Oleh: Imas Musfiroh
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an
merupakan sumber ajaran Islam pertama yang turun dari Allah SWT melalui
malaikat Jibril kepada Rasulalloh untuk dijadikan pedoman umat Islam dalam
menjalankan hidup sehari-hari. Sedangkan sunnah Nabi yang lazim dikatakan
hadist Nabi merupakan sumber ajaran Islam yan kedua setelah al-Qur’an. Hadist
merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi saw baik ucapan, perbuatan,
ketetapan dll dari Nabi sebagai penjelas, penguat dan pemberi hukum yang belum
ada dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an
yang telah berada di tangan umat muslim dalam bentuk mushaf al-Qur’an
mengalami proses kodifikasi dan penyempurnaan pada zaman Nabi dan Khalifah
setelah Nabi Muhammad saw. Pada zaman Nabi al-Qur’an dikumpulkan dengan cara
menghafal dalam dada para sahabat, karena pada waktu itu bangsa Arab terkenal
sangat kuat hafalannya. Di samping kodifikasi melalui para penghafal, al-Qur’an
pula ditulisa di atas batu-batuan, pelepah kurma, tulang belulang dll di bawah
perintah Nabi Muhammad saw.
Sedangkan
hadist dikodifikasi jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, ketika memulai
abad kedua Hijriyah. Pada masa Nabi penulisan hadist memang dilarang karena
dikhawatirkan akan tercampur dengan al-Qur’an sehingga Nabi hanya menganjurkan
untuk menghafalnya saja. Namun, ada beberapa sahabat Nabi yang menulis hadist
untuk kepentingan dan keperluan pribadi. Hal ini menunjukkan bahawa tradisi
tulis menulis di kalangan orang Arab telah berlangsung pada masa Nabi sampai
saat ini.
Apabila
kita bandingkan antara kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah terdapat beberapa
perbedaan di tingkat praktikular (pelaksanaanya). Al-Qur’an dikodifikasi
dimulai pada zaman Nabi dan dikumpulkan dalam satu mushaf pada zaman
khalifah Abu Bakar, sehingga otensitasnya sangat diyakini benar berasal dari
Tuhan. Akan tetapi, sunnah nabi dikodifikasi setelah mengalami islamisasi di
beberapa wilayah Islam dengan masa beratus-ratus tahun, tepatnya abad kedua
Imam Malik mulai mengkofikasikan hadist dalam bentuk kitab yakni muwattha’.
Untuk
spesifiknya makalah ini dirumuskan dalam beberapa pertanyaan di bawah ini:
1. Bagaimana
sejarah kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah?
2. Apa
saja perbandingan antara proses kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah pada tingkat
Praktikular?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Kodifikasi
Kata
kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti codificationi,
yaitu mengumpulkan dan menyusun.[1]
Sedangkan secara istilah, kodifikasi berarti penulisan dan pembukuan beberapa
data secara resmi dan disusun secara teratur dan sistematik.
Kodifikasi
al-Qur’an artinya penulisan dan pengumpulan serta pembukuan ayat-ayat al-Qur’an
dalam satu mushaf yang dilakukan oleh beberapa orang yang diberikan
jabatan langsung oleh khalifah. Kodifikasi yang dimaksud bersifat resmi bukan
disebabkan oleh keinginan priibadi dan untuk kepentinagn pribadi. Sedangkan,
kodfikasi hadist berarti penulisan dan pembukuan hadist Nabi secara resmi
berdasakna perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli
dalam masalah ini, dan bukan yang dilakukan secara perorangan atau untuk
kepentinagn pribadi.
Pengertian
kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah memang terlihat hampir sama, hanya saja jika
ditelusuri terdapat beberpa perbedaan di antara keduanya pada teknis pelaksanaanya.
Latar belakang kodifikasi dan tujuan pengkodifikasian yang akan dibahas
selanjutnya.
2. Sekilas Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an
Al-Qur;an diturunkan kepada Rasulalloh untuk dijadikan
pedoman hidup bagi umat Islam. Oleh karena itu, penting kiranya menulis wahyu
Allah dalam bentuk tulisan yang mudah dibaca dan dipahami oleh umat Islam.
Rasulalloh saw pada masa itu mengangkat para penulis wahyu al-Qur'an dari
sahabat-sahabat terkemuka seperti Ali, Mu'awiyah, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin
Tsabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan
di mana tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan ada lembaran itu
membantu penghafalan di dalam hati.
