Wednesday 25 February 2015

KAJIAN CORAK TAFSIR ‘ILMY (Analisis Pro dan Kontra terhadap Kajian Tafisr ‘ilmy)


I.         PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman Allah SWT (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang di dalamnya terdapat petunjuk-petunjuk untuk umat Islam. Di antara tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Pedoman tersebut baik berupa pedoman yang mengatur hidup manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia ataupun manusia dengan alam.
Meskipun al-Qur’an merupakan pedoman bagi umat Islam, namun untuk menjadikannya suatu pedoman, seseorang haruslah  membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap makna bahkan kandungan ayat yang tersurat maupun yang tersirat di dalam al-Qur’an. Pemahaman terhadap al-Qur’an inilah bisa berupa penafsiran (tafsir) al-Qur’an dengan menggunakan metode-metode tertentu. di mana hasil metode inilah yang menghasilkan corak penfsiran al-Qur’an oleh seorang mufassir.
Corak penafsiran seorang mufassirterhadap al-Qur’an akan berbeda-beda karena seorang mufassir dalam memahami ayat al-Qur’an lebih didasarkan pada background keilmuan yang dimilikinya. Bagi mereka yang menggeluti bidang kebahsaaan, maka tafsirnya pun juga sarat akan muatan gramatika dan balagahnya dalam memahamki teks-teks al-Qur’an, sehingga penafsirannya pun bercorak kebahasaan (lughowi). Mereka yang ahli hukum, maka pemahamannnya akan bercorak hukum (fiqhy). Demikian juga model pemahaman yang lebih menggunakan temuan-temuan dalam bidang sains modern dan teknologi yang telah mapan sebagai sarana dalam memahami ayat al-Qur’an, maka tafsirnya pun bercorak ilmiah (tafsir ‘ilmy).[1]
Akibat perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan semakin berkembang, berdampak pula terhadap kajian corak tafsir ‘ilmy, dimana dalam perkembangannya al-Qur’an sebagai kitab suci yang ditafsir selalu dibanding-bandingkan dengan perkembangan zaman khususnya ayat-ayat yang bersifat kauniyah. Maka untuk lebih spesifik dan terarah, maka pemakalah membuat dua rumusan masalah terkait kajian corak tafsir ‘ilmy, yakni:
1.      Bagaimana pro dan kontra terhadap kajian tafsir ‘ilmy dikalangan para ulama?
2.      Bagaimana analisis dan argumentasi terhadap pro dan kontra kajian tafsir ‘ilmy?
II.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir ‘Ilmy
Tafsir ‘ilmy yaitu penafsiran al-Qur’an yang bercorak ilmu pengetahuan modern khususnya sains eksakta. Penafsiran al-Qur’an bercorak ‘ilmy ini selalu mengutip teori-teori ilmiah yang berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Didalam menjelaskannnya mufassir menggunakan pendekatan ilmiah dengan menjelaskan ayat al-Qur’an sesuai dengan teori ilmiah yang merupakan hasil temuan para ilmuan melalui penelitian yang mereka lakukan.[2]
           Muhammmad Kamil Abdush Shamad, dalam kitabnya al-I’jaz Al-‘Ilmy Al-Islam Fi al-Qur’an al-Karim. Ia mendefinisikan tafsir ‘Ilmy dengan menggunakan istilah i’jaz, yaitu memperluas petunjuk ayat al-Qur’an dan mendalami makna-maknanya dalam realitas alam dan ide kemanusiaaan, dengan menggunakan cara-cara ilmiah modern dalam perluasan petunjuk ayat yang dimaksud.[3]
           Tafsir ‘ilmy atau yang dalam terminologi Jansen disebut sebagai sejarah alam (Natural History).[4] Disamping itu Fath Abd al-Rahman memberikan pengertian tafsir ‘ilmy adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang mufassir dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an dengan penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan kemu’jizatan al-Qur’an.[5]
           Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir ‘ilmy yaitu memahami teks-teks al-Qur’an dengan cara menjadikan penemuan-penemuan sains modern dan atau melalui fakta-fakta ilmiah lainnya. Sehingga dapat ditemukan korelasi antara temuan ilmu pengetahuan tersebut dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Tafsir ‘ilmy oleh ilmuan non muslim “Maurice Bucaille” seorang dokter bedah kebangsaaan Prancis melakukan penelitian (research) dan observasi secara khusus tentang hakikat ilmiah yang kemudian membandigkannya dengan kitab suci al-Qur’an dan Bible. Menurutnya al-Qur’an tidak saja berbicara tentang surga dan neraka tetapi juga berbicara tentang penemuan mutakhir. Al-Qur’an seakan-akan mempunyai warna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern.[6]
Corak tafsir ilmiah ini sebenarnya sudah ada sejak abad ketiga belas. Bahkan menurut al-Muhtasib, embrionya sudah ada sejak masa Dinasti Abbasiyah. Khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (wafat 853 M), akibat dari  penerjemahan kitab-kitab ilmiah.[7]
Dalam sejarah pemerintahan islam. Dinasti ‘Abbasiyah merupakan salah satu dinasti terlama yang mampu mampu bertahan lebih dari lima abad lamanya (750-1258). Pada masa ini, peradaban umat islam telah mencapai puncak keemasannya baik dalam bidan ilmu-ilmu agama, sastra, sejarah, ilmu kedokteran, matematika, fisika, astronomi dan lain sebagainya.
