Wednesday 25 February 2015

KODIFIKASI AL-QUR’AN DAN SUNNAH (Perbandingan di Tingkat Praktikular)


Oleh: Imas Musfiroh
A.      PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam pertama yang turun dari Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Rasulalloh untuk dijadikan pedoman umat Islam dalam menjalankan hidup sehari-hari. Sedangkan sunnah Nabi yang lazim dikatakan hadist Nabi merupakan sumber ajaran Islam yan kedua setelah al-Qur’an. Hadist merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi saw baik ucapan, perbuatan, ketetapan dll dari Nabi sebagai penjelas, penguat dan pemberi hukum yang belum ada dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an yang telah berada di tangan umat muslim dalam bentuk mushaf al-Qur’an mengalami proses kodifikasi dan penyempurnaan pada zaman Nabi dan Khalifah setelah Nabi Muhammad saw. Pada zaman Nabi al-Qur’an dikumpulkan dengan cara menghafal dalam dada para sahabat, karena pada waktu itu bangsa Arab terkenal sangat kuat hafalannya. Di samping kodifikasi melalui para penghafal, al-Qur’an pula ditulisa di atas batu-batuan, pelepah kurma, tulang belulang dll di bawah perintah Nabi Muhammad saw.
Sedangkan hadist dikodifikasi jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, ketika memulai abad kedua Hijriyah. Pada masa Nabi penulisan hadist memang dilarang karena dikhawatirkan akan tercampur dengan al-Qur’an sehingga Nabi hanya menganjurkan untuk menghafalnya saja. Namun, ada beberapa sahabat Nabi yang menulis hadist untuk kepentingan dan keperluan pribadi. Hal ini menunjukkan bahawa tradisi tulis menulis di kalangan orang Arab telah berlangsung pada masa Nabi sampai saat ini.
Apabila kita bandingkan antara kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah terdapat beberapa perbedaan di tingkat praktikular (pelaksanaanya). Al-Qur’an dikodifikasi dimulai pada zaman Nabi dan dikumpulkan dalam satu mushaf pada zaman khalifah Abu Bakar, sehingga otensitasnya sangat diyakini benar berasal dari Tuhan. Akan tetapi, sunnah nabi dikodifikasi setelah mengalami islamisasi di beberapa wilayah Islam dengan masa beratus-ratus tahun, tepatnya abad kedua Imam Malik mulai mengkofikasikan hadist dalam bentuk kitab yakni muwattha’.
Untuk spesifiknya makalah ini dirumuskan dalam beberapa pertanyaan di bawah ini:
1.    Bagaimana sejarah kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah?
2.    Apa saja perbandingan antara proses kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah pada tingkat Praktikular?
B.       PEMBAHASAN
1.      Pengertian Kodifikasi
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti codificationi, yaitu mengumpulkan dan menyusun.[1] Sedangkan secara istilah, kodifikasi berarti penulisan dan pembukuan beberapa data secara resmi dan disusun secara teratur dan sistematik.
Kodifikasi al-Qur’an artinya penulisan dan pengumpulan serta pembukuan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf yang dilakukan oleh beberapa orang yang diberikan jabatan langsung oleh khalifah. Kodifikasi yang dimaksud bersifat resmi bukan disebabkan oleh keinginan priibadi dan untuk kepentinagn pribadi. Sedangkan, kodfikasi hadist berarti penulisan dan pembukuan hadist Nabi secara resmi berdasakna perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, dan bukan yang dilakukan secara perorangan atau untuk kepentinagn pribadi.
Pengertian kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah memang terlihat hampir sama, hanya saja jika ditelusuri terdapat beberpa perbedaan di antara keduanya pada teknis pelaksanaanya. Latar belakang kodifikasi dan tujuan pengkodifikasian yang akan dibahas selanjutnya.
2.      Sekilas Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an
Al-Qur;an diturunkan kepada Rasulalloh untuk dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam. Oleh karena itu, penting kiranya menulis wahyu Allah dalam bentuk tulisan yang mudah dibaca dan dipahami oleh umat Islam. Rasulalloh saw pada masa itu mengangkat para penulis wahyu al-Qur'an dari sahabat-sahabat terkemuka seperti Ali, Mu'awiyah, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan di mana tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan ada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati.