Tulisan-tulisan pada msa Nabi tidak terkumpul dalam
satu mushaf. Biasanya yang ada di tangan para sahabat belum tentu
dimiliki pula oleh sahabat lainnya. Mereka berinisiatif sendiri untuk
menulisnya pada pelepah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun
kayu, pelana dan potongan tulang belulang binatang.
Pada masa Abu Bakar sebagai khlaifah pertama dalam
Islam setelah Rasulalloh wafat. Ia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar
berkenaan dengan murtadnya sejumlah orang Arab, sehingga menyiapkan pasukan
untuk memerangi orang-orang murtad itu (pada perang Yamamah). Peperangan Yamamah
yang terjadi melibatkan sejumlah besar sahabat penghafal al-Qur'an dengan
kurang lebih 78 qori' gagal dalam medan perang. Melihat kenyataan ini
Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan hadist
karena dikahawatirkan al-Qur'an akan musnah.[2]
Lalu kemudian Abu Bakar memanggil dan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan lembaran-lembaran al-Qur'an menjadi satu mushaf.
Setelah Abu Bakar wafat al-Qur'an kemudian dipegang oleh
Umar Bin Khatab sampai khalifah kedua ini wafat. Selanjutnya, al-Qur'an berada
ditangan Hafshah. Pada saat Ustman menjabat sebagai khalifah ketiga sepeninggal
Umar, terjadi beberapa penyalinan al-Qur'an dan penyempurnaan kembali
al-Qur'an. Hal ini diakibatkan oleh karena pada masa khalifah Ustman terjadi banyak
perbedaan dalam membaca ayat-ayat al-Qur'an, mereka bersikeras dan bertahan
dengan pendiriannya bahwa bacaan merekalah yang paling benar adanya. Oleh
karena itu, Umar kemudian meminjam mushaf di tangan Hafshah dan
menyalinnya ke beberapa mushaf serta menyebarkannya ke beberapa wilayah
Islam. Penyalinan al-Qur'an ini mengalami penyempurnaan yakni khalifah Ustman
menulisa dalam satu tulisan saja (Quraisy) dan meninggalkan serta melarang
orang-orang untuk membaca al-Qur'an selain yang telah ia salin. Mushaf ini
dikenal sebagai mushaf ustmani hingga saat ini.
3. Sekilas Sejarah Kodifikasi Sunnah
Pada
periode turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam ('Ashr al-Wahyi wa
al-Takwin), hadist lahir berupa sabda (aqwal), af'al dan taqrir
Nabi yang fungsinya menerangkan al-Qur'an dalam rangka menegakkan syari'at
Islam dan membentuk masyarakat Islam. Berbeda dengan al-Qur'an, hadist tidaklah ditulis secara resmi
diperintahkan oleh Nabi.
Sebab-sebab penulisan hadist tidak diselenggarakan
secara resmi yaitu: pertama, agar tidak adanya kesamaran terhadap
al-Qur'an dan menjaganya agar tidak tercampur antara catatan al-Qur'an dengan
hadist. Kedua, pencatatan al-Qur'an yang turunnya berangsur-angsur
memerlukan perhatian dan pengerahan tenaga penulis yang continue, sedang
sahabat yang bias menulis terbatas maka tenaga yang ada dikhususkan untuk
menulis al-Qur'an. Ketiga, menyelenggarakan pemeliharaan hadist dengan
hafalan tanpa tulisan secara keseluruhan berarti memelihara kekuatan hafalan di
kalangan umat Islam (bangsa Arab) yang terkenal
kuat daya hafalnya. Keempat, penulisan hadist dengan segala ucapan,
amalan, muamalat dan sebagainya merupakan hal yang sulit secara teknis
dibutuhkan adanya penulis yang harus terus menerus menyertai Nabi saw dalam
segala hal.[3]
Selanjutnya pada masa sahabat disebut sebagai periode "Ashr
al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah", yakni masa pematerian dan
penyelidikan riwayat.[4]
Ide perhimpunan hadist Nabi secara tertulis pertama kali dikemukakan oleh Umar
Ibn Khatab. Untuk merealisasikan ide nya tersebut, Umar bermusyawarah dengan
para sahabat dan beristikharah. Namun, kesimpulannya Umar tidak akan melakukan
penghimpunan dan kodifikasi hadist karena khawatir Umat Islam akan berpaling
dari al-Qur'an.[5]
Dengan demikian, kodifikasi hadist secara resmi baru
dilakukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz, salah seorang khalifah Bani
Umayah. Proses kodifikasi hadist yang baru dilakukan pada masa ini dimulai
