Oleh: Arino Bemi Sado
A.
Pendahuluan
Manusia dalam hidupnya di dunia ini dihadapkan dengan
fenomena-fenomena alam yang mengelilinginya. Hal tersebut menimbulkan rasa
keingintahuan manusia akan dirinya untuk mengamati fenomena-fenomena alam
tersebut dengan cara-cara tertentu serta dengan metode-metode tertentu pula. Oleh karena itu muncullah masalah-masalah
baru tentang bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar dan bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Masalah-masalah inilah yang pada ilmu
filsafat disebut dengan epistemologi (filsafat pengetahuan).
Latar belakang munculnya pembahasan
epistemologi adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra manusia yang
merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal
terkadang amelahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap obyek
luar. Epistemologi merupakan pengetahuan yang sistematik mengenai pengetahuan.
Jadi epistemologi merupakan pengetahuan yang membahas tentang bagaimana proses
yang memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan berupa ilmu, bagaimna
prosedurnya, serta hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan agar didapat
pengetahuan yang benar, apa kriterianya, bagaimana caranya, bagaimana
tekniknya, dan sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa
ilmu.
Begitu luasnya pembahasan tentang
epistemologi ilmu pengetahuan, sehingga dalam makalah ini akan dibahas mengenai
epistemologi ilmu pengetahuan, metode ilmiah dan pengetahuan ilmiah serta
metode-metode apa saja yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
B.
Epistemologi Ilmu Pengetahuan
1.
Definisi Epistemologi Ilmu Pengetahuan
Secara kebahasaan (etimologi), istilah “epistemologi” berasal dari bahasa
Yunani yakni episteme dan logos. Jika kata yang pertama
disebutkan berarti pengetahuan (knowledge), maka kata yang belakangan
disebut berarti ilmu atau teori (theory). Jadi jika melihat dari
silsilah kebahasaan tersebut, epistemology dapat dimengerti sebagai tori
pengetahuan (theory of knowledge).[1] Epistemologi disebut juga
teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara
memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan. Dengan kata
lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas
tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.[2]
Menurut
A. Susanto, bahwa epistemologi berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan
atau ilmu pengetahuan. Istilah lain yang digunakan yaitu teori pengetahuan (theory
of knowledge) atau filasafat pengetahuan (philosopy of knowledge).[3]
Menurut Poedjiadi (2001: 13) dalam bukunya A. Susanto memberikan definisi epistemologi
yaitu cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan, adapun yang dibahas
antara lain adalah asal mula, bentuk atau struktur, dinamika, validitas, dan
metodologi, yang bersama-sama membentuk pengetahuan manusia.[4]
Di samping itu epistemologi juga merupakan cabang filsafat yang menyelidiki
asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy
that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge).[5]
Menurut
pendapat lain bahwa epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh
pengetahuan, serta validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Atau dengan
kata lain epistemologi merupakan cabang filsafat tentang pengetahuan yang
mencoba memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula
pengetahuan, perihal mengetahui, mengenai cara mengetahui atau memperoleh
pengetahuan, dan bagaimana menguji kebenaran pengetahuan.[6] Epistemologi
juga bisa didefinisikan bahwasannya epistemologi merupakan cabang filsafat yang
secara khusus membahas proses keilmuan manusia.[7]
Jadi epistemologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan. Sedangkan ilmu
pengetahuan berasal dari dua kata yaitu “ilmu” dan “pengetahuan”. Ilmu berasal
dari bahasa arab “’alima” yang berari pengetahuan.
Pengetahuan pada hakikatnya pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Jadi
ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping
berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bahkan seorang anak
kecilpun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap
pertumbuhannya dan kecerdasannya.[8] Menurut Sidi Gazalba bahwa
pengetahuan yaitu apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu
tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai.[9] Jadi pengetahuan merupakan hasanah kekayaan
mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan
kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan
yang muncul dalam kehidupan. Dari sebuah pertanyaan, diharapkan mendapatkan
jawaban yang benar.
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu
yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan
kita secara maksimal, maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin
bisa diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu.[10] Jadi pada hakikatnya kita
mengharapkan jawaban yang benar, dan bukannya sekadar jawaban yang bersifat
sembarang saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun
pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut
epistemologi, dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah.[11]
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun. Ketiga landasan tersebut saling berkaitan. Jadi ontologi ilmu
terkait dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan
aksiologi ilmu, dan seterusnya.[12]
2.
Obyek Pengetahuan
Obyek
pengetahuan adalah hal atau materi yang menjadi perhatian bagi pengetahuan
(obyek material). Dalam istilah epistemologi, ini disebut dengan masalah
ontologi. Honderich (1995) dalam buku Filsafat Ilmu karangan Akhyar Yusuf Lubis
menyatakan bahwa obyek pengetahuan adalah: gejala alam, masa lalu, masa depan,
nilai-nilai (aksiologi), abstraksi, pikiran (philosophy of mind: our own
experiences, our own inner states, other minds).[13] Jadi pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menuturkan apabila
seseorang mengenal tentang sesuatu. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan
adalah hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek tertentu.