Tulisan-tulisan pada msa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Biasanya yang ada di tangan para sahabat belum tentu dimiliki pula oleh sahabat lainnya. Mereka berinisiatif sendiri untuk menulisnya pada pelepah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun kayu, pelana dan potongan tulang belulang binatang.
Pada masa Abu Bakar sebagai khlaifah pertama dalam Islam setelah Rasulalloh wafat. Ia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya sejumlah orang Arab, sehingga menyiapkan pasukan untuk memerangi orang-orang murtad itu (pada perang Yamamah). Peperangan Yamamah yang terjadi melibatkan sejumlah besar sahabat penghafal al-Qur'an dengan kurang lebih 78 qori' gagal dalam medan perang. Melihat kenyataan ini Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan hadist karena dikahawatirkan al-Qur'an akan musnah.[2] Lalu kemudian Abu Bakar memanggil dan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan lembaran-lembaran al-Qur'an menjadi satu mushaf.
Setelah Abu Bakar wafat al-Qur'an kemudian dipegang oleh Umar Bin Khatab sampai khalifah kedua ini wafat. Selanjutnya, al-Qur'an berada ditangan Hafshah. Pada saat Ustman menjabat sebagai khalifah ketiga sepeninggal Umar, terjadi beberapa penyalinan al-Qur'an dan penyempurnaan kembali al-Qur'an. Hal ini diakibatkan oleh karena pada masa khalifah Ustman terjadi banyak perbedaan dalam membaca ayat-ayat al-Qur'an, mereka bersikeras dan bertahan dengan pendiriannya bahwa bacaan merekalah yang paling benar adanya. Oleh karena itu, Umar kemudian meminjam mushaf di tangan Hafshah dan menyalinnya ke beberapa mushaf serta menyebarkannya ke beberapa wilayah Islam. Penyalinan al-Qur'an ini mengalami penyempurnaan yakni khalifah Ustman menulisa dalam satu tulisan saja (Quraisy) dan meninggalkan serta melarang orang-orang untuk membaca al-Qur'an selain yang telah ia salin. Mushaf ini dikenal sebagai mushaf ustmani hingga saat ini.
3.      Sekilas Sejarah Kodifikasi Sunnah
Pada periode turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam ('Ashr al-Wahyi wa al-Takwin), hadist lahir berupa sabda (aqwal), af'al dan taqrir Nabi yang fungsinya menerangkan al-Qur'an dalam rangka menegakkan syari'at Islam dan membentuk masyarakat Islam. Berbeda dengan al-Qur'an, hadist tidaklah ditulis secara resmi diperintahkan oleh Nabi.
Sebab-sebab penulisan hadist tidak diselenggarakan secara resmi yaitu: pertama, agar tidak adanya kesamaran terhadap al-Qur'an dan menjaganya agar tidak tercampur antara catatan al-Qur'an dengan hadist. Kedua, pencatatan al-Qur'an yang turunnya berangsur-angsur memerlukan perhatian dan pengerahan tenaga penulis yang continue, sedang sahabat yang bias menulis terbatas maka tenaga yang ada dikhususkan untuk menulis al-Qur'an. Ketiga, menyelenggarakan pemeliharaan hadist dengan hafalan tanpa tulisan secara keseluruhan berarti memelihara kekuatan hafalan di kalangan umat Islam (bangsa Arab) yang terkenal kuat daya hafalnya. Keempat, penulisan hadist dengan segala ucapan, amalan, muamalat dan sebagainya merupakan hal yang sulit secara teknis dibutuhkan adanya penulis yang harus terus menerus menyertai Nabi saw dalam segala hal.[3]
Selanjutnya pada masa sahabat disebut sebagai periode "Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah", yakni masa pematerian dan penyelidikan riwayat.[4] Ide perhimpunan hadist Nabi secara tertulis pertama kali dikemukakan oleh Umar Ibn Khatab. Untuk merealisasikan ide nya tersebut, Umar bermusyawarah dengan para sahabat dan beristikharah. Namun, kesimpulannya Umar tidak akan melakukan penghimpunan dan kodifikasi hadist karena khawatir Umat Islam akan berpaling dari al-Qur'an.[5]
Dengan demikian, kodifikasi hadist secara resmi baru dilakukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayah. Proses kodifikasi hadist yang baru dilakukan pada masa ini dimulai dengan khalifah mengirim surat ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir abad kesatu, yang berisi perintah agar seluruh hadist Nabi di masing-masing daerah segera dihimpun.[6]