Alasan utama untuk mendorong para mufassir menulis tafsirannya dengan corak ini adalah disamping banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang baik secara eksplisit maupun implisit memerintahkan manusia untuk menggali ilmu pengetahuan juga untuk menggali dimensi kemu’jizatan al-Qur’an bidan ilmu pengetahuan modern.[8]
Selain fungsinya sebagai i’jaz (pembuktian atas kebenaran teks al-Qur’an) dan tabyin (penjelasan teks al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh san mufassir), tafsir ‘ilmy juga berfungsi sebagai istikhraj al-‘ilmy yaitu teks ayat al-Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern.[9]
B.     Contoh Tafsir ‘imy (Sains/Ayat-ayat Kauniyah)
Apabila diperhatikan secara cermat terdapat banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung masalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga tidak ada salahnya jika al-Qur’an disebut sebagai sumber segala ilmu. Ada beberapa ayat yang menunjukkan hubungan erat antara al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk di dalamnya berbicara tentang ilmu astronomi. Salah satu perhitungan yang tepat dalam ilmu astronomi adalah perhitungan matahari dan bulan yang ikut berperan dalam menentukan perhitungan dan pergantian waktu (hari, bulan dan tahun). Salah satunya terdapat dalam QS. Yunus (10): 5 berikut ini:
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ
 “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak (Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
Pada waktu ayat tersebut diturunkan, orang belum mengenal pengertian orbit suatu planet. Kebanyakan orang pada saat itu bahwa bumi adalah datar dan bumi merupakan pusat alam semesta ini, artinya bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Pendapat seperti ini juga adalah pendapat gereja dan diyakini berasal dari kitab Bible, sehingga pendapat yang bertentangan dengan itu harus disingirkan. Keinginan untuk mengetahui lebih lanjut tentang keadaan yang sebenarnya yang didukung oleh penelitian yang ilmiah, menjadikan peneliti bidang astronomi ingin mencari jawaban yang memuaskan sehingga pada sekitar tahun 1500 seorang ahli astronomi “Nicolas Copernicus” (orang polindia) mengemukakan hipotesa teori “heliocentris” yang mengatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari dan matahari adalah pusatnya. Planet-planet lain juga berputar mengelilingi matahari pada garis edarnya masing-masing (orbit).[10]
Pendapat ini sudah tentu bertentangan dengan gereja. Copernicus sengaja mengemukakan teori Heliocentris menjelang ajalnya pada tahun 1543 karena Copernicus takut dihukum mati oleh gereja. Selain Nicolas Copernicus, ada juga seorang ilmuan Jerman Johannes Kepler yang mengemukakan teorinya tentang heliocentris. Kemudian ilmuan berkebangsaan Italia, Galilio Galilei (1564-1642) yang meneliti  tentang teropong bintang buatan ahli optik Belanda. Dengan menggunakan teropong tersebut Galileo lebih yakin bahwa bulan berputar pada porosnya dan berputar mengelilingi matahari.[11]
Apabila dikaji sesungguhnya apa yang dikemukakan oleh para ilmuan di atas tersebut adalah benar dan sesuai dengan ayat al-Qur’an yang sudah lebih dulu menyatakannya.[12]
Terkait dengan penciptaan alam semesta, diketahui dalam al-Qur’an surat al-Anbiya’ (21):30 memberikan petunjuk bahwa alam semesta berasal dari sesuatu yang padu dan mengalami ledakan besar atau sering kita kenal sebagai  teori Big Bang. Teori ini diungkap oleh para ilmuan sekitar awal abad ke-20 (1927M) yakni sekitar 1350 tahun setelah al-Qur’an diturunkan, ternyata al-Qur’an lebih dahulu mengungkapkan teori ini. Ayat al-Qur’an tersebut yaitu:
óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ  
dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?