Menurut
Honderich (1995) dalam buku Filsafat Ilmu karangan Akhyar Yusuf Lubis menyatakan
bahwa obyek pengetahuan dikelompokkan berdasarkan konsep Popper tentang teori
tiga dunia, yaitu: Dunia I, yaitu obyek yang berkaitan dengan alam fisis; Dunia
II, yaitu semua yang berhubungan dengan dunia pemikiran dan proses mental;
sedangkan Dunia III, yaitu semua hal yang berhubungan dengan konsep, teori yang
ada dalam buku atau tulisan dan hasil budaya lain misalnya semua hasil
penelitian atau teori yang terdapat dalam berbagai karya tulis yang terdapat
dalam perpustakaan.[14] Jadi obyek pengetahuan adalah
benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui
oleh manusia.
3.
Struktur Pengetahuan
Struktur
atau situasi pengetahuan (the knowledge situstion) membahas bagaimana
hubungan antara ilmuwan (the knower/self) dengan sense atau data (experience)
atau hal atau obyek yang diketahui (things known, world).[15] Struktur pengetahuan disebut juga situasi pengetahuan atau
fenomenologi pengetahuan. Hubungan antara subyek yang mengetahui dan obyek yang
diketahui tergambar dari beberapa pandangan, yaitu: obyektifitas, subyektifitas,
skeptisisme, relativisme dan fenomenalisme.[16]
a.
Obyektivisme
Kaum
obyektivisme berpendapat bahwa subyek (ilmuwan) bersifat pasif dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan. Obyek dianggap paling berperan. Posisi ilmuwan hanya seperti
cermin yang memantulkan realitas luar secara apa adanya. Aliran empireisme dan
positivisme biasanya menerima aliran ini.[17]
b.
Subyektivisme
Subyektivisme
adalah pandangan yang menekankan peran unsur/dimensi subyek dalam menghasilkan
pengetahuan. Pengetahuan kita merupakan ide-ide dalam pikiran orang yang
mengetahui (the knower).[18]
c.
Skeptisisme
Skeptisisme adalah
paham yang menyatakan ketidakmungkinan untuk memperoleh kebenaran obyektif
(akhir, final) pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Ada beberapa macam
skeptisisme, antara lain:[19]
1)
Solipisme; paham “egosentrisme epistemologi”, berpendapat bahwa saya
hanya tahu diri saya ada, tapi tidak mengetahui sesuatupun di luar saya.
2)
Skeptisisme sensoris; sensasi atau persepsi bersifat relatif, tidak
reliabel. Sensasi hanya bagian dari modifikasi obyek yang diamati.
3)
Skeptisisme rasional; keraguan yang disebabkan paradoks (Zeno) atau
antinomi (Kant) pada kesimpulan dan argumen. Antinomi adalah dua pernyataan
yang bertentangan dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Contoh: pernyataan
telur lebih dahulu daripada ayam.
4)
Skeptisisme metodologis; keraguan sistematis dan sementara yang tujuannya
untuk menemukan pengetahuan dan fundasi pengetahuan yang kuat dan terpercaya
(seperti metode keraguan Descartes).
d.
Relativisme
Paham
Protagoras, bahwa individu menjadi ukuran segala hal disebut “relativisme
epistemologis” karena ia menyatakan kerelatifan nilai kebenaran pengetahuan
terhadap subyek yang mengetahui, terhadap kelompok masyarakat dan paradigma
tertentu. Ada beberapa relativisme, antara lain:[20]
1)
Relativisme
subyektif; kebenaran pengetahuan dipahami sebagai sesuatu yang relatif terhadap
subyek yang bersangkutan. Misalnya: apa yang benar untuk si A belum tentu benar
untuk si B.
2)
Relativisme
budaya; kriteria benar-salah relatif terhadap kesepakatan (konsensus) sosial dalam
masyarakat.
3)
Relativisme
konseptual; benar-salah tergantung pada kerangka konsep atau teori.
e.
Fenomenalisme
Adalah
pandangan yang menyatakan bahwa kita hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang
diindrai atau gejala sebagaimana tampak melalui pengamatan. Fenomenalisme hanya
mengakui obyek-obyek fisis yang teramati saja dan menolak adanya hakikat di
balik gejala.[21]
Jadi Secara metodologis, dalam
gejala terbentuknya pengetahuan manusia, dapat dibedakan antara dua kutub yaitu
kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subyek dan obyek.
Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Supaya ada pengetahuan, keduanya
harus ada. Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lainnya. Keduanya merupakan
suatu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia. subyek harus terarah pada obyek, dan sebaliknya obyek
harus terbuka dan terararah kepada subyek. Saling terbuka antara subyek dan obyek,
bertujuan untuk saling mengenal dan mengetahui sebagaimana adanya satu sama
lain.