Perkembangan selanjutnya, kodifikasi hadist melakukan penyaringan kembali karena telah bercampur dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in yakni antara hadist yang bersifat marfu', mawquf dan maqthu'.Sistem pengumpulan hadistnya didasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya. Maka pada abad ke empat dan seterusnya mengalami penggunaan metode kodifikasi hadist yang berbeda-beda.[7]
4.      Perbandingan antara Kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah
a.      Faktor-faktor dan Tujuan Pendorong Kodifikasi
1)      Al-Qur’an
Faktor utama yang menyebabkan para ulama untuk melakukan pengumpulan dan kodifikasi al-Qur’an disebabkan oleh banyaknya kaum muslimin penghafal al-Qur’an yang meninggal. Wafatnya para pengahfal al-Qur’an akibat dari adanya peperangan yang terjadi semasa kahllifah Abu Bakar ash-shidiq. Atas saran Umar Bin Affan kepada Abu Bakar akhirnya Abu Bakar memerintahkan Zaid Bin Tsabit untuk melakukan pengumpulan lembaran-lemabaran al-Qur’an menjadi sebuah mushaf. Dengan sangat teliti dan hati-hati, Zaid bin Tsabit melaksanakan perintah kahlifah.[8]
Faktor selanjutnya, akibat banyaknya para pembaca al-Qur’an yang membacakan ayat-ayat al-Qur’an dalam bacaan yang berbeda-beda. Masing-masing di antara mereka menganggap bacaannya lah yang paling benar, mempertahankannya serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan puncaknya mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan seperti ini, khalifah Ustman segera meminjam mushaf dari Hafshah dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf al-Qur’an dan menyebarkannya ke beberapa daerah Islam, serta menghapuskan berbagai bacaan yang tidak sesuai dengan bacaan yang telah diresmikannya bersama para sahabat. Termasuk menghapuskan qira’at sab’ah yang muncul pada saat itu. Sampai saat ini terkenal dengan mushaf ustmani.[9]
2)      Sunnah
Menurut Muhammad al-Zafzaf, faktor pendorong kodifikasi hadist dilatarbelakangi oleh dua, yaitu: pertama, para ulama hadist sudah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadist akan hilang bersamaan dengan wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadist. Kedua, banyak berita yang diada-adakan oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah seperti khawarij, rafidhah, Syi’ah dan lain-lain.[10]
Secara garis besarnya, faktor-faktor penyebab pendorong kodifikasi hadist terbagi menjadi dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal yaitu pertama, pentingnya menjaga autensitas dan eksistensi hadist, karena hadist di samping sebagai sumber agama Islam yang kedua setelah al-Qur’an, juga merupakan panduan bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kedua, semangat untuk menjaga hadist sebagai salah satu warisan nabi yang berharga karena Nabi memang pernah bersabda bahwa beliau meninggakan dua hal yang apabila uamt Islam berpegang kepada keduanya mereka tidak akan tersesat selamanya yaitu al-Qur’an dan hadist. Ketiga, semangat keilmuan yang tertanam di kalangan umat Islam pada saat itu termasuk di dalamnya aktifitas tulis menulis dan periwayatan hadist. Keempat, adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadist pada masa itu.[11]kelima, rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadist Nabi dengan menghafal dan kemudian meriwayatkannya.[12]
Faktor eksternal antara lain: pertama, penyebaran agama Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sehingga banyak periwayat hadist yang tersebar ke berbagai daerah. Dengan tersebarnya para sahabat di berbagai daerah, hadist-hadist dikhawatirkan lama kelamaan hilang bersamaan dengan meninggalnya para penghafal hadist di daerah itu. Kedua, kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadist-hadist Nabi yang disebabkan oleh perbedaan politik dan aliran. Kemunculan hadist-hadist palsu dapat mengancam keberadaan hadist-hadist Nabi. Hadist mawdhu’ dapat pual memalingkan uamt Islam dari jalan yang lurus dan membawa pada kesesatan.[13] Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khotib, para pembuat hadist palsu telah melakukan kejahatan terhdapa agama dengan kedustaan, mereka mencoreng harkat dan martabat Islam.[14]
b.      Metode Kodifikasi
1)      Al-Qur’an