Menurut A.Baiquni salah seorang fisikawan ledakan yang sangat dahsyat nagaikan bola api, maka energi dan materi beserta ruang dan waktu keluar dengan kekuatan yang dahsyat dengan temperatur daun kerapatan yang sangat tinggi. Lanjutnya, alam semesta lahir dari sebuah singularitas denag keadaan ekstrim. Di sini terliaht kenyataan bahwa semula alam semesta tidak ada.[13]
            Setelah ledakan besar (big bang) sebagai teori standar, kemudian ilmuwan mengungkapkan bagaimana penciptaan alam semesta pada enam tahap yang dikenal sebegai proses universum. Pertama, pemuaian universum yang disebut sebagai "era planck" (waktu 0-10-43 detik)menunjukkan bahwa prilaku universum ditentukan oleh efek kuantum dengan temperature >1032 K. kedua, era hadron yang lamanya dari t=10-43 detik sampai t=7x10-5 detik. Dalam era hadron, jika temparatur >1.6x10-12 K banyak terbentuk meson dan antimeson. Nukleon (proton dan neutron) banyak terbentuk pada temparatur >1013 K. pada t=10-35 detik masih ada satu gaya, tetapi pada t=10-12 sudah lahir gaya elektroweek yaitu gabungan gaya elektromagnetik dan gaya lemah nuklir. Ketiga, memasuki era lepton yaitu suatu kurun waktu dari t=7x10-5 detik (temparatur 1.6x10-12 K) hingga t=5 detik (temparatur 6x109 K). keempat, era radiasi berlangsung dari t=5 detik sampai t=5x105 tahun (temparatur menurun dari 6x109 K menjadi 4x103 K). dalam era ini proses radiasi masih dominan dari pada pembentukkan materi. Kelima, adalah proses pembentukkan protogalaxi dan protocluster oleh mekanisme. Pada era ini juga terjadi ketidakstabilan gravitasi dan turbulans yang berasal dari universum tatkala masih awal. Keenam, yaitu keruntuhan protogalaxi untuk membentuk galaksi-galaksi seperti yang diamati dewasa ini (t=3x108 tahun sampai sekarang). Skenario pertama terjadi jika protogalaxi adalah gas, dan skenario kedua terjadi jika protogalaxi adalah bintang.[14]
Hal ini telah lebih dahulu dijelaskan dalam al-Qur'an surat Hud (11): 7
`yJsùr& tb%x. 4n?tã 7poYÉit/ `ÏiB ¾ÏmÎn/§ çnqè=÷Gtƒur ÓÏd$x© çm÷YÏiB `ÏBur ¾Ï&Î#ö7s% Ü=»tFÏ. #ÓyqãB $YB$tBÎ) ºpyJômuur 4 y7Í´¯»s9'ré& tbqãZÏB÷sム¾ÏmÎ/ 4 `tBur öàÿõ3tƒ ¾ÏmÎ/ z`ÏB É>#tômF{$# â$¨Y9$$sù ¼çnßÏãöqtB 4 Ÿxsù à7s? Îû 7ptƒóÉD çm÷ZÏiB 4 çm¯RÎ) ,ysø9$# `ÏB y7Îi/¢ £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Y9$# Ÿw šcqãYÏB÷sムÇÊÐÈ  
“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang  nyata (Al Quran) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat?. mereka itu beriman kepada Al Quran. dan Barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Quran, Maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Quran itu. Sesungguhnya (Al Quran) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuktikan bahwa al-Qur'an memang merupakan  kebenaran wahyu yang bersumber daru Tuhan. Kebenarannya dapat dengan perkembangan zaman dan kebenarannya pula tidak dapat disangkal oleh siapapun meskipun mereka mempunyai ilmu pengetahuan dan akal yang sangat tinggi.