4.
Hakikat Pengetahuan
Pengetahuan
pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu
adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek, dengan kata lain menyusun
gambaran tentang fakta yang ada di luar akal. Persoalannya adalah apakah gambaran
itu sesuai dengan fakta atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah
gambaran itu dekat dari kebenaran atau jauh dari kebenaran?[22] Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:
a.
Realisme
Teori
ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme
adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata
(dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah
kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti
gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian realisme berpendapat bahwa
pengetahuan adalah benar dan tepat apaabila sesuai dengan kenyataan.[23]
Para
penganut realisme mengakui bahwa seseorang bisa salah lihat pada benda-benda
atau dia melihat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya, namun mereka paham ada
benda yang mempunyai wujud tersendiri, ada juga benda yang tetap kendati
diamati.[24]
b.
Idealisme
Ajaran
idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar
sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses
mental atau proses psikologis yang bersifat subyektif. Oleh karena itu,
pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subyektif dan bukan
gambaran obyektif tentang realitas. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini
tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah
gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui (subyek).[25]
Ajaran
idealisme memandang dunia sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan seperti organ
tubuh dengan bagian-bagiannya. Dunia merupakan suatu kebulatan bukan kesatuan
mekanik, tetapi kebulatan organik yang sesungguhnya yang sedemikian rupa,
sehingga suatu bagian darinya dipandang sebagai kebulatan logis dengan makna
inti yang terdalam.[26] Semua madzhab idealis mempunyai pandangan yang sama yaitu gagasan,
bahwa akal murni atau abstrak lebih tinggi dari penangkapan indera (sensation)
atau pengalaman.[27]
5.
Dasar-Dasar Pengetahuan
Pengetahuan merupakan segenap apa yang kita
ketahui pada suatu obyek. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan di samping
pengetahuan tertentu. Khazanah kekayaan mental yang secara lain
misalnya seni, agama dan lain-lain. Langsung atau tidak Ilmu mencoba
langsung turut memperkaya kehidupan. Menafsirkan gejala alam dengan mencoba
mencari penjelasan tentang Ilmu. Ilmu mempunyai 2 buah peran; metafisika dan
akal berbagai kejadian sehat yang terdidik (educated common sense). Dasar-dasar
pengetahuan meliputi:[28]
a.
Pengalaman, segala sesuatu yang terjadi kepada manusia sebagai
hasil interaksinya dengan alam nyata dan alam gaib (tak terlihat) atau dalam
istilah agama disebut juga pengalaman spiritual.
b.
Memori, merupakan kelanjutan dari pengetahuan, sebab ingatan
merupakan hasil dari pengalaman.
c.
Kesaksian, berfungsi untuk menguatkan atau meneguhkan suatu
informasi dari para ahli yang memiliki otaritas dibidangnya untuk menentukan
salah atau benar informasi yang dimaksud.
d.
Rasa Ingin Tahu, pengalaman yang menjadi pengetahuan
seringkali berawal dari rasa ingin tahu seseorang terhadap sesuatu sehingga ia
akan menyelidiki pengalamannya baik dengan bertanya atau cara lain untuk
memberi jawaban atas rasa ingin tahunya.
e.
Logika, pertimbangan akal pikiran agar dapat berpikir secara
lurus, tepat, dan sistematis, kemudian disampaikan dalam bahasa lisan atau
tertulis.
f.
Bahasa, penalaran tanpa kemampuan berbahasa adalah penalaran
yang anti klimaks, karena bahasa merupakan alat untuk menerjemahkan penalaran.
g.
Kebutuhan Hidup, semakin manusia membutuhkan sesuatu
semakin kreatif manusia tersebut untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
6.
Batas dan Jenis Pengetahuan
Tentang
batas pengetahuan, ada beberapa aliran yang berbeda dan ini berkaitan erat
dengan apa yang menjadi sumber pengetahuan bagi aliran tersebut, yaitu aliran
empirisme radikal (positivisme/positivisme logis) dan aliran rasionalisme.
Aliran empirisme radikal berkesimpulan bahwa pengetahuan hanya terbatas pada
obyek-obyek fisis yang dapat diamati dan dikuantifikasi. Pandangan ini
didasarkan pada pandangan materialisme atau naturalisme (ontologi) yang
menganggap bahwa realitas hanya sebatas materi yang secara prinsip dapat
diamati dan diukur. Adapun kaum rasionalisme seperti Plato dan Hegel
berpendapat bahwa realitas tidak hanya sebatas fenomena alam fisis yang
teramati. Pengetahuan justru menembus wilayah metafisis.
Plato
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang benar, pasti dan tidak berubah (episteme)
justru bersumber dari dunia idea yang jauh dari jangkauan inderawi.