dengan khalifah mengirim surat ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah
pada akhir abad kesatu, yang berisi perintah agar seluruh hadist Nabi di
masing-masing daerah segera dihimpun.[6]
Perkembangan selanjutnya, kodifikasi hadist melakukan
penyaringan kembali karena telah bercampur dengan fatwa-fatwa sahabat dan
tabi'in yakni antara hadist yang bersifat marfu', mawquf dan maqthu'.Sistem
pengumpulan hadistnya didasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui
sumber secara langsung kemudian menelitinya. Maka pada abad ke empat dan
seterusnya mengalami penggunaan metode kodifikasi hadist yang berbeda-beda.[7]
4. Perbandingan antara Kodifikasi al-Qur’an dan Sunnah
a. Faktor-faktor dan Tujuan Pendorong Kodifikasi
1) Al-Qur’an
Faktor utama yang
menyebabkan para ulama untuk melakukan pengumpulan dan kodifikasi al-Qur’an
disebabkan oleh banyaknya kaum muslimin penghafal al-Qur’an yang meninggal.
Wafatnya para pengahfal al-Qur’an akibat dari adanya peperangan yang terjadi
semasa kahllifah Abu Bakar ash-shidiq. Atas saran Umar Bin Affan kepada Abu
Bakar akhirnya Abu Bakar memerintahkan Zaid Bin Tsabit untuk melakukan
pengumpulan lembaran-lemabaran al-Qur’an menjadi sebuah mushaf. Dengan
sangat teliti dan hati-hati, Zaid bin Tsabit melaksanakan perintah kahlifah.[8]
Faktor selanjutnya,
akibat banyaknya para pembaca al-Qur’an yang membacakan ayat-ayat al-Qur’an dalam
bacaan yang berbeda-beda. Masing-masing di antara mereka menganggap bacaannya
lah yang paling benar, mempertahankannya serta menentang setiap orang yang
menyalahi bacaannya dan puncaknya mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan
seperti ini, khalifah Ustman segera meminjam mushaf dari Hafshah dan
menyalinnya menjadi beberapa mushaf al-Qur’an dan menyebarkannya ke
beberapa daerah Islam, serta menghapuskan berbagai bacaan yang tidak sesuai
dengan bacaan yang telah diresmikannya bersama para sahabat. Termasuk
menghapuskan qira’at sab’ah yang muncul pada saat itu. Sampai saat ini
terkenal dengan mushaf ustmani.[9]
2) Sunnah
Menurut Muhammad al-Zafzaf, faktor
pendorong kodifikasi hadist dilatarbelakangi oleh dua, yaitu: pertama, para
ulama hadist sudah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadist akan
hilang bersamaan dengan wafatnya mereka, sementara generasi penerus
diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadist. Kedua, banyak
berita yang diada-adakan oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah seperti
khawarij, rafidhah, Syi’ah dan lain-lain.[10]
Secara garis besarnya,
faktor-faktor penyebab pendorong kodifikasi hadist terbagi menjadi dua faktor,
yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal yaitu pertama,
pentingnya menjaga autensitas dan eksistensi hadist, karena hadist di
samping sebagai sumber agama Islam yang kedua setelah al-Qur’an, juga merupakan
panduan bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kedua, semangat
untuk menjaga hadist sebagai salah satu warisan nabi yang berharga karena Nabi
memang pernah bersabda bahwa beliau meninggakan dua hal yang apabila uamt Islam
berpegang kepada keduanya mereka tidak akan tersesat selamanya yaitu al-Qur’an
dan hadist. Ketiga, semangat keilmuan yang tertanam di kalangan umat
Islam pada saat itu termasuk di dalamnya aktifitas tulis menulis dan
periwayatan hadist. Keempat, adanya kebolehan dan izin untuk menulis
hadist pada masa itu.[11]kelima,
rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadist Nabi dengan menghafal dan
kemudian meriwayatkannya.[12]
Faktor eksternal antara
lain: pertama, penyebaran agama Islam dan semakin meluasnya daerah
kekuasaan Islam, sehingga banyak periwayat hadist yang tersebar ke berbagai
daerah. Dengan tersebarnya para sahabat di berbagai daerah, hadist-hadist
dikhawatirkan lama kelamaan hilang bersamaan dengan meninggalnya para penghafal
hadist di daerah itu. Kedua, kemunculan dan meluasnya pemalsuan
hadist-hadist Nabi yang disebabkan oleh perbedaan politik dan aliran.