C.    Pro dan Kontra Terhadap Perkembangan Tafsir ‘ilmy
1.      Dampak Tercampurnya Ilmu Pengetahuan dengan Ayat-ayat al-Qur’an
Al-Qur'an telah mencakup segala bidang ilmu penegtahuan, baik ilmu pengetahuan terdahulu, masa kini ataupun masa yang akan dating. Di sinilah peran manusia sebagai hamba Allah yang berakal untuk selalu menggunakan akalnya dalam berfikir sehingga mendapatkan suatu pengetahuan. Manusia yang selalu menggunakan akalnya untuk berfikir yaitu termasuk kaum "ulul albab" ialah kaum yang selalu berdzikir mengingta kepada Allah, yang selalu memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Hal ini telah dijelaskan dalam QS. Al-Imran (3): 190-191
Berdasarkan uraian di atas, al-Qur'an ternyata merangsang manusia untuk selalu ingin menggunakan akal (pikirannya) dalam mencari jawaban atas penciptaan langit dan bumi. Usaha manusia untuk mencari jawaban yang dimaksud merupakan awla mula timbulnya tradisi penelitian dan pengamatan terhadap alam sekitarnya yang pada akhirnya akan menjadi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan oleh manusia. Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya tentulah tidak sia-sia pasti ada maksud yang baik untuk manusia.[15]
Terdapat beberapa pengaruh tercampurnya ilmu-ilmu umum dengan tafsir termasuk ilmu pengetahuan, yaitu:
a.       Berjalan seiring dengan pikiran-pikiran manusia dan menafsirkan al-Qur'an dengan cara memenuhi hajat mereka, baik dari segi intelektual maupun dari segi pengetahuan umum.
b.      Menegtahui jalan-jalan baru bagi kemukjizatan al-Qur'an baik dari segi isinya maupun dari segi lainnya.
c.       Menolak pendakwaan yang mengatakan bahwa adanya permusuhan antara agama dengan ilmu pengetahuan.
d.      Menarik orang-orang non-muslim kepada agama Islam dengan jalan ilmiah yang mereka kagumi.
e.       Mengetahui manfaat-manfaat dengan kekuatan alam, di samping dapat memenuhi jiwa dengan keagungan Allah dan Qudrat-Nya dikala masing-masing manusia menafsirkan kalam Allah seperti yang digambarkan oleh ilmu-ilmu umum.[16]
Dari pengaruh adanya tafsir yang dihubungkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan beberapa ulama mufassirin bertentangan tentang boleh atau tidaknya penafsiran dengan metode ilmiah. Sebagian ulama membolehkan penemuan-penemuan ilmiah sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur'an dan ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya.
2.      Ulama-Ulama yang Membolehkan Tafsir ‘ilmy
Pendapat ulama yang membolehkan tafsir 'ilmy mendasarkan argumentasinya kepada ayat-ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang perintah untuk menggunakan akal pikiran dalam mengingat dan merenungkan ciptaan Allah. Di antara ayat yang berbicara tentang akal pikiran manusia telah disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur'an QS al-Imran (3): 190-191.
Selain itu ulama yang memeperbolehkan tafsir dengan jalan ilmiah mendasarkan alasannya bahwa kebenaran al-Qur'an itu dapat dibuktikan dengan tanda-tanda kebesarannya. Hal ini telah dijelaskan dalam QS Fushilat (41): 53
óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­ ÇÎÌÈ  
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Adapun ulama-ulama yang memperbolehkan tafsir 'ilmy di antaranya adalah:
a.       Abu Hamid al-Ghazali
Menurutnya, semua pemahaman tentang al-Qur'an yang terbentuk atas dasar analisis atau nalar yang terdiri atas bagian teori tentang alam, dan hasil pemikiran merupakan rumusan dan petunjuk dari al-Qur'an yang hanya dapat diperoleh oleh para ilmuwan yang ingin memahami rahasiaNya. Oleh karena itu, menurut Imam Ghazali pemhamaman sebatas lahir saja tidak akan mengantarkan pemahaman al-Qur'an yang sesungguhnyam kecuali melalui pemahaman oleh berbagai pakar. Karena di dalam al-Qur'an terdapat ciptaan-ciptaan, teori-teori, dan obyek-obyek penelitian. Teori-teori dan dalil-dalil yang terdapat di dalam al-Qur'an hanya dapat dimengerti oleh mereka yang ahli dalam bidangnya.[17]