Sementara pengetahuan tentang fenomena alam yang selalu berubah itu tidak
sempurna. Karenanya ia hanya berupa pendapat-pendapat (doxa). Pengetahuan
sejati (episteme) tidak terbatas pada fenomena fisis, akan tetapi menembus
batas yang fisis dan memasuki wilayah metafisis.[29]
Terkait
dengan jenis pengetahuan, Prof. Dr. Rasyidi dalam buku Akhyar Yusuf Lubis
mengemukakan bahwa jenis-jenis pengetahuan adalah sebagai berikut:[30]
1)
Pengetahuan
tentang benda-benda.
2)
Pengetahuan
tentang pikiran (mind) orang lain.
3)
Pengetahuan
tentang pikiran kita sendiri.
4)
Pengetahuan
tentang nilai-nilai (etika, estetika).
5)
Pengetahuan
tentang Tuhan.
Sementara itu, Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya membagi jenis-jenis
pengetahuan sebagaai berikut:[31]
1)
Pengetahuan
biasa, yang disebut juga dengan
pengetahuan sehari-hari, pengetahuan eksistensial, common sense atau
knowledge.
2)
Pengetahuan
ilmiah, yaitu pengetahuan yang memiliki
sistem, metode tertentu, atau pengetahuan yang memiliki ciri-ciri dan metode
keilmiahan.
3)
Pengetahuan
filosofis, semacam ilmu khusus yang membahas
masalah yang tidak dibahas/tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan ilmiah dan
biasa.
4)
Pengetahuan
teologis, pengetahuan yang sumber utamanya
dari ayat-ayat atau wahyu Tuhan dan kebenarannya didasarkan atas iman.
7.
Sumber Pengetahuan
Sumber
pengetahuan adalah apa yang menjadi titik tolak atau apa yang merupakan obyek
pengetahuan itu sendiri. Sumber itu ada yang berasal dari “dunia eksternal” dan
adayang berasal dari “dunia internal” atau kemempuan subyek.[32] Dalam filsafat, mengenai sumber pengetahuan ini para filosuf
berbeda pendapat. Plato sebagai seorang rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio. Sedangkan Aristoteles sebagai tokoh empiris
berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman.
Ada
beberapa pandangan yang menyebutkan sumber pengetahuan di luar empirisme dan
rasionalisme yaitu Bertrand Russel yang membedakan dua macam pengetahuan yaitu:
pengetahuan melalui pengalaman (knowledge by acquaintance) dan
pengetahuan melalui deskripsi (knowledge by description). Pengetahuan
melalui pengalaman diperoleh melalui: data indrawi (sense data),
benda-benda memori (objects of memory), keadaan internal (internal
states), dan diri kita sendiri (ourselves). Sedangkan pengetahuan
melalui deskripsi di peroleh melalui: orang lain, dan benda-benda fisik, namun
bukan hasil pengamatan, akan tetapi konstruksi.[33]
Adapun
Ted Honderich dalam bukunya Akhyar Yusuf Lubis mengemukakan beberapa sumber
pengetahuan, yaitu: reason, perception, memory, introspection, precognition,
serta sumber lain. Sedangkan R. John Hospers dalam bukunya Akhyar Yusuf Lubis
mengemukakan sumber pengetahuan yaitu sense experience (pengalaman
inderawi), reason (akal budi), authority (otoritas), intuition
(intuisi), revelation (wahyu), dan faith (keyakinan).[34] Dari sumber-sumber pengetahuan yang dikemukakan oleh Honderich
maupun Hospers ada yang sama dan ada yang berbeda, sehingga sumber-sumber
pengetahuan tersebut dapat dicantumkan sebagai berikut:
a.
Perception (Pengamatan Inderawi), adalah hasil tanggapan inderawi terhadap
fenomena alam. Istilah yang umum dari persepsi ini adalah empiri atau
pengalaman.[35]
1)
Perlu
ada kesaksian orang lain bahwa ingatan dan pengalaman masa lalu saya itu benar
adanya.
2)
Ingatan
itu konsisten dan bernilai pragmatis (dapat membantu memecahkan masalah).
Misalnya ingatan/pengalaman masa lalu saya ketika tinggal di Mataram dapat
membantu saya/orang lain untuk menelusuri kampung-kampung di Selaparang.
c.
Reason (Akal, Nalar). Pikiran atau penalaran (logika) merupakan hal yang
paling mendasar bagi kemungkinan adanya pengetahuan. Penalaran adalah proses
yang harus dilalui dalam menarik kesimpulan.[37] Jadi logika merupakan ilmu dan kecakapan berpikir dengan benar.
d.
Introspection (Introspeksi). Introspeksi merupakan sumber pengetahuan di mana
manusia mendapatkan pengetahuan (pengenalan atau pemahaman terhadap sesuatu)
ketika ia mencoba melihat ke dalam dirinya. Socrates pernah menyatakan
“kenalilah dirimu sendiri”. Frued juga menggunakan metode introspeksi untuk
memandang (observasi) ke dalam pikiran atau mental seseorang atau diri sendiri.[38]
e.