Kodifikasi al-Qur’an oleh para ulama dilakukan dengan dua cara, yakni pertama dengan cara hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazhuhu, para penghafalnya adalah mereka orang-orang yang menghafalkannya di dalam hati. Rasulalloh adalah orang pertama hafizh (penghafal) dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai bentuk cinta mereka kepada sumber agama dan risalah Islam.[15]
Kedua, kitabuhu kullihi (penulisan al-Qur’an semuanya) baik dengan memisahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayatnya semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembar yang terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagian ditulis setelah sebagian yang lain. Pengumpulan shahifah-shahifah menjadi mushaf al-Qur’an dimulai dari masa khalifah Abu Bakar Ash-shidiq. Kemudian disalin dan disempurnakan oleh khalifah Ustman dengan menulisnya hanya dalam 1 qira’at saja dan meninggalkan qira’at lain yang pada masa itu terkenal dengan qira’at sab’ah.[16]
2)      Sunnah
Menurt Profesor Erfan Soebahar dalam bukunya yang berjudul “Aktualisasi Hadist Nabi di Era Teknologi Informasi”, menjelaskan mengenai muhaddist (para ahli hadist) dalam melakukan penulisan dan pengumpulan hadist menjadi sebuah kitab, dilakukan langkah-langkah berikut ini:
Pertama, mencari beberapa guru untuk menuntut ilmu atau menghubungi muhaddist lain. Cara tersebut adalah lazim dilakukan oleh para muahddist dalam rangka memperoleh data hadist yang diperlukan. Dimaksud guru dalam konteks ini adalah setiap orang yang memebrikan keterangan mengenai data hadist yang dicari (syuyukhu) oleh yang mencari data. Di antara guru-guru yang memberikan data kepada al-Bukhori adalah Abu ‘Ashim al-Nabil, Makki bin Ibrahim, Muhammad bin ‘Isa bin al-Thabba’, Ahmad bin hanbal, Ishaq bin Manshur dan Ahmad Bin Isykab.[17]
Kedua, dengan cara melakukan kunjungan keilmuan (rihlah ilmiyah). Rihlah adalah suatu cara yang lazim yang ditempuh muhaddist untuk mendapatkan data-data hadist. Rihlah mempunyai nilai khas dan daya pikat tersendiri dalam kehidupan ini, karena pada waktu itu banyak bangsa Arab yang gemar mengembara ke berbagai negara. Dalam hal memperoleh data-data hadist, faktor keilmuan dan agama lah yang menjadi dorongan untuk melakukan perjalanan menemui para guru-guru hadist.[18]
Adapun metode-metode pembukuan hadist setelah melakukan riset ke beberapa guru dan wilayah Islam adalah sebagai berikut:
1)        Metode Juz dan Atraf
Sejak masa Nabi saw sampai perkiraan abad pertengahan pada dua hijriyah, pembukuan hadist masih sangat sederhana. Kesederhanaannya bentuk pada bentuk dan metodenya. Umumnya kitab-kitab hadist yang ditulis pada masa itu tidak diberi nama tertentu oleh penulisnya, sehingga kitab-kitab tersebut dikenal dengan nama penulisnya. Misalnya, Shahifah Amr al-Mu’minin Ali Bin Abi Thalib, shahifah Jabir bin Abdullah al-Anshori dan lain-lain. Kesederhanaan juga terlihat dari metode nya, di mana matan-matan hadist disusun berdasarkan guru yang meriwayatkan hadist kepada penulis kitab. Metode ini dikenal dengan metode juz yang secara kebahasaan berarti bagian. Di samping juz ada pula metode atraf yang berarti pangkal-pangkal. Metode atraf dalam pembukuan hadist berarti pembukuan hadist dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai bentuk matan hadist selengkapnya. Di antara Ulama yang menulis dengan metode ini adalah Auf Bin Abu Jamilah al-'Abdi.[19]
2)        Klasifikasi Hadist
Metode klasifikasi berdasarkan topiknya atau yang lebih populer disebut metoda tabwib (klasifikasi hadist berdasarkan topik atau babnya). Metode klasifikasi ini pada tahap berikutnya berkembang menjadi berbagai metoda dan kemudian metoda-metoda itu menjadi populer sebagai nama kitab-kitab hadist.[20]
3)        Metode Muwatta’
Secara kebahasaan muwatta’ berrati sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadits, Muwatta’ adalah metode pembukuan hadist yang berdasarkan klasifikasi hukum islam (abwab fiqhiyah) dan mencantumkan hadist-hadist marfu’ berasal dari Nabi, mauquf berasal dari sahabat dan maqtu’ berasal dari tabi’in.[21]
Banyak sekali ulama yang menyusun kitab hadist dengan menggunakan metode muwatta'ini. Antara lain Imam Ibnu Abi Dzi'ib, Imam Malik Bin Annas, Imam Abu Muhammad al-Marwazi dll.