Selanjutnya, di dalam kitabnya Jawahir al-Qur'an, Imam Ghazali membagi ilmu-ilmu al-Qur'an menjadi dua baian besar. Pertama, ilmu hasil riwayat dan ilmu dasar penafsiran. Ini meliputi ilmu bahasa (lingusitik), ilmu nahwu (sintaksis), ilmu qira'at (stilistika al-Qur'an), ilmu tajwid (makhorijul huruf), dan ilmu tafsir dzahir (ilmu tafsir yang sudah dijelaskan pembahasannya oleh para peneliti al-Qur'an dalam buku-buku ulum al-Qur'an). Kedua, ilmu hasil rasio, mencakup ilmu hasil sejarah masa pertama Islam, ilmu kalam atau filsafat teologi, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu mengetahui Tuhan dan hari akhir (melalui penggabungan potensi akal dan instuisi), ilmu tentang jalan lurus dan tariqoh dalam sufisme.[18]
b.      As-Suyuthi
As-Suyuti menunjukkan bahwa ia setuju dengan adanya tafsir 'ilmy. Dalam berbagai tulisannya tentang teori penafsiran al-Qur'an, ia banyak menekankan penguasaan kebahasaan dan sumber-sumber riwayat al-Matsur dalam memahami teks-teks al-Qur'an.[19]
c.       Muhammad Bin Ahmad al-Iskandarani
Ia memberikan penyataan bahwa al-Qur'an mengandung ilmu atas teori ilmiah yang menetapkan I'jaz al-Qur'an. Di dalam bukunya yang berjudul kasyf al-asrar al-nuranniyah al-qur'aniyah (menyikapi rahasia-rahasia berlian al-Qur'an). Ia menetapkan bahwa ilmu yang banyak ditetapkan al-Qur'an dalam bentuk hakikat alam, penciptaan hewan, tumbuhan dan barang tambang.[20]
3.      Ulama-Ulama yang tidak Membolehkan Tafsir ‘ilmy
Bagi ulama yang tidak membolehkan tafsir ilmiah, ia mendasarkan argumentasinya pada hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari Ibnu 'Abbas r.a bahwasannya Rasulalloh bersabda:
"Barangsiapa yang berbicara atau menafsirkan al-Qur'an dengan pemikirannya apa yang tidak ia milikinya pengetahuan, maka bersiaplah ia menempatkan tempat duduknya di neraka".
Adapun beberapa ulama yang melarang atas praktik tafsir ilmiah adalah:
a.       Asy-Syatibi[21]
Para ulama anti tafsir 'ilmy masa klasik dipimpin oleh ulama-ulama ahli ushul fiqh, seperti Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-syatibi al-Andalusia. Hal ini dapat diketahui dalam kitabnya muwafaqat, yang membahas tentang maksud dan tujuan hukum dalam Islam. Menurutnya, hukum Islam telah diselewengkan dengan hal-hal yang bathil seperti ilmu sihir, ilmu ramalan, dan semacamnya. Kebanyakan dari ilmu tersebut melakukan dugaan atas pengetahuan tentang yang gaib dengan yang tidak ada petunjuk atau bukti kuat.
Asy-Syatibi berargumen bahwa ulama salaf pada zaman sahabat Nabi, tabi'in dan generasi berikutnya, mereka adalah orang-orang yang paling memahami al-Qur'an dan ilmu-ilmu yang berada di dalamnya tetapi mereka justru tidak menyampaikannya kepada kita tentang hukum dan ketetapan masa mukhtahir yang harus dilakukan saat ini. Kalau memang ada ketentuan tafsir ayat-ayat ilmu pengetahuan maka mereka akan memberikan petunjuk asal-asal masalah dari tafsir tersebut.
Asy-Syatibi mengungkapkan tentang urgensitas hukum dibandingkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan. Sebab baginya, terlaksananya hukum islam dapat memicu kemajuan umat Islam di bidang lainnyam dan yang terpenting adalah mengarus utamakan peningkatan ilmu dengan tidak yang gaib, tetapi dengan dalil dan bukti kuat serta menjadikan ilham dan instuisi sebagai bagian dalam memperoleh ilmu dan realitas.