Intuition (Intuisi); adalah “tenaga rohani”, suatu kemampuan yang mengatasi
rasio, kemampuan untuk menyimpulkan serta memahami secara mendalam. Intuisi
adalah pengenalan terhadap sesuatu secara langsung dan bukan melalui deduksi
induksi. Intuisi merupakan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan secara
tiba-tiba dan secara langsung.[39]
f.
Authority (Otoritas). Otoritas mengacu pada individu atau kelompok yang
dianggap memiliki pengetahuan shahih dan memiliki legitimasi sebagai sumber
pengetahuan.[40]
g.
Precognition (Prakognisi); adalah kemampuan untuk mengetahui sesuatu peristiwa
yang akan terjadi. Misalnya Nosradamus, ia mampu memberi peringatan akan
terjadinya gempa bumi di San Fransisco, dan mampu mengemukakan akan terjadinyaa
pembunuhan pada Presiden Kennedy jauh sebelum terjadinya kejadian itu.[41]
h.
Clairvoyance; adalah kemampuan mempersepsi suatu peristiwa tanpa menggunakan
indera. Misalnya Dedi Corbusier yang mencari seseorang yang disembunyikan
beberapa kilometer dengan mata tertutup.[42]
i.
Telepathy (Telepati); adalah kemampuan berkomunikasi tanpa menggunakan suara
atau tanpa menggunakan bentuk simbolik lain, namun hanya menggunakan kemampuan
mental.[43]
8.
Pengetahuan Sehari-hari dan Pengetahuan Ilmiah (Ilmu Pengetahuan)
Pengetahuan
sehari-hari adalah bentuk pengetahuan yang digunakan untuk kepentingan
sehari-hari. Karena itu disebut dengan pengetahuan eksistensial. Misalnya
banyak ditemukan pengobatan yang merupakan pengetahuan eksistensial, seperti
daun-daunan, akar-akaran, umbi-umbian, dan lain-lain yang digunakan untuk
mengobati suatu penyakit.[44]
Sedangkan
pengetahuan ilmiah merupakan jenis pengetahuan yang memiliki ciri-ciri dan
metode serta sistematika tertentu.[45] Tujuan ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah) yaitu:[46]
a.
Untuk
menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi.
Menjawab pertanyaan “mengapa” merupakan inti kegiatan ilmiah.
b.
Deskripsi
atau Pemaparan; adalah upaya
untuk menjawab pertanyaan: apa, siapa, di mana, kapan,
dan berapa. Misalnya: ketika tukang jamu memaparkan bagaimana meracik
jamu dari tumbuh-tumbuhan tanpa menjelaskan alasan mengapa bahan racikan
tersebut dipilih.
c.
Retrodiksi; model pemaparan rekonstruktif tentang masa lalu yang didasarkan
atas fakta (artefak, fosil) yang ditemukan. Misalnya arkeolog memperkirakan
bagaimana kebudayaan Mesir 3000 tahun yang lalu berdasarkan artefak yang mereka
temukan.
d.
Prediksi; adalah model pemaparan yang bertujuan atau berorientasi ke masa depan. Misalnya Jika kita tahu bahwa
jumlah penduduk Semarang X juta, dan pertumbuhan penduduk pertahun adalah 2%,
maka jumlah penduduk semarang 10 tahun yang akan datang adalah Z tahun.
e.
Kontrol; adalah salah satu tujuan ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk
merekayasa peristiwa atau fenomena alam dengan menggunakan data-data atau
pertimbangan ilmiah. Misalnya: untuk menghindari pertumbuhan penduduk yang
besar maka digalakkan KB.
9.
Kebenaran dan Kekhilafan
a.
Kebenaran
Berpikir
merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang
disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu
kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu
atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria
kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan alam
metafisika tentu berbeda dengan pengetahuan alam fisik.[47]
Problem
kebenaran memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi
terhadap kebenaran membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan
adanya tiga jenis kebenaran, yaitu: kebenaran epistemologis, kebenaran
ontologis, dan kebenaran semantis.[48] Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai
sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat
dalam tutur kata dan bahasa.[49] Teori yang menjelaskan kebenaran epistemologis adalah sebagai
berikut:
1)
Teori Korespondensi.
Menurut teori
ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan obyek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.[50] Dengan demikian kebenaran epistemologis adalah kemanunggalan
antara subyek dan obyek. Contoh: Mataram adalah Ibu Kota Propinsi NTB.
Pernyataan tersebut benar, karena kenyatannya Mataram memang Ibu Kota Propinsi
NTB.
2)
Teori Koherensi tentang Kebenaran.
Menurut teori
ini bahwa kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement)
dengan sesuatu yang lain yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara
putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas
hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan yang lainnya yeng
telah kita ketahui dan kita akui kebenarannya terlebih dahulu.[51] Contoh: 5 + 6 + 11 adalah benar karena sesuai dengan kebenaran
yang sudah disepakati bersama.
3)
Teori Pragmatisme tentang Kebenaran.