Kemunculan hadist-hadist palsu dapat mengancam keberadaan hadist-hadist Nabi.
Hadist mawdhu’ dapat pual memalingkan uamt Islam dari jalan yang lurus
dan membawa pada kesesatan.[13]
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khotib, para pembuat hadist palsu telah melakukan
kejahatan terhdapa agama dengan kedustaan, mereka mencoreng harkat dan martabat
Islam.[14]
b. Metode Kodifikasi
1) Al-Qur’an
Kodifikasi
al-Qur’an oleh para ulama dilakukan dengan dua cara, yakni pertama
dengan cara hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya
huffazhuhu, para penghafalnya adalah mereka orang-orang yang
menghafalkannya di dalam hati. Rasulalloh adalah orang pertama hafizh
(penghafal) dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam
menghafalnya, sebagai bentuk cinta mereka kepada sumber agama dan risalah
Islam.[15]
Kedua,
kitabuhu kullihi (penulisan al-Qur’an semuanya) baik
dengan memisahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayatnya
semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembar yang terpisah, ataupun
menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul
yang menghimpun semua surat, sebagian ditulis setelah sebagian yang lain.
Pengumpulan shahifah-shahifah menjadi mushaf al-Qur’an dimulai
dari masa khalifah Abu Bakar Ash-shidiq. Kemudian disalin dan disempurnakan
oleh khalifah Ustman dengan menulisnya hanya dalam 1 qira’at saja dan
meninggalkan qira’at lain yang pada masa itu terkenal dengan qira’at
sab’ah.[16]
2) Sunnah
Menurt
Profesor Erfan Soebahar dalam bukunya yang berjudul “Aktualisasi Hadist Nabi di
Era Teknologi Informasi”, menjelaskan mengenai muhaddist (para ahli
hadist) dalam melakukan penulisan dan pengumpulan hadist menjadi sebuah kitab,
dilakukan langkah-langkah berikut ini:
Pertama,
mencari
beberapa guru untuk menuntut ilmu atau menghubungi muhaddist lain. Cara
tersebut adalah lazim dilakukan oleh para muahddist dalam rangka
memperoleh data hadist yang diperlukan. Dimaksud guru dalam konteks ini adalah
setiap orang yang memebrikan keterangan mengenai data hadist yang dicari (syuyukhu)
oleh yang mencari data. Di antara guru-guru yang memberikan data kepada
al-Bukhori adalah Abu ‘Ashim al-Nabil, Makki bin Ibrahim, Muhammad bin ‘Isa bin
al-Thabba’, Ahmad bin hanbal, Ishaq bin Manshur dan Ahmad Bin Isykab.[17]
Kedua,
dengan
cara melakukan kunjungan keilmuan (rihlah ilmiyah). Rihlah adalah suatu
cara yang lazim yang ditempuh muhaddist untuk mendapatkan data-data
hadist. Rihlah mempunyai nilai khas dan daya pikat tersendiri dalam kehidupan
ini, karena pada waktu itu banyak bangsa Arab yang gemar mengembara ke berbagai
negara. Dalam hal memperoleh data-data hadist, faktor keilmuan dan agama lah
yang menjadi dorongan untuk melakukan perjalanan menemui para guru-guru hadist.[18]
Adapun
metode-metode pembukuan hadist setelah melakukan riset ke beberapa guru dan
wilayah Islam adalah sebagai berikut:
1)
Metode Juz dan
Atraf
Sejak masa Nabi saw
sampai perkiraan abad pertengahan pada dua hijriyah, pembukuan hadist masih
sangat sederhana. Kesederhanaannya bentuk pada bentuk dan metodenya. Umumnya
kitab-kitab hadist yang ditulis pada masa itu tidak diberi nama tertentu oleh
penulisnya, sehingga kitab-kitab tersebut dikenal dengan nama penulisnya.