4)        Metode Mushannaf
Meskipun secara kebahasaan kata mushannaf berarti sesuatu yang disuusn, namun secara terminologi kata mushannaf sama artinya dengan muwatta’ yaitu metode pembukuan hadist berdasarkan klasifikasi hukum islam dan mencantumkan hadist-hadist marfu’, mauquf, maqthu’.[22] Di antara ulama-ulama yang memakai metode ini adalah Imam Hammad Bin Salamah, Imam Waki' bin al-Jarrah, Imam Abd al- Razaq, Imam Abi Syaibah dll.[23]
5)        Metode Musnad
Metode dengan cara mengklasifikasikan hadist berdasarkan nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist itu. Sehingga andaikata orang yang merujuk kepada kitab musnaf dan ia akan mencari tentang bab sholat maka ia tidak akan menemukan hasil apa-apa. Sebab dalam metode musnaf tidak akan ditemukan bab sholat, bab haji dll. Kitab paling popular dengan menggunakan metode ini adalah kitab "al-musnad" karya al-Humaidi. [24]
6)        Metode Jami’
Kata jami' berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan dan mencakup. Dalam disiplin ilmu hadist. Kitab jami' dalam adalah kitab hadist di mana metoda penyusunannya mencakup seluruh topik-topik dalam agamam baik aqidah, hokum, adab, tafsir, manaqib dan lain-lain. Salah satu contoh kitab dengan metode kodifikasi ini adalah kitab "al-jami' al-shahih al-musnad al-mukhtashor min Umur Rasul Allah yang kemudian di ringkas menjadi al-jami' al-shahih[25]
7)        Metode Mustakhraj
Penyusunan hadist-hadist berdasarkan penulisan kembali hadist-hadist yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis kitab yang pertama mencantumkan sanad dari dia sendiri, maka metoda ini disebutsebagai metode mustakhraj. Di antara karya yang ditulis dalam metode ini adalah karya al-Isma'ili yang berjudul "al-mustakhraj 'ala shahih al-bukhori. [26]
8)        Metode mustadrak
Penyusunan kitab hadist berdasarkan menyusulkan kitab-kitab hadist yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadist lain. Namun dalam menuliskan hadist-hadist susulan itu penulis kitab pertama tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadist yang dipakai oleh kitab yang lain, metode ini disebut sebagai metode mustadrak. Misalnya kitab al-mustadrak 'ala al-shahihain karya Imam al-Hakim al-Naisapuri.[27]
9)        Metode Sunan
Kata sunan merupakan bentuk jamak dari kata sunnah yang pengertiannya juga sama dengan hadist. Sementara yang dimaksud di sini adalah metoda penyusunan kitab hadist berdasarkan klasifikasi hokum islam dan hanya mencantumkan hadist-hadist yang bersumber dari Nabi saw saja. Di antara kitab-kitab sunan yang paling populer adalah karya Abu Dawud al-Sijistani, Ibnu Majah al-Qazwini, dll.[28]
10)    Metode Mu’jam
Mu'jam adalah metoda penulisan kitab hadist di mana hadist-hadist yang terdapat di dalamnya disusun berdasarkan nama-nama sahabat, guru-guru hadist, negara-negara atau yang lain. Biasanya kitab ini disusun berdasarkan mu'jam (alfabet). Contoh kitab dengan metode ini adalah karya Imam al- Tabrani, ia menulis 3 kitab yakni al-mu'jam al-kabir, al-mu'jam al-ausat, al-mu'jam al-shaghir.[29]
11)    Metode Majma’