b.      Rasyid Ridho
Ia mengkritik para mufassir yang menafsirkan ayat al-Qur'an yang dapat menjauhkan penjelasannya dari kesesuaian suatu kata sehingga dapat menghalangi maksud ayat yang sedang dibahas. Baginya mengetahui alam (al-kawn) dan sunatulloh merupakan alat untuk membantu dalam memahami teks al-Qur'an.[22]
c.       Musthafa al-Maraghi
Musthafa al-Maraghi tidak menginginkan ayat al-Qur'an tunduk kepada teori ilmiah, tetapi ayat al-Qur'an diperuntukkan bagi realitas ilmiah yang sudah mapan dan untuk kaidah-kaidah ilmiah yang sudah tetap.[23]
d.      Muhammad Syaltut
Ia mengatakan bahwa adanya para muafassir yang menafsirkan al-Qur'an berdasarkan teori-teori ilmiah dan mereka menyesuaikan ayat-ayat al-Qur'an dengan kaidah-kaidah ilmu alam yang sudah ada, bahkan mereka beranggapan bahwa yang demikian itu adalah untuk mengagungkan al-Qur'an dan meninggikan Islam. Tentu saja hal itu adalah keliru menurutnya, karena Allah menrunkan al-Qur'an kepada umat manusia bukan untuk membicarakan teori ilmiah, sehingga menjadikan mereka melakukan pentakwilan yang dipaksakan yang menafikan I'jaz al-Qur'an dan tidak memberikan conoth, presepsi atau daya rasa yang benar.[24]
D.    Analisis Pro dan Kontra terhadap tafsir ‘ilmy
Berdasarkan pembahasan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakang mufassir dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Latar belakang mufassir termasuk di dalamnya adalah perbedaan tingkat kecerdasan (pendidikannya). Factor lainnya yaitu pada disiplin keilmuan yang digelutinya, hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang paling akhir dan kondisi social lingkungan sekitarnya yang berpengaruh besar pada cara berfikir seseorang terhadap isi kandungan ayat al-Qur'an.[25]
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul "membumikan al-Qur'an" perlu menggaris bawahi, bahwa apa yang diperembahkan oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmu sangat bervariasi dari segi kebenarannya, maka dilarang menafsirkan al-Qur'an secara spekulatif, artinya penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak dapt dijadikan dasar dalam menafsirkan al-Qur'an.[26]
Selain itu, korelasi antara al-Qur'an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tdiaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi lebih utama adalah melihat adakah al-Qur'an atau jiwa ayat-ayatnya mengahalangi perkebangan ilmu pengetahuan atau malah mendorongnya. Karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukru melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis social yang diwujudkan. Sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupun negatif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
Setiap muslim bahkan setiap orang berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab suci yang dipercayainya. Walaupun demikian, hal tersebut bukan berrati bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an atau menyebarluaskan pendapatnya tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai maksud tersebut.
Oleh karena itu, jalan tengah antara pro dan kontra yang dihadapi tentang boleh tidaknya ilmu pengetahuan dijadikan sebagai dasar penafsiran al-Qur'an, yaitu perlu adanya kaidah-kaidah yang dipergunakan dalam menafsirkan ak-Qur'an yang bercorak ilmiah. Adapun kaidah-kaidah tersebut dapat kita rumuskan sebagai berikut:[27]
1.      Dalam menafsrikan ayat-ayat al-Qur'an yang berkautan dengan alam semesta harus sesuai dengan susunan al-Qur'an.
2.      Tidak keluar dari batasan tafsie sehingga tidak menyodorkan teori ilmiah yang kontardiktif.
3.      Seorang mufassir hedanknya menetapkan teori ilmiah yang berasal dari isyata-isyarat al-Qur'an yang terkait dengan ayat-ayat alam semesta.
4.      Tidak hanya membwa ayat-ayat al-Qur'an kepada teori-teori ilmiah, sebab jika teori-teori tersebut sama dengan makna ayat-ayat al-Qur'an, maka itu sebuah kenikmatan bagi teori ilmiah dan jika sebaliknya maka jangan dipaksakan.
5.      Menjadikan kandungan ayat-ayat tentang alam sebagai dasar bagi makna sekitar yang melingkupinya dalam penjelasan dan penafsiran yang ia lakukan.
6.      Hendaklah selalu berpegangan pada makna kebahasaan dalam semantic arab terhadap ayat-ayat yang ingin ia jelaskan isyarat-isyarat ilmiahnya, karena al-Qur'an adalah bahasa arab.
7.      Tidak menyalahi isi syariat islam dalam penafisrannya.
8.      Penafsirannya sesuai dengan mufassir itu sendiri tanpa ada pengurangan yang diperlukannya dalam menjelaskan makna isyarat ayat tersebut, juga tidak menambah penjelasan yang tidak layak dengan tujuannya dan tidak sesuai dengan kondisi ayat.
9.      Hendaklah memelihara susunan antara ayat-ayatnya, dan juga memelihara kesesuaian dan kedekatannya sehingga terjalin ikatan antar ayat. Supaya dapat diperoleh satu tema terpadu.