Menurut teori
ini bahwa suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.[52] Jadi bagi para penganut pragmatis, batu ujian kebenaran adalah
kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workability), akibat
atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequence). Menurut
pendekatan ini, tidak ada apa yang disebut kebenaran yang tetap atau kebenaran
yang mutlak.[53] Contoh: dalam dunia sains, suatu ilmu itu bermanfaat atau tidak
bagi kehidupan sehari-hari manusia. Ilmu perbintangan bermanfaat bagi para
nelayan karena dapat memberi petunjuk arah dan keadaan cuaca pada saat dia
sedang mengarungi lautan luas. Tetapi belum tentu bagi Polisi.
4)
Agama sebagai Teori Kebenaran.
Agama dengan
karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang
dipertanyakan manusia, baaik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau
ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, rasio, dan reason
manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.[54] Jadi suatu hal dikatakan benar apabila sesuai dengan ajaran agama
atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
b.
Kekhilafan
Kekhilafan
terjadi dalam ilmu pengetahuan karena kesalahan pengambilan kesimpulan yang
tidak runtut terhadap pengalaman-pengalaman. Khilaf muncul karena adanya
pernyataan yang sudah dianggap benar secara umum. Kekhilafan erat hubungannya
dengan Francis Bacon (dalam Mintaredja, 1980:18-19) dengan teorinya yang
terkenal idola yang tercermin dalam bentuk ilusi dan projudice yang
menyelewengkan pemikiran ilmiah. Idola dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu:[55]
1)
Idola Teatri atau Sandiwara; sesuatu yang sering dilihat
seseorang dalam kehidupan sehari-hari, lama kelamaan tanpa disadari dan
diselidiki dianggap sebagai kebenaran.
2)
Idola Fiori atau Pasar; pemikiran seseorang menjadi tidak
berfungsi dengan baik, karena orang tresebut hanya melihat sesuatu dari segi
bentuk luarnya saja.
3)
Idola Specus atau Gua; seseorang seolah-olah berada dalam tempat
yang gelap seperti di dalam goa. Hal ini karena tidak didukung oleh
lingkungannya, pendidikan, dan karakter
yang baik, sehingga selalu terkungkung dengan keterbatasan dirinya tidak
memahami segala sesuatu dengan baik.
4)
Idola Tribus; idola yang diakibatkan oleh kodrat manusiawi, sehingga orang yang
terkena idola ini tidak dapat memahami apa yang dihadapinya.
C.
Metode Ilmiah
1.
Pengertian Metode Ilmiah
Kata metode berasal dari
bahasa Yunani “methodos” berarti “jalan”, “cara”, “arah”. Metode dapat pula
diartikan uraian ilmiah penelitian atau metode ilmiah. Dengan demikian, metode
dapat pula diartikan cara bertindak menurut aturan tertentu dengan tujuan agar
aktivitas dapat terlaksana secara raional dan terarah supaya dapat mencapai
hasil yang sebaik-baiknya.[56] Metode merupakan
cara-cara penyelidikan yang bersifat keilmuan, yang disebut dengan metode
ilmiah (scientific methods). Metode ini diperlukan agar tujuan keilmuan
yang berupa kebenaran obyektif dan dapat dibuktikan bisa tercapai. Karena
dengan metode ilmiah, kedudukan pengetahuan berubah menjadi ilmu pengetahuan,
yaitu menjadi lebih khusus dan terbatas lingkup studinya.[57] Jadi metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu
merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah.[58] Metode ilmiah atau
proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan
secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan melakukan pengamatan serta
membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi
yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen.
Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi
suatu teori ilmiah.[59]
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu, di mana ilmu merupakan pengetahuan yang
diperoleh lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu, sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu.[60]
Bahkan metode ilmiah bisa digunakan untuk memuaskan keinginan manusia. Tetapi
pemanfaatannya secara berhasil tergantung pada percobaan, dengan hati-hati dan
terlepas dari apa yang menjadi keinginan manusia, untuk mengenal dan mengambil
keuntungan darinya, struktur yang dimiliki oleh perubahan itu.[61] Metode ilmiah merupakan
ekspresi tentang cara bekerja pikiran yang diharapkan mempunyai karakteristik
tertentu berupa sifat rasional dan teruji sehingga ilmu yang dihasilkan bisa
diandalkan. Dalam hal ini metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir
deduktif dan induktif dalam membangun pengetahuan.
Teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasionil yang
berkesuaian dengan obyek yang dijelaskannya, dengan didukung oleh fakta empiris
untuk dapat dinyatakan benar. Secara sederhana maka, hal ini berarti bahwa
semua teori ilmiah harus memenuhi 2 syarat utama yaitu:[62]
a. Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan
tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
b. Harus cocok dengan
fakta-fakta empiris, sebab teori
yang bagaimana pun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris
tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
2.