Metode-metode pembukuan hadist yang telah ada semenjak masa Nabi sampai pada kira-kira abad kelima Hijriyah dengan metoda pembukuan hadist yang lazim diketahui sebagai kitab-kitab pokok atau induk. Namun semenjak akhir abad kelima hijriyah terdapat fenomena baru dalam metodologi pembukuan hadist, di mana para penulis hadist membuat terobosan baru dengan menggabungkan kitab-kitab hadist yang sudah ada. Metode ini disebut majma' atau jama'. Di antaranya kitab al-jam' baina al-shahifaini yang merupakan gabungan antara hadist shahih al-Bukhori dengan shahih Muslim.[30]
12)    Metode Zawa’id
Sebuah hadist terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadist secara bersama-sama dalam kitab mereka. Adapula hadist yang hanya ditulis oleh seorang penulis hadist saja, sementara penulis hadist yang lain tidak menulisnya. Maka hadist-hadist jenis kedua ini kemudian menjadi lahan penelitian para pakar hadist yang dating kemudian dan dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri. Metoda penulisan hadist ii disebut sebagai zawaid yang secara kebahasaan berarti tambahan-tambahan. Contoh kitab yang menggunakan metode ini adalah Misbah al-Zujajah fi Zawaid Ibn Majah karya al-Bushairi. Yang berisi hadist-hadist yang ditulis hanya oleh Ibnu Majah dalam kitab sunan nyadan hal itu tidak terdapat dalam lima kitab hadist yang lain (al-Bukhori, Muslim, al-Turmudzi, Abu Dawud, al-Nasai.[31]
c.       Masa Kodifikasi
1)      Al-Qur’an
Kodifikasi al-Qur'an secara resmi dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar, yaitu masa awal khalifah ketika Nabi Muhammad wafat. Artinya pengkodifikasian hadist dilakukan secara cepat, tidak menunda-nunda waktu seperti halnya kodifikasi hadist yang dilakukan jauh setelah Nabi wafat. Sehingga otensitas al-Qur'annya sangat terjaga kemurniannya.
2)      Sunnah
Kodifikasi Sunnah tidak langsung dilakukan ketika Nabi wafat, karena masih adanya pertentangan dan kekhawatiran khalifah dan para sahabat tentang boleh tidaknya penulisan dan pembukuan hadist seperti halnya al-Qur'an. Kodifikasi ini baru bias di resmikan oleh khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz.
C.      KESIMPULAN
Setelah paparan di atas diketahui mengenai kodifikasi hadist, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kodifikasi al-Qur'an dan hadist jika dibandingkan akan menemukan perbedaan ditingkat praktikal. Di antara perbedaannya adalah faktor-faktor pendorong pengkodifikasin al-Qur'an dan Hadist, serta metode yang dipakai dalam pengumpulan dan pembukuan hadist. Kodifikasi Al-Qur'an terjadi pada saat Nabi dan disatukan dlam satu mushaf pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq, yang selanjutnya disempurnakan khalifah Ustman yang dikenal sampai saat ini sebagai mushaf ustmani. Sedangkan kodifikasi hadist dilakukan jauh setelah Nabi Muhammad saw wafat, secara tulisan ada beberapa sahabat Nabi yang menulisnya untuk keperluan pribadi. Akan tetapi pembukuan hadist secara resmi terjadi pada masa khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayah.
Selanjutnya metode yang dipakai dalam pengkodifikasian al-Qur'an dan hadist berbeda-beda. Metode pengumpulan dan pembukuan hadist dengan dua cara penghafalan langsung dan penulisan, yang ini telah berlangsung selama masa Nabi. Sedangkan, metode yang digunakan dalam kodifikasi hadist sangat beragam, di antara nya metode kodifikasi hadist muwaatta', musnad, mushonnif, 'atrof dll.