Adanya kaidah-kaidah tersebut mengharuskan seorang mufassir memilki metodologi penafsiran ayat-ayat ilmiah, dan mengharuskan mufassir menggali dua disiplin ilmu sekaligus, yaitu disiplin ilmu pengetahuan yang akan ditelitinya dan disiplin ilmu penafsiran al-Qur'an yang merupakan pengembangan yang sesuai dengan metode ilmu pengetahuan yang sedang ditelitinya. Seorang peneliti ilmiah menurut sudut pandang filsafat ilmu harus memahami hakikat ilmu pengetahuan dari suatu bidang yang ditelitinya, menentukan focus penelitian, melakukan kerja metodologi sesuai dengan bidang ilmu pengetahuan yang ditelitinya dengan memperhatikan tujuan ilmu pengetahuan yang ditelitinya, dan mengkaji teori-teori yang sudah muncul sebelumnya. Selanjutnya, seorang mufassir harus mampu menentukan ayat-ayat yang berkaitan dengan kajian ilmu yang sedang ditelitinya sambil memilih atau menggabungkan beberapa metode pemahaman suatu teks yang tepat dan selanjutnya menganalisis teks yang dimaksud. Selalu berpegang teguh kepada persyaratan dan tata cara atau adab (etika) dalam menafsirkan al-Qur'an.[28]
Menurut Andi Rosadisastra dalam bukunya yang berjudul "metodologi ayat-ayat sains dan sosial", ia merumuskan beberapa metode-metode yang harus dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat bersifat ilmiah, yakni:
1.      Menentukan subtopik pembahasan.
2.      Memahami hakikat ilmu pengetahuan atau realitas atau subtopik pembahasan.
3.      Melakukan kerja penelitian di lapangan atau di laboratorium atas subtopik pembahasan (jika diperlukan).
4.      Menentukan ayat-ayat yang relavan dengan topik pembahasan.
5.      Memilih metode pemahaman teks ayat.
6.      Analisis teks ayat dengan konteks dan hakikat ilmu dan realitas subtopik pembahasan.[29]
III.   KESIMPULAN
Pro dan kontra terhadap tafsir 'ilmy di kalangan para ulama tentang kebolehan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan menjadikan temuan-temuan ilmiah sebagai salah satu penafsirannya. Terdapat dua golongan yang membolehkan dan yang melarangnya. Pertama, mereka yang membolehkan mendasarkan argumentasinya kepada ayat-ayat al-Qur'an yang mengehndaki manusia untuk berfikir terhadap segala apa yang diciptakan  Allah SWT. Kedua, adalah orang-orang yang melarang kajian tafsir 'ilmy karena ditakutkan seseorang terjerumus kepada nalarnya yang didasarkan pada hadis nabi, di mana jika seseorang menafsirkan dengan akalnya tanpa mengetahui ilmunya maka ia harus mempersiapkan kedudukannya di neraka.
Terlepas dari adanya pro dan kontra serta kritik-kritik terhadap praktik kajian tafsir 'ilmy, hendaknya para ulama yang membolehkan kajian ini merumuskan kembali kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang harus dipakai oleh seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat ilmiah, sehingga ia tidak terjerumus dalam penafsiran yang salah. Di samping kaidah-kaidah yang diperlukan oleh mufassir, dibutuhkan pula metodologi penafsiran ayat-ayat ilmiah agar sampai pada makna tujuan al-Qur'an.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid, Imam al-Ghazali. Ihya 'ulumuddin. Juz IV.tth. Beirut: Dar al-Fikr.
               . Jawahir Al-Qur'an.tth. Kairo: Dar al-Maktabah al-Haiah.
Al-Iyyazi, Sayyid. Al-Mufassirun hayyatun wa manhajjun, wizarat ast-staqafah wa al-irsyad al-islamy. Cet I. 1373. Beirut: Dar al-Fikr.
Arya, Wisnu Wardana. Al-Qur'an dan Energi Nuklir. 2004. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
As-Suyuti, Jalauddin. Al-itqan fi Ulum al-Qur'an. Jilid II.tth. Beirut: Dar al-Fikr
Asy-Syatibi, Ishaq Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syatibi. Jilid II.tth.ttp
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Ilmu-ilmu Al-Qur'an. 2002. Semarang: Rizki putra.
Baidan Nashiruddin. Rekonstruksi Ilmu Tfasir. 2000. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Baiquni, Ahmad. Filsafat Fisika dalam Al-Qur'an. 1990. Jakarta: Ulumul Qur'an.
Bucaille, Maurice. Terj. Rosyidi. Bible Qur'an dan Sains Modern.tth. Jakarta: bulan Bintang.
Djay, Rahman. Al-Qur'an dalam Fokus Kosmologi Modern. 1990. Jakarta: Ulum al-Qur'an.
Fath, 'Abd Al-Rahman. Ittjah al-Tafsir al-Qarn al-Rabi 'Asyar. 1986. Mamkalah al-'Arabiyyah al-Syu'udiyah.
Jansen, J.J.G. The Interpretation of the Koran in Modern Egipt. Diterjemahkan oleh Hairussalim dan Syarif Hidayatulloh. Diskursus Tafsir al-Qur'an Modern. 1997. Yogyakarta: Tiara Wicana.