Karakteristik Metode Ilmiah
Metode ilmiah bergantung pada karakterisasi
yang cermat atas subyek investigasi. Dalam proses karakterisasi, ilmuwan
mengidentifikasi sifat-sifat utama yang relevan yang dimiliki oleh subyek yang
diteliti. Selain itu, proses ini juga dapat melibatkan proses penentuan
(definisi) dan pengamatan-pengamatan yang dimaksud seringkali memerlukan
pengukuran dan perhitungan yang cermat. Proses pengukuran dapat dilakukan
terhadap obyek yang tidak dapat diakses atau dimanipulasi seperti bintang atau
populasi manusia. Hasil pengukuran secara ilmiah biasanya ditabulasikan dalam tabel.
Digambarkan dalam bentuk grafik atau dipetakan dan diproses dengan penghitungan
statistika seperti korelasi dan regresi.[63] Umumnya terdapat empat karakteristik
penelitian ilmiah:
a.
Sistematik. Berarti suatu penelitian harus disusun dan
dilaksanakan secara berurutan sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang
mudah dan sederhana sampai yang kompleks.
b.
Logis. Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima
akal dan berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung
menurut prosedur atau kaidah bekerjanya akal yaitu logika. Prosedur penalaran
yang dipakai bisa dengan prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik
kesimpulan umum dari berbagai kasus individual (khusus), atau prosedur deduktif
yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari
pernyataan yang bersifat umum.
c.
Empirik. Artinya suatu penelitian yang didasarkan pada
pengalaman sehari-hari, yang ditemukan atau melalui hasil coba-coba yang kemudian
diangkat sebagai hasil penelitian. Landasan empirik ada tiga yaitu :
1)
Hal-hal empirik selalu memiliki persamaan dan
perbedaan (ada penggolongan atau perbandingan satu sama lain).
2)
Hal-hal empirik selalu berubah-ubah sesuai dengan
waktu.
3)
Hal-hal empirik tidak bisa secara kebetulan, melainkan
ada penyebabnya.
d.
Replikatif. Artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus
diuji kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila
dilakukan dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat
replikatif, penyusunan definisi operasional variable menjadi langkah penting
bagi seorang peneliti.
3.
Langkah-Langkah Metode Ilmiah
Pendekatan rasional yang digabungkan dengan
pendekatan empiris dalam langkah menuju dan dapat menghasilkan pengetahuan
inilah yang disebut metode ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode
ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap
dalam kegiatan ilmiah.[64] Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan
proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari
langkah-langkah berikut:[65]
a.
Perumusan masalah.
Merupakan
pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batasannya dan faktor yang terkait
dapat diidentifikasi.
b.
Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis.
Merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan, yang disusun
secara rasionil berdasarkan premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya.
c.
Perumusan hipotesis.
Merupakan
jawaban sementara terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
d.
Pengujian hipotesis.
Merupakan
pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk
memperlihatkan adanya fakta pendukung hipotesis.
e.
Penarikan kesimpulan.
Merupakan
penilaian diterima atau tidaknya sebuah hipotesis. Hipotesis yang diterima
kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah karena telah memenuhi
persyaratan keilmuan, yaitu mempunyai kerangka kejelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya dan telah teruji kebenarannya.
Keseluruhan langkah tersebut harus ditempuh agar suatu
penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan antara langkah yang satu dengan
lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses
pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga
imajinasi dan kreativitas. Pentingnya metode ilmiah bukan saja dalam proses
penemuah ilmu pengetahuan, namun terlebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan
ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan.
D.
Penutup
Dari uraian tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa epistemologi
ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji
secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode,
dan validitas pengetahuan.
Pengetahuan
adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan
intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya
untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan teruji kebenarannya
melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu
metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini
dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan
berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Oleh karena itu ilmu harus
diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan
metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan
yang sistematis.
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja
secara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pangetahuan atau mengembangkan
pengetahuan secara ilmiah yang memiliki kesahan ilmiah, memenuhi validitas ilmiah
atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan sehingga pengetahuan tersebut
dapat diandalkan dan dimanfaatkan bagi kehidupan manusia.
E.
Daftar Pustaka
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara, 2011).
Aceng Rahmat, dkk, Filafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Kencana,
2011).
Aholiab Watholy, Tanggung Jawab Pengetahuan (Yogyakarta:
Kanisius, 2001).
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Cet.1. (Jakarta:
Logos, 1997).
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004).
Aripin Banasuru, Filsafat dan Filsafat Ilmu, dari Hakikat ke
Tanggung Jawab (Bandung: Alfabeta, 2014).
Bagong Suyanto, dkk, Filsafat Sosial (Yogyakarta: Aditya
Media Publishing, 2013)
Bosco Carvallo, dkk, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1995).
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Cet.VII,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987).
Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup
Bahasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1990).
Karyadi Hidayat, Epistemologi: Pengetahuan, Metode Ilmiah,
Struktur Metode Ilmiah, dalam http://hidayatkaryadi.blogspot.com/2013/10/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah.html.