Misalnya, Shahifah Amr al-Mu’minin Ali Bin Abi Thalib, shahifah Jabir bin
Abdullah al-Anshori dan lain-lain. Kesederhanaan juga terlihat dari metode
nya, di mana matan-matan hadist disusun berdasarkan guru yang meriwayatkan
hadist kepada penulis kitab. Metode ini dikenal dengan metode juz yang
secara kebahasaan berarti bagian. Di samping juz ada pula metode atraf
yang berarti pangkal-pangkal. Metode atraf dalam pembukuan hadist
berarti pembukuan hadist dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai bentuk
matan hadist selengkapnya.
Di antara Ulama yang menulis dengan metode ini adalah Auf Bin Abu Jamilah
al-'Abdi.[19]
2)
Klasifikasi
Hadist
Metode klasifikasi
berdasarkan topiknya atau yang lebih populer disebut metoda tabwib (klasifikasi
hadist berdasarkan topik atau babnya). Metode klasifikasi ini pada tahap
berikutnya berkembang menjadi berbagai metoda dan kemudian metoda-metoda itu
menjadi populer sebagai nama kitab-kitab hadist.[20]
3)
Metode Muwatta’
Secara kebahasaan
muwatta’ berrati sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan menurut terminologi ilmu
hadits, Muwatta’ adalah metode pembukuan hadist yang berdasarkan klasifikasi
hukum islam (abwab fiqhiyah) dan mencantumkan hadist-hadist marfu’
berasal dari Nabi, mauquf berasal dari sahabat dan maqtu’ berasal
dari tabi’in.[21]
Banyak sekali ulama yang menyusun kitab hadist dengan menggunakan metode
muwatta'ini. Antara lain Imam Ibnu Abi Dzi'ib, Imam Malik Bin Annas,
Imam Abu Muhammad al-Marwazi dll.
4)
Metode Mushannaf
Meskipun secara
kebahasaan kata mushannaf berarti sesuatu yang disuusn, namun secara
terminologi kata mushannaf sama artinya dengan muwatta’ yaitu
metode pembukuan hadist berdasarkan klasifikasi hukum islam dan mencantumkan
hadist-hadist marfu’, mauquf, maqthu’.[22]
Di antara ulama-ulama yang
memakai metode ini adalah Imam Hammad Bin Salamah, Imam Waki' bin al-Jarrah,
Imam Abd al- Razaq, Imam Abi Syaibah dll.[23]
5)
Metode Musnad
Metode dengan cara mengklasifikasikan hadist berdasarkan nama para
sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist itu. Sehingga andaikata orang yang
merujuk kepada kitab musnaf dan ia akan mencari tentang bab sholat maka ia
tidak akan menemukan hasil apa-apa. Sebab dalam metode musnaf tidak akan
ditemukan bab sholat, bab haji dll. Kitab paling popular dengan menggunakan
metode ini adalah kitab "al-musnad" karya al-Humaidi. [24]
6)
Metode Jami’
Kata jami' berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan dan
mencakup. Dalam disiplin ilmu hadist. Kitab jami' dalam adalah kitab
hadist di mana metoda penyusunannya mencakup seluruh topik-topik dalam agamam
baik aqidah, hokum, adab, tafsir, manaqib dan lain-lain. Salah satu contoh
kitab dengan metode kodifikasi ini adalah kitab "al-jami' al-shahih
al-musnad al-mukhtashor min Umur Rasul Allah yang kemudian di ringkas
menjadi al-jami' al-shahih[25]
7)
Metode Mustakhraj
Penyusunan
hadist-hadist berdasarkan penulisan kembali hadist-hadist yang terdapat dalam kitab lain, kemudian
penulis kitab yang pertama mencantumkan sanad dari dia sendiri, maka metoda ini
disebutsebagai metode mustakhraj. Di antara karya yang ditulis dalam metode ini adalah
karya al-Isma'ili yang berjudul "al-mustakhraj 'ala shahih al-bukhori. [26]
8)
Metode mustadrak
Penyusunan kitab hadist berdasarkan menyusulkan kitab-kitab hadist yang
tidak tercantum dalam suatu kitab hadist lain. Namun dalam menuliskan
hadist-hadist susulan itu penulis kitab pertama tadi mengikuti persyaratan
periwayatan hadist yang dipakai oleh kitab yang lain, metode ini disebut
sebagai metode mustadrak. Misalnya kitab al-mustadrak 'ala
al-shahihain karya Imam al-Hakim al-Naisapuri.[27]
9)
Metode Sunan
Kata sunan merupakan bentuk jamak dari kata sunnah yang pengertiannya
juga sama dengan hadist. Sementara yang dimaksud di sini adalah metoda
penyusunan kitab hadist berdasarkan klasifikasi hokum islam dan hanya
mencantumkan hadist-hadist yang bersumber dari Nabi saw saja. Di antara
kitab-kitab sunan yang paling populer adalah karya Abu Dawud al-Sijistani, Ibnu
Majah al-Qazwini, dll.[28]
10) Metode
Mu’jam
Mu'jam adalah
metoda penulisan kitab hadist di mana hadist-hadist yang terdapat di dalamnya
disusun berdasarkan nama-nama sahabat, guru-guru hadist, negara-negara atau
yang lain. Biasanya kitab ini disusun berdasarkan mu'jam (alfabet).