Kadar, M. Yusuf. Studi Qur'an. 2009. Jakarta: Amzah.
Kamil, Muhammad Abdush Salam. Al-'Ijaz al-'Ilmy al-Islam fi al-Qur'an al-Karim. Cet III. 1996. Al-Lubaniyyah Kairo.
Majid, Abdul Abdussalam al-Muhtasib. Ittjahat al-Tafsir fi 'Ashr al-Hadist. Beirut: Dar al-Fikr.
Quraish Shihab, Muhammad. Membumikan al-Qur'an. 1994. Bandung: Mizan.
Nor, Muhammad Ichwan. Tafsir 'ilmy Memahami al-Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. 2004. Jogyakarta: Menara Kudus.
Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial. Cet I. 2007. Jakarta: Amza.




[1] Mohammad No Ichwan. Tafsir ‘ilmy; Memahami al-Qur’an melalui Pendekatan Sains Modern. 2004. Yogyakarta: Menara Kudus. Hlm: 129
[2]Kadar M Yusuf. Studi Qur’an. 2009. Jakarta: Amzah. Hlm: 161-162
[3]Muhammad Kamil Abdush Shamad. Al-I’jaz al-‘Ilmy Al-Islam fi al-Qur’an al-Karim. Cet III. 1996. Kairo: Al-Lubaniyyah. Hlm: 24
[4]J.J.G Jansen. The Interpretation Of The Koran In Modern Egipt. Diterjemahkan oleh Hairussalim dan Syarif Hidayatulloh. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. 1997. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hlm: 55.
[5]Fath ‘Abd al-Rahman. Ittijah al-Tafsir al-Qarn al-Rabi ‘Asyar. 1986. Mamkalah al-‘Arabiyyah al-Syu’udiyah. Hlm: 549
[6]Maurice Bucaille. Terj. Rosyidi. Bible, Qur’an dan Sains Modern. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm: 251.
[7]Abdul Majid Abdussalam al0muhtasib. Ittijahat al-Tafsir Fi ‘Ashr al-Hadist. Tth.Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 245
[8]Nashruddin Baidan. Rekonstruksi Ilmu Tafsir. 2000. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. Hlm: 127
[9]Andi Rosadisastra. Metode Tafsir Ayat-ayat Sains. Cet I. 2007. Jakarta: Amza. Hlm: 24
[10] Wisnu Arya Wardana. Op.cit. hlm: 66
[11] Ibid,.. hlm: 66-67
[12] Untuk lebih lengkapnya baca Wisnu Arya Wardana. Al-Qur’an... hlm: 68-69
[13] Ahmad Baiquni. Filsafat Fisika dalam al-Qur’an. 1990. Jakarta: ulumul Qur’an. Hlm: 9-10
[14] Rahman Djay. Al-Qur’an dalam Fokus Kosmologi Modern. 1990. Jakarta: Ulumul qur’an. Hlm: 17
[15] Wisnu Arya Wardana. Op.cit. hlm: 58-59
[16] Hasbi Ash-shidiqiey. Ilmu-ilmu al-Qur’an. 2002. Semarang: Rizki Putra. Hlm: 263-264
[17] Imam Abu Hamid al-Ghazali. Ihya’ Ulumddin¸Juz IV.tth. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 369
[18] Imam Abu Hamid al-Ghazali. Jawahir al-Qur’an.tth. Kairo: dar al-Maktabah al-Haiah, hlm: 18-19.
[19] Jalauddin As-Suyuti. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an. Jilid II.tth. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 126-127.
[20] Sayyis al-Iyyazi. Al-Mufassirun Hayyatun wa manhajjuhum, Wizarat ast-tsaqafah wa al-Ursyad al-Islamiy. Cet I. 1373. Hlm: 584-585
[21] Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syatibi. Al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syatibi. Jilid II.tth.ttp. hlm: 280
[22] Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib. Al-ittijahat at-tafsir fi ‘ashr al-hadist.tth. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm:269.
[23] Ibid,.. hlm: 308
[24] Ibid,.. hlm: 305-306
[25] Wisnu Arya Wardana.op.cit. hlm: 54
[26] M Quraish Shihab. Membuk=mikan al-Qur’an. 1994. Bandung: Mizan. Hlm: 109
[27][27] Andi Rosadisastra. Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial. 2007. Jakarta: Amzah. Hlm: 9-11
[28] ibid,.. hlm: 11-12
[29] Ibid,.. hlm: 12-13

No comments:

Post a Comment