hlm: 9-10
[14]
Rahman Djay. Al-Qur’an dalam Fokus
Kosmologi Modern. 1990. Jakarta: Ulumul qur’an. Hlm: 17
[15]
Wisnu Arya Wardana. Op.cit. hlm:
58-59
[16]
Hasbi Ash-shidiqiey. Ilmu-ilmu al-Qur’an.
2002. Semarang: Rizki Putra. Hlm: 263-264
[17]
Imam Abu Hamid al-Ghazali. Ihya’
Ulumddin¸Juz IV.tth. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 369
[18]
Imam Abu Hamid al-Ghazali. Jawahir
al-Qur’an.tth. Kairo: dar al-Maktabah al-Haiah, hlm: 18-19.
[19]
Jalauddin As-Suyuti. Al-Itqan fi Ulum
al-Qur’an. Jilid II.tth. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 126-127.
[20]
Sayyis al-Iyyazi. Al-Mufassirun Hayyatun
wa manhajjuhum, Wizarat ast-tsaqafah wa al-Ursyad al-Islamiy. Cet I. 1373.
Hlm: 584-585
[21]
Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syatibi.
Al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syatibi. Jilid II.tth.ttp. hlm: 280
[22]
Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib.
Al-ittijahat at-tafsir fi ‘ashr al-hadist.tth. Beirut: Dar al-Fikr.
Hlm:269.
[23]
Ibid,.. hlm: 308
[24]
Ibid,.. hlm: 305-306
[25]
Wisnu Arya Wardana.op.cit. hlm: 54
[26]
M Quraish Shihab. Membuk=mikan al-Qur’an.
1994. Bandung: Mizan. Hlm: 109
[27][27]
Andi Rosadisastra. Metode Tafsir
Ayat-ayat Sains dan Sosial. 2007. Jakarta: Amzah. Hlm: 9-11
[28]
ibid,.. hlm: 11-12
[29]
Ibid,.. hlm: 12-13
No comments:
Post a Comment