Contoh kitab dengan metode ini adalah karya Imam al- Tabrani, ia menulis 3
kitab yakni al-mu'jam al-kabir, al-mu'jam al-ausat, al-mu'jam al-shaghir.[29]
11) Metode
Majma’
Metode-metode pembukuan
hadist yang telah ada semenjak masa Nabi sampai pada kira-kira abad kelima Hijriyah
dengan metoda pembukuan hadist yang lazim diketahui sebagai kitab-kitab pokok
atau induk. Namun semenjak
akhir abad kelima hijriyah terdapat fenomena baru dalam metodologi pembukuan
hadist, di mana para penulis hadist membuat terobosan baru dengan menggabungkan
kitab-kitab hadist yang sudah ada. Metode ini disebut majma' atau jama'.
Di antaranya kitab al-jam' baina al-shahifaini yang merupakan gabungan
antara hadist shahih al-Bukhori dengan shahih Muslim.[30]
12) Metode
Zawa’id
Sebuah hadist terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadist secara bersama-sama
dalam kitab mereka. Adapula hadist yang hanya ditulis oleh seorang penulis
hadist saja, sementara penulis hadist yang lain tidak menulisnya. Maka
hadist-hadist jenis kedua ini kemudian menjadi lahan penelitian para pakar
hadist yang dating kemudian dan dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri.
Metoda penulisan hadist ii disebut sebagai zawaid yang secara kebahasaan
berarti tambahan-tambahan. Contoh kitab yang menggunakan metode ini adalah Misbah
al-Zujajah fi Zawaid Ibn Majah karya al-Bushairi. Yang berisi hadist-hadist
yang ditulis hanya oleh Ibnu Majah dalam kitab sunan nyadan hal itu tidak
terdapat dalam lima kitab hadist yang lain (al-Bukhori, Muslim, al-Turmudzi,
Abu Dawud, al-Nasai.[31]
c. Masa
Kodifikasi
1) Al-Qur’an
Kodifikasi al-Qur'an
secara resmi dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar, yaitu masa awal khalifah
ketika Nabi Muhammad wafat. Artinya
pengkodifikasian hadist dilakukan secara cepat, tidak menunda-nunda waktu
seperti halnya kodifikasi hadist yang dilakukan jauh setelah Nabi wafat.
Sehingga otensitas al-Qur'annya sangat terjaga kemurniannya.
2) Sunnah
Kodifikasi Sunnah tidak
langsung dilakukan ketika Nabi wafat, karena masih adanya pertentangan dan
kekhawatiran khalifah dan para sahabat tentang boleh tidaknya penulisan dan
pembukuan hadist seperti halnya al-Qur'an. Kodifikasi ini baru bias di resmikan
oleh khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz.
C.
KESIMPULAN
Setelah
paparan di atas diketahui mengenai kodifikasi hadist, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa kodifikasi al-Qur'an dan hadist jika dibandingkan akan
menemukan perbedaan ditingkat praktikal. Di antara perbedaannya adalah faktor-faktor pendorong
pengkodifikasin al-Qur'an dan Hadist, serta metode yang dipakai dalam
pengumpulan dan pembukuan hadist. Kodifikasi Al-Qur'an terjadi pada saat Nabi
dan disatukan dlam satu mushaf pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq, yang
selanjutnya disempurnakan khalifah Ustman yang dikenal sampai saat ini sebagai
mushaf ustmani. Sedangkan kodifikasi hadist dilakukan jauh setelah Nabi
Muhammad saw wafat, secara tulisan ada beberapa sahabat Nabi yang menulisnya
untuk keperluan pribadi. Akan tetapi pembukuan hadist secara resmi terjadi pada
masa khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayah.