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi,
dan Logika Ilmu Pengetahuan, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010).
Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan
(Yogyakarta: Belukar, 2008).
Peter Soedjono, Pengantar Sejarah
dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004).
Shelly Nur Fajriah, Pengertian, Karakteristik, dan Langkah-Langkah Metode
Ilmiah, dalam http://sheilynurfajriah.blogspot.com/2013/04/pengertian-karakteristik-dan-langkah.html.
diakses tanggal 7 Oktober 2014.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Cet.1, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992).
[1] Pranarka,
1987, dalam Buku Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, Klasik Hingga
Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 31.
[2] Mohammad Adib,
Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 74.
[3] A. Susanto, Filsafat
Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hlm. 136.
[4] Ibid.
[5] Aceng Rahmat,
dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 147.
[6] Peter Soedjono, Pengantar Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Alam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hlm. 50.
[7] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Belukar, 2008), hlm. 28.
[8] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1990), hlm. 104.
[9] Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat, Cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 4.
[10] Jujun, Filsafat....,
hlm. 104.
[11] Ibid., hlm.
105.
[12] Ibid.
[13] Akhyar, Filsafat....,
hlm. 46-47.
[14] Ibid., hlm.
47.
[15] Hunnex: 1986:
8 dalam buku Akhyar, Filsafat...., hlm. 47
[16] Ibid., hlm. 47-48
[17] Akhyar, Filsafat
Ilmu..., hlm. 48.
[18] Ibid., hlm.
48-49.
[19] Ibid., hlm.
49-50.
[20] Ibid., hlm.
50.
[21] Ibid., hlm.
51.
[22] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.
94.
[23] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama, Cet.1. (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 38.
[24] Amsal, Filsafat
Ilmu....., hlm. 95.
[25] Amsal, Filsafat
Agama...., hlm. 39.
[26] Amsal, Filsafat
Ilmu....., hlm. 96-97.
[27] Bagong
Suyanto, dkk, Filsafat Sosial, Cet.1. (Yogyakarta: Aditya Media
Publishing, 2013), hlm. 73.
[28] Karyadi
Hidayat, Epistemologi: Pengetahuan, Metode Ilmiah, Struktur Metode Ilmiah, dalam
http://hidayatkaryadi.blogspot.com/2013/10/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah.html,
daikses tgl 7 oktober 2014.
[29] Akhyar, Filsafat
Ilmu..., hlm. 57.
[30] Ibid., hlm. 58
[31] Ibid.
[32] Ibid., hlm.
32.
[33] Ibid., hlm.34.
[34] Ibid., hlm.
34-35.
[35] Ibid., hlm.
35.
[36] Ibid., hlm.
37.
[37] Ibid.
[38] Ibid., hlm.
38.
[39] Ibid.
[40] Ibid., hlm.
40.
[41] Ibid.
[42] Ibid., hlm.
41.
[43] Ibid.
[44] Ibid., hlm.
64.
[45] Ibid.
[46] Ibid., hlm.
65-66.
[47] Amsal, Filsafat
Ilmu..., hlm. 111.
[48] Aholiab
Watholy, Tanggung Jawab Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.
157.
[49] Amsal, Filsafat
Ilmu..., hlm. 111.
[50] Jujun, Filsafat
Ilmu..., hlm. 57.
[51] Ibid., hlm.
56.
[52] Amsal, Filsafat
Ilmu..., hlm. 119.
[53] Ibid., hlm.
120.
[54] Endang
Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Cet.VII, (Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 172-173.
[55] Aripin
Banasuru, Filsafat dan Filsafat Ilmu, dari Hakikat ke Tanggung Jawab (Bandung:
Alfabeta, 2014), hlm. 117.
[56] A. Susanto, Filsafat
Ilmu..., hlm. 84.
[57] Ibid., hlm.
83-84.
[58] Mohammad Adib,
Filsafat Ilmu..., hlm. 93.
[59] Karyadi
Hidayat, Epistemologi: Pengetahuan, Metode Ilmiah, Struktur Metode Ilmiah, dalam
http://hidayatkaryadi.blogspot.com/2013/10/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah.html,
diakses tgl 7 Oktober 2014
[60] Jujun, Filsafat
Ilmu..., hlm. 119.
[61] Bosco
Carvallo, dkk, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995), hlm. 134.
[62] Karyadi Hidayat,
Epistemologi: Pengetahuan, Metode Ilmiah, Struktur Metode Ilmiah, dalam http://hidayatkaryadi.blogspot.com/2013/10/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah.html,
diakses tgl 7 Oktober 2014.
[63] Shelly Nur
Fajriah, Pengertian, Karakteristik, dan
Langkah-Langkah Metode Ilmiah, dalam http://sheilynurfajriah.blogspot.com/2013/04/pengertian-karakteristik-dan-langkah.html.
diakses tanggal 7 Oktober 2014.
[64] Ibid.
[65] Ibid.
No comments:
Post a Comment