DAFTAR PUSTAKA
'Ajjaj, Muhammad  al-Khatib. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. 1963. Beirut: Maktabah Wahbab.
            . Ushul al-Hadist. Terj. Nur Ahmad Musyafiq. 2007. Jakarta: Gaya Media Pratama.
al-Asqalani, Ahmad bin 'Ali bin Hajar. Fath al-Bari Syarah Shaih al-Bukhori. Juz I. tth. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Tahthan, Mahmud. Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid. 1979. Beirut: Dar al-Qur'an al-karim.
al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Terj. Aunur rafiq. Cet ke-6. 2011. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
al-Zafzaf, Muhammad. Al-Ta;rif fi al-Qur’an wa al-Hadist.1979. Kuwait: Maktabah al-Falah.
Ash-Shidiqy, T. M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadist. 1973. Jakarta: Bulan Bintang.
Ba’labaka, Rahi Al-Mawrid. 1993. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin.
Idri. Studi Hadist. Cet I. 2010. Jakarta: Prenada.
Soebahar, Erfan. Aktualisasi Hadist Nabi di Era Teknologi Informasi. Cet II. 2010. Semarang: Rasail
Soetari, Endang. Ilmu Hadist. Cet II. 1997. Bandung: Amal Bakti.
Yaqub, Ali Mustafa Kritik Hadist. Cet IV. 2004. Jakarta: Pustaka Firdaus




[1] Rahi Ba’labaka. Al-Mawrid. 1993. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin. Hlm: 243
[2] Syaikh Manna al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Terj. Aunur rafiq. Cet ke-6. 2011. Jakarta: pstaka al-Kautsar. Hlm: 158
[3] Endang Soetari. Ilmu Hadist. Cet II. 1997. Bandung: Amal Bakti. Hlm: 36
[4] T. M. Hasbi Ash-Shidiqy. Sejarah Perkembangan Hadist. 1973. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm: 30-42
[5] Muhammad 'Ajjaj al-Khatib. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. 1963. Beirut: Maktabah Wahbab. Hlm: 321
[6] Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-Asqalani. Fath al-Bari Syarah Shaih al-Bukhori. Juz I. tth. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 194-195
[7] Lebih lengkapnya baca. Idri. Studi Hadist. Cet I. 2010. Jakarta: Prenada. Hlm: 96-98
[8] Syaikh Manna al-Qaththan. Op.cit,.. Hlm: 162
[9] Ibid,.. hlm: 162-166
[10] Muhammad al-Zafzaf. Al-Ta;rif fi al-Qur’an wa al-Hadist.1979. Kuwait: Maktabah al-Falah. Hlm: 210.
[11] Muhammad ‘Ajjaj al-Khotib. Ushul al-Hadist. Terj. Nur Ahmad Musyafiq. 2007. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hlm: 176-177
[12] Idri. Studi Hadist. 2010. Jakarta: Kencana: hlm: 104
[13] Ibid,..hlm: 105
[14] Muhammad ‘Ajja al-Khotib. Al-Sunnah qabla al-tadwin. 1971. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 219
[15] Syaikh Manna’ al-Qaththan,op.cit.  Hlm: 150
[16] Ibid,.. hlm: 151-152
[17] Erfan Soebahar. Aktualisasi Hadist Nabi di Era Teknologi Informasi. Cet II. 2010. Semarang: Rasail. Hlm: 82
[18] Ibid,.. hlm: 83
[19] Ali Mustafa Yaqub. Kritik Hadist. Cet IV. 2004. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hlm: 75-76
[20] Ibid,.. hlm: 76
[21] Ibid,.. hlm: 76
[22] Ibid,.. hlm: 77
[23] Mahmud al-Tahtan. Ushul al-Takhrij wa DIrasat al-Asanid. 1979. Beirut: Dar al-Qur'an al-karim.hlm: 134
[24] Ibid,.. hlm: 77
[25] Ibid,.. hlm: 78
[26] Ibid,.. hm: 78
[27] Ibid,.. hlm: 78
[28] Ibid,.. hlm: 79
[29] Ibid,.. hlm: 79
[30] Ibid,.. hlm: 80
[31] Ibid,.. hlm: 80

No comments:

Post a Comment