Selanjutnya metode yang dipakai dalam pengkodifikasian
al-Qur'an dan hadist berbeda-beda. Metode pengumpulan dan pembukuan hadist
dengan dua cara penghafalan langsung dan penulisan, yang ini telah berlangsung
selama masa Nabi. Sedangkan, metode yang digunakan dalam kodifikasi hadist
sangat beragam, di antara nya metode kodifikasi hadist muwaatta', musnad,
mushonnif, 'atrof dll.
DAFTAR PUSTAKA
'Ajjaj,
Muhammad al-Khatib. Al-Sunnah Qabla
al-Tadwin. 1963. Beirut: Maktabah Wahbab.
.
Ushul al-Hadist. Terj. Nur Ahmad Musyafiq. 2007. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
al-Asqalani, Ahmad bin 'Ali bin Hajar. Fath al-Bari
Syarah Shaih al-Bukhori. Juz I. tth. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Tahthan, Mahmud. Ushul al-Takhrij wa Dirasat
al-Asanid. 1979. Beirut: Dar al-Qur'an al-karim.
al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an. Terj. Aunur rafiq. Cet ke-6. 2011. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
al-Zafzaf, Muhammad.
Al-Ta;rif fi al-Qur’an wa al-Hadist.1979. Kuwait: Maktabah al-Falah.
Ash-Shidiqy, T. M. Hasbi. Sejarah Perkembangan
Hadist. 1973. Jakarta: Bulan Bintang.
Ba’labaka, Rahi Al-Mawrid. 1993.
Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin.
Idri. Studi Hadist. Cet I. 2010. Jakarta:
Prenada.
Soebahar, Erfan. Aktualisasi Hadist Nabi
di Era Teknologi Informasi. Cet II. 2010. Semarang: Rasail
Soetari, Endang. Ilmu Hadist. Cet II. 1997.
Bandung: Amal Bakti.
Yaqub, Ali Mustafa Kritik Hadist.
Cet IV. 2004. Jakarta: Pustaka Firdaus
[1] Rahi Ba’labaka. Al-Mawrid. 1993. Beirut: Dar al-Ilm li
al-Malayin. Hlm: 243
[2] Syaikh Manna al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Terj.
Aunur rafiq. Cet ke-6. 2011. Jakarta: pstaka al-Kautsar. Hlm: 158
[6] Ahmad bin 'Ali bin Hajar
al-Asqalani. Fath al-Bari Syarah Shaih al-Bukhori. Juz I. tth. Beirut:
Dar al-Fikr. Hlm: 194-195
[9] Ibid,.. hlm: 162-166
[10] Muhammad al-Zafzaf. Al-Ta;rif fi al-Qur’an wa al-Hadist.1979.
Kuwait: Maktabah al-Falah. Hlm: 210.
[11] Muhammad ‘Ajjaj al-Khotib. Ushul al-Hadist. Terj. Nur Ahmad
Musyafiq. 2007. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hlm: 176-177
[12] Idri. Studi Hadist. 2010. Jakarta: Kencana: hlm: 104
[13] Ibid,..hlm: 105
[14] Muhammad ‘Ajja al-Khotib. Al-Sunnah qabla al-tadwin. 1971.
Beirut: Dar al-Fikr. Hlm: 219
[15] Syaikh Manna’ al-Qaththan,op.cit. Hlm: 150
[16] Ibid,.. hlm: 151-152
[17] Erfan Soebahar. Aktualisasi Hadist Nabi di Era Teknologi
Informasi. Cet II. 2010. Semarang: Rasail. Hlm: 82
[18] Ibid,.. hlm: 83
[19] Ali Mustafa Yaqub. Kritik Hadist. Cet IV. 2004. Jakarta:
Pustaka Firdaus. Hlm: 75-76
[20] Ibid,.. hlm: 76
[23] Mahmud
al-Tahtan. Ushul al-Takhrij wa DIrasat al-Asanid. 1979. Beirut: Dar
al-Qur'an al-karim.hlm: 134
No comments:
Post a